Friday, February 8, 2013

Menuai Badai


Demi Zat yang nyawaku berada di genggamannya, sungguh Engkau benar-benar mematikanku lalu menghidupkan aku kembali. Saat dimana pelupuk mata ini terpejam, lalu ruh ini Kau tahan dan seketika Kau kembalikan lagi di penghujung malam, Kau memberiku kesempatan untuk mengadu padaMu, mengais belas kasihan dariMu, tersungkur penuh harap dan tak ingin menyudahi sujud yang diiringi isak tangis itu. Namun mengapa pertanyaan terbesar yang terus mempersempit nadi di leherku ini tak kunjung padam, “Kapan semua ini berakhir ya Rabb?”. I’m crying loud. I think I can’t handle it anymore. Astaghfirullah.
Tapi tunggu dulu, aku benar-benar harus menyeret diri ini. Bukankah sempurnanya malam dengan gelapnya merupakan sebuah pertanda bahwa fajar akan menampakkan sinarnya? Esok mentari akan bersinar lagi. Tak perlu aku menanam angin dan memanen badai di kemudian hari. Hiduplah untuk hari ini. Yakinlah bahwa Allah menyiapkan rencana yang luar biasa indah diluar jangkauanmu. Kalau bukan Allah, siapakah yang mampu menolongmu saat semua orang meninggalkanmu?
Lima tahun? Tentu bukan waktu yang singkat jika diisi dengan kecemasan. Meskipun Nabi Ayub AS telah menghabiskan waktu 18 tahun dengan segala macam penyakit dan derita yang ia peroleh. Bahkan kesabarannya itu terukir jelas dan diabadikan di Al-Quran. Tapi nafsu ini berteriak, “Aku bukan seorang Nabi, aku bukan seorang hamba Allah yang terpilih lalu diutus Jibril untuk memberi petunjuk demi ketenangan hatiku, bahkan aku bukan seorang ahli ibadah, aku bukan siapa-siapa ya Rabb, bukan siapa-siapa”. Aku bahkan sempat berfikir bahwa beban itu seharusnya dipikul oleh seseorang yang memang mampu memikulnya. Aku mendadak meragukanMu ya Rabb. Mungkin Kau perlu melakukan inventarisasi ulang mengenai segala cobaan dan beban yang Kau berikan padaku. Astaghfirullah. Semoga Kau tak matikan aku dalam keadaan berburuk sangka pada Zat yang Mahabaik dan Mahabijaksana ini.
Ya Rabb, tiba-tiba aku teringat perkataan seorang alim padaku, saat aku bertanya, “Mengapa saat aku istiqomah, cobaan mendadak datang di hidupku, terutama yang berasal dari masa lalu”, lalu beliau menjawab, “Apakah kau tidak ridho bahwa Allah ingin menaikkan derajatmu?”. Yak, hembusan dingin itu menyeruak di rongga dadaku, meski logikaku tak mampu menggapainya, aku memaksa batinku untuk mempercayainya dan semata-mata mengharap ridhoNya. Bukankah keluh kesah itu pertanda bahwa aku tidak ridho dengan takdir Allah bagiku? Padahal, Allah menjanjikan segala hal yang jauh lebih baik di sisiNya.
Biarlah mereka meninggalkanku dan membunuhku perlahan ya Rabb. Biarlah seisi dunia memerangiku, asalkan aku tetap berlari ke arahMu dan Engkau dengan serta merta memelukku erat. Biarkan Aku terasing sejenak di dunia yang singkat ini, tapi tolong, temani aku di keterasinganku di alam kubur nanti. Mudahkan hisabku. Kumpulkan aku dengan mereka atau paling tidak izinkan aku melihat sosok mereka dari kejauhan, para syuhada yang kerap kali membuatku meneteskan air mata haru,bangga dan rindu akan sosok mereka. Pantaskan aku ya Rabb. Jadikan pundak ini kuat dan mampu berserah diri akan segala hal yang berada di luar batas pengetahuanku. Tidurkan aku malam ini dengan kelapangan hati, kebeningan pikiran, kelembutan prasangka terhadap qada dan qadarMu. Bangunkan aku dengan senyum mengembang di kedua pipiku. Biarkan aku merasakan kehadiranMu dalam setiap helaan nafas ini ya Rabb. Sungguh, aku memohon dengan sangat pada satu-satunya Zat tempat disembah dan dimintai pertolongan. Amin. Amin ya Rabbal ‘alamin.

No comments:

Post a Comment