Sunday, April 7, 2013

Untukmu yang Mengkhianatiku



Ada satu nama laki-laki yang pernah memenuhi kehidupanku secara totalitas. Saat itu ia ‘seolah’ membuatku menjadi perempuan paling bahagia di dunia karena cinta yang kami rasakan. Rasanya tak pernah sama sekali aku menenggelamkan diriku dalam suatu samudra cinta yang terlihat tenang di permukaan namun sangat bergejolak dibawahnya. Dia sosok yang sangat luar biasa menurutku. Secara teoritis aku mengidamkan seorang pasangan dengan tipikal romantis dan tidak monotone. Namun, hal itu benar-benar tak dipenuhi olehnya. Mungkin jika dibandingkan dengan laki-laki sebelumnya, maka ia benar-benar tidak romantis dan sangat monotone. Dan itulah aku, perempuan bernama Derry Oktriana yang mendadak berubah menjadi sosok lain. Aku meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar mencintainya karena satu hal yang tak dimiliki oleh siapapun sebelumnya, yaitu dia satu-satunya laki-laki yang mampu membuatku tersenyum bahkan tertawa tanpa ia harus melakukan apapun. Menggelikan namun sangat aku sukai segala percikan dari api cinta itu.
Satu kalimat yang tepat meluluhkan pertahanan hatiku adalah saat ia mengatakan, “Ntah kenapa, aku sangat yakin bahwa kaulah tulang rusukku.”
Guncangan kalimat itu benar-benar luar biasa. Dan aku menyerah menjadi tawanan hatinya tanpa syarat apapun. Sama sekali tanpa syarat. Dia laki-laki baik, sangat baik. Mungkin tidak berlebihan jika aku katakan bahwa ia selalu shalat tepat waktu dan membaca Al-Quran setiap harinya. Dia juga sosok yang mencintai keluarganya, bahkan mencintai keluargaku. Seperti tak ada batasan lagi antara keluargaku dengan keluarganya. Aku sudah diperkenalkan dengan keluarga besarnya, begitu juga sebaliknya. Terlalu banyak yang telah kami lalui bersama, ntah sudah berapa kali aku memasak berbagai macam makanan dan menghidangkannya di atas meja makan keluarganya. Ntah sudah berapa banyak rakaat shalat berjamaah yang kami lalui berdua. Ntah sudah berapa banyak bulir air mata haru saat aku mendoakannya untuk menjadi imam keluargaku kelak. Bahkan aku pernah menangis saat shalat berjamaah bersamanya. Segala mimpi-mimpi kami tentang masa depan. Begitu juga dengan segala keperihan bersama yang selalu berhasil kami lalui.
Aku ingat, hari itu di Pekanbaru, rasanya kematian berada sangat dekat dengan kami berdua. Motor yang kami kendarai diserempet sebuah truk barang besar yang tiba-tiba datang dari arah belakang. Kami terseret dari kepala truk tersebut hingga ke bak paling ujung dan akhirnya terjatuh di aspal, sontak aku melihat ke arah belakang karena khawatir akan datangnya kendaraan lain yang akan menghantam kami secara tiba-tiba. Hanya satu hal yang terbersit di benakku saat itu, “Inikah akhir yang Tuhan inginkan?”. Masha Allah, semua kehidupan yang aku lalui mendadak terputar ulang dalam sekelip mata. Tak ada satupun suara yang mampu aku dengar, mendadak semuanya kosong, hanya ada aku dan diriku. Dan satu kalimat membuyarkan itu semua, ia berteriak ketakutan sambil mengguncangkan pundakku, “Kau gak papa kan? Maafin aku, tolong maafin aku.” Ini kali kedua aku melihat ekspresi cemas dan rasa bersalah yang sangat dalam dari garis wajah dan sorot matanya. Ya, kali kedua.
