Saturday, February 9, 2013

Shahzadi Ibadat


Lamunan macam apa ini, sebuah lamunan yang membenturkan kembali jiwaku pada masa lalu yang ingin aku tentang secara totalitas. Teriakan itu mengguncang nadiku, melemahkan kembali pertahanan yang selama ini aku bangun. Pertanyaan bodoh tentang cinta yang dilontarkan kepadaku. Apa yang harus aku katakan mengenai itu semua? Mereka ingin mendengar jawabanku kini atau yang dahulu? Aku bukan perempuan yang sama layaknya beberapa tahun yang lalu. Perempuan yang selalu mendongakkan kepalanya, merasa dirinya wanita paling beruntung sedunia karena dikelilingi nikmat kehidupan yang tak banyak orang memilikinya. Seorang perempuan yang bersinar dan dikenal. Seorang perempuan yang menentukan pilihan dengan jari telunjuknya kemudian mebuangnya begitu saja apabila ia sudah tidak berkenan. Perempuan yang menganggap bahwa pembalasan itu haruslah dia yang melakukannya dengan kedua tangannya sendiri.
Tapi lihatlah sekarang, perempuan ini menjelma menjadi sosok lain. Pandangannya cenderung tertunduk sekarang. Ia lepaskan segala jubah kesombongan yang semata-mata hanyalah milik Allah. Ia berusaha menyederhanakan rasanya, tutur katanya dan pakaiannya. Ia rendahkan dirinya karena pilihan sedang tidak memihak padanya. Nasib sedang bersekongkol melawan jiwanya yang terlanjur luluh lantak.
Ntah sudah berapa puluh kali langit runtuh dan bumi menghantam tubuhnya. Tapi, selalu ada air mata yang membasahi dan kembali menghidupkan tanah yang gersang itu. Dengan linangan air mata, dia berterima kasih kepada Zat yang telah menciptakan air mata sebagai mata air kehidupan batin yang selalu haus akan basuhan ketulusan.
Aku sedang tertawa sekarang. Ya, menertawaiku diriku sendiri. Aku sudah mati untuknya, bahkan ini adalah kematianku kesekian kalinya. Dia benar-benar memusnahkanku. Di hari aku mengetahui bahwa semua janji-janji dan mimpi-mimpi itu hanyalah bualan belaka dan bahkan terhadap pengkhianatan itu, aku meratap dan memohon pada Allah yang Mahakuasa untuk membantuku, untuk memberi belas kasihanNya padaku. Untuk menghilangkan dari dalam diriku semua tentang dirinya dan rasa sakit yang ia karamkan di palung hatiku. Ia adalah ular berbisa yang sudah memangsa kepercayaanku, mencabik-cabik harapanku dalam sekelip mata. Sementara aku duduk di atas sajadah memohon pada Allah agar mencekik dan mengubur perempuan yang meski ditutup rapat oleh khimar pengabdiannya, masih saja mencintai laki-laki itu dengan sepenuh hati. Masih saja mendambakan dan mendoakannya. Aku harus membunuh perempuan yang berdarah-darah untuknya itu. Jika tidak, aku akan binasa. Allah Yang Mahakuasa, yang begitu murah hati, mendengar doaku, doa-doa seorang pendosa. Di hari Jumat 11 Januari 2013, aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah mati ataupun menangis lagi untuk laki-laki manapun. Di saat itulah aku menjadi seorang perempuan yang berusaha mengikhlaskan segalanya. Hanya berharap Allah akan membasuh dan memadamkan api cinta yang pernah menyala ini dengan suatu kekuatan dan keridhoan dari langit. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Diluar sedang hujan, saat terbaik untuk bermunajat padaNya :
“Ya Allah ya Rabb, berikan aku satu hati baru yang tak pernah meragukan cintaMu. Tolong bantu aku untuk meletakkan dunia dan seisinya di tanganku, bukan di hatiku. Karena suatu hari aku harus meninggalkan ini semua. Mungkin, nafas ini adalah nafas terakhir, atau degupan ini adalah degupan jantung terakhir yang bergetar dalam rongga dadaku. Temani aku, kuatkan aku, ridhoi jalanku. Jangan biarkan aku menangani sedetikpun dalam hidupku tanpa diriMu. Amin amin ya Rabbal ‘alamin.”

No comments:

Post a Comment