Rasa sakit di hari itu telah hilang, tapi guratan luka masih membekas di lengan kanan dan tapak kakiku. Kadang aku selalu merasa ketakutan dengan segala luka yang aku alami, hampir semuanya membekas dan menimbulkan sisa luka baru yang mungkin tak akan pernah hilang. Kenapa? Karena ternyata aku membawa kelainan genetik dalam penyembuhan luka atau disebut keloid. Tak semua hal bisa aku hilangkan dengan mudah, termasuk bekas luka ini, baik di permukaan maupun yang berada lebih dalam.
Tapi sudahlah, semua telah berubah dalam sekelip mata. Mungkin bagi mereka yang telah mengikuti tulisan-tulisan di blogku ini menyadari bahwa hampir seluruh tulisanku menceritakan tentang laki-laki ini. Aku tak lebih dari seorang perempuan yang sedang memadamkan api cinta yang mungkin ianya sedang tertawa terbahak-bahak saat menghanguskanku hingga ke sumsum tulang. Demi Zat yang sedang membasuh bahkan mengguyurku dengan air kehidupan dari langit. Tak ada kata lain selain syukur penuh karena telah mengantarkanku pulang ke fitrah lahirku.
Pernahkah kalian menantang Tuhan? Aku pernah melakukannya, maka saranku, lakukanlah juga demi hidup dan kehidupan yang lebih baik kedepannya, insyaAllah. Mungkin dalam hitungan menit, Allah akan membolak-balikkan hati orang-orang disekitar kalian. Membuat suatu ‘pertunjukan’ frontal yang mungkin tak pernah terfikirkan sama sekali di hati atau benak kalian. Sebelum aku menceritakannya, ada baiknya aku bercerita tentang tulisanku yang berjudul “Allah atau Tuhan?”. Aku menulisnya sekitar dua tahun yang lalu, aku memutuskan hubungan kami ini bukanlah kali pertama. Aku pernah melakukannya juga sebelumnya, dengan alasan yang sama yaitu ingin istiqomah untuk tidak berpacaran. Namun, sepertinya iblis masih berkuasa, kejahiliyahan masih menunjukkan taring dan kukunya. Aku bertekuk lutut kembali saat bertemu dengannya di liburan akhir semester. Dengan komitmen baru, kami membangun kembali hubungan kami.
Tapi tetap saja, hati kecilku kadang berteriak keras mengatakan, “Sudahi ini semua Derry Oktriana, apa lagi yang kau tunggu?!”. Dan akhirnya, aku memutuskannya kembali seusai pulang dari KATALIS, dan kali ini tak boleh gagal lagi. Aku harus benar-benar istiqomah dengan keputusanku ini. Memang, pada awalnya kami memiliki komitmen untuk secara totalitas menjaga interaksi kami, hingga Tuhan membingkai hubungan kami dalam suatu ikatan halal nantinya,dia katakan “Jika semua ini telah selesai, aku akan datang untuk menjemput kau nantinya.” Aku percayai semua kalimatnya, tanpa terkecuali. Mulai saat itu, aku sangat membatasi percakapan kami melalui telfon, bbm atau sms. Atau bisa dikatakan, aku benar-benar memutus komunikasi dengannya kecuali untuk sekedar menanyakan kabarnya sesekali dan mengucapkan semangat saat ia akan ujian, begitu pula sebaliknya. Karena, untuk apa istiqomah tidak berpacaran namun tetap berkomunikasi mesra? Setengah mati aku berusaha menahan segala keinginanku untuk menghubunginya. Hingga satu hari, aku menantang Tuhan.
Aku benar-benar menantang Tuhan. Aku katakan pada satu doa khusus setelah shalat ashar, sore itu aku bermunajat dengan sangat khusyuk kepada-Nya. Aku katakan pada-Nya dengan linangan air mata, “Ya Allah ya Rabb, aku sangat ingin berada dekat dengan-Mu. Aku ikhlaskan apapun takdir yang akan Kau berikan padaku, asalkan ianya mampu mendekatkan diriku sedekat-dekatnya dengan-Mu. Ya Rabb, aku tidak sedang memohon kepada-Mu, aku sedang menantang Engkau dengan segala janji dan ancamanmu! Aku benar-benar menantang-Mu sekarang! Dekatkan aku pada-Mu, sedekat-dekatnya lalu kuatkan aku dengan segala keputusan-Mu. Itu saja. Amin.”
Dan tahukah kalian? Serasa Allah berbalik menantang doaku. Belum sempat aku menanggalkan  mukenahku, aku membuka handphone dan langsung dihadapkan dengan satu kenyataan terpedih yang pernah aku rasakan seumur hidup. Baiklah, pengkhianatan itu terulang. Cinta yang selama ini teramat sangat aku percayai mengkhianatiku. Kenapa aku mengatakannya terulang? Ingatkah kalian laki-laki yang aku ceritakan di tulisan “Lamaran Diatas Pusara?”. Ya, dia orang yang dulunya aku khianati, aku campakkan layaknya sampah demi laki-laki yang akhirnya mengkhianatiku ini. Begitulah hidup, berputar sesuai kehendak Sang Khalik.
Namun, aku sangat berterima kasih atas pengkhianatan itu. Berterima kasih kepada perempuan yang berhasil menggantikan posisiku mengisi hari-harinya dengan perhatian yang ia butuhkan. Karena sungguh, aku benar-benar tak dapat melakukannya lagi. Aku ingin disibukkan dengan kecintaanku pada Zat Mahacinta dan pada Rasulullah, manusia pembawa cinta. Tak ingin lagi menyia-nyiakan hidup dan kehidupanku kepada makhluk yang tak layak untuk aku menghamba kepadanya.
Lagipula, aku tersadar. Tak ada yang perlu disedihkan atas segala pengkhianatan itu. Bukankah dengan sebuah pengkhianatan, kita tau benar bagaimana kualitas cinta yang ia miliki? Seharusnya aku masih bersyukur, bukankah aku hanya kehilangan orang yang tidak mencintaiku secara tulus? Bukankah aku baru saja terhindar dari pengkhianatan yang pastinya akan lebih menyakitkan jika terjadi saat kami telah halal dalam suatu pernikahan nantinya? Dan dia? Dia telah kehilangan seorang perempuan yang sedang berusaha meniti jalan menuju kebaikan, kehilangan seorang perempuan yang sempat berkeinginan menjadi istri dan ibu yang luar biasa bagi anak-anaknya. Atau lebih panjang lebar lagi jika kalian telah membaca tulisanku, “Jodohku Kau atau Dia?”. Dan bagaimana dengan perempuan lain itu? Seharusnya aku mengasihani dan mengkhawatirkannya. Atau lebih tepatnya sudah dan sedang mengkhawatirkannya. Bukankah ia hanya mendapatkan seseorang yang kualitas cintanya telah terbukti rendah dan lebih buruk dari diriku?
Aku juga ingin berterimakasih karena perkataannya padaku, dia pernah mengatakan dengan lantang dan penuh dengan penghakiman, “Kau tak layak membicarakan agama! Tak perlulah membawa-bawa nama Tuhan! Kalau memang mau istiqomah, jangan setengah-setengah!”. Dan sekarang, inilah yang sedang aku lakukan, berusaha dan terus berusaha memantaskan diri untuk menyampaikan pesan-pesan Allah. Istiqomah secara totalitas. Semoga Allah menyabarkanku dan senantiasa menguatkanku. Amin.
Dan satu hal yang ingin aku katakan disini, aku sedang membebaskan diriku dari itu semua. seperti tulisanku, “Hijrah? Bismillah”. Aku jelas mengatakan disana, bahwa aku menutup diri baik itu dunia nyata maupun dunia maya dari hal-hal yang menyangkut hidup dan kehidupan mereka. Bahkan aku pernah mengatakan, anggap saja aku sudah mati dan terkubur dibawah sana. Aku sampai tak ingat kapan terakhir kali aku membuka facebooknya, twitternya atau apapun yang bersangkutan dengannya. Jika ada yang menyebut namanya dan ingin menceritakannya padaku saja, aku katakan, “Sudahi itu semua, aku tak memerlukannya lagi.” Mungkin mereka sudah dan sedang berbahagia sekarang. Begitu juga denganku, aku tak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Allah berkehendak lain, Dia mengantarkanku pada maqam (tahapan) kebahagiaan yang aku sendiri tak mampu menjelaskannya. Begitulah hidup, layaknya pertigaan. Pada awalnya mungkin kita berjalan bersama-sama dalam suatu jalan, namun saat kita mencapai satu pertigaan. Kita memilih jalan berbeda. Kita tetap berjalan dan tumbuh besar, awalnya aku mati terbunuh berkali-kali saat menapakinya tanpa dirimu. Namun aku tak akan pernah mati lagi untukmu. Karena Allah memberikan hati, cinta dan kehidupan baru untukku. Layaknya tulisanku, “Shahzadi Ibadat”. InsyaAllah, amin.
Aku teringat pada satu orang laki-laki yang  pernah aku sisipkan fotonya di tulisan “Reborn of Derry Oktriana”, dia tiba-tiba mengatakan padaku, “Kau tahu kenapa kau takut dan patuh padanya? Karena dia udah kayak Tuhan kau!”. Aku tertawa saat mendengar ungkapannya itu meski otakku berfikir keras dan menyetujui pendapatnya. Dia menyadarkanku sekali lagi, bahwa untuk apa aku menuhankan orang lain? Untuk apa aku menjadi budak dari seorang makhluk? Karena Allah melahirkanku bukan untuk menjadi budak siapapun! Aku perempuan merdeka!
Tiap aku menangis dan mengais belas kasihan dari penduduk langit, aku rasakan bisikan damai, seolah Allah membisikkan ke dalam relung hatiku dengan lembut, “Hambaku, Aku telah mengampunimu, kemarilah, aku menantikanmu kembali kepadaku.” Begitulah cahaya Illahi, saat kita sangat menginginkan dekat kepada-Nya, kita seolah ditarik lalu diceburkan hingga bermandikan cahaya-Nya. MashaAllah, andaikan semua orang tahu betapa nikmatnya saat memperpanjang sujud dihadapan-Nya, saat bermunajat penuh rasa takut dan rasa harap kepada-Nya. Itulah saat dimana tak akan kita rasakan lagi cinta yang lebih dahsyat selain cinta kepada-Nya.
Ku akhiri tulisanku ini dengan satu doa untuk kita semua, semoga Allah memperkenankan dan mengabulkannya dengan diamini oleh seluruh pembaca.
“Ya Allah ya Rabb, jika cinta itu ibarat kehidupan. Maka hidupkan kami dalam cinta kepada-Mu. Dan jika ketiadaan cinta itu ibarat kematian. Kami tak peduli. Kami hanya ingin hidup dan mati dalam keadaan cinta kepada-Mu. Tambahkanlah bekal cinta kami ini dengan keridhoan-Mu seluas langit dan bumi. Pertemukan cinta kami ini dengan diri-Mu wahai Zat Mahacinta. Rindukan kami pada kekasih-Mu Rasulullah SAW, jadikan kerinduan kami ini terobati dengan melihat senyum terbaik yang pernah terpancar di muka bumi dan seluruh penjuru langit dari beliau untuk kami. Perkenankanlah doa kami ya Rabb. Kami memohon dengan sangat. Amin amin ya Rabbal ‘alamin.”

4 comments:

  1. syukron kak, awalnya serasa ditampar waktu awal baca, tapi entah kenapa ada rasa rindu tuk merasakan tenangnya hidup tanpa galau atas cinta yang belum halal, seperti waktu kecil dulu..
    sekali lagi syukron kak, semoga mampu istiqomah..
    aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. insyaAllah dek, Allah Mahatahu, moga kita tetep bisa istiqomah menjaga izzah ini yah, semangkA, anak Al-Azzam anti galau masalah cinta (^_^) aamiiin

      Delete
  2. Terima kasih atas sharingnya.. Amat menggugah jiwa saya yang masih mencari keteguhan ini. Insya Allah, fii sabilillah...

    ReplyDelete