Wednesday, February 20, 2013

Pernah Jatuh Cinta?

Pernah jatuh cinta? Bagaimana rasanya? Hati mendadak selalu berbunga-bunga? Semua orang tiba-tiba memiliki wangi yang sama dengan parfumnya? Hati cetar-cetar saat ada yang menyebut namanya? Atau mungkin ada yang sudah menjalin hubungan terhitung lama, lalu dunia serasa hanya milik berdua, bahkan meyakini diri bahwa memang dialah yang dijodohkan Allah untuk kita? Itulah salah satu bagian ‘kebahagiaan’ yang dirasakan oleh dua orang yang sedang kasmaran.
Tapi tunggu dulu, masih ada bagian lain yang tak boleh kita abaikan, yaitu bagian ‘kesedihan’. Kenapa? Karena suatu hubungan tak akan pernah luput dari masalah. Kadang cemburu, salah paham, kurang komunikasi, jarang bertemu, ngambekan, terlalu sibuk, posesif, dan masih banyak lagi. Yang harusnya baik-baik aja, eh malah jadi masalah besar. Yang kecil dibesar-besarin, yang besar malah makin dibesarin. Yang tadi judulnya bahagia mulai diliputi galau, labil, murung sana-sini. Lelah deh. Hehe.
Aku pribadi udah tau banget lika-liku hubungan yang disebut ‘pacaran’. Gimana enggak, mantan udah punya beberapa, bahkan yang terakhir udah serius banget ‘kayaknya’. Inget dan digaris bawahi ya, ‘kayaknya’. Kalem aja kayak katanya Yusuf Mansur. Hihi.

Tuesday, February 19, 2013

A Friend in Need is A Friend Indeed



Kali ini aku hanya ingin mengutip beberapa pesan melalui sms, bbm atau beberapa komentar di dunia maya. Semoga dengan ini, dapat terus mengingatkanku tentang mereka yang masih ada saat aku terpuruk. Dan tentunya aku akan terus bangkit dengan hati yang baru, jiwa yang baru dan segala pembaruan ke arah yang lebih baik. Karena Allah ada disana. Bismillah.
Nama pertama : Andam Dewi Pertiwi
Andam    : Katanya, beras merah, salmon, daging kalkun, & banana split bisa meningkatkan serotonin, senyawa yang bisa bikin jiwa tenang dan bahagia, coba deh, hehe, tapi pakek doa aja, gratis dan bisa sepuasnya lagi
Aku           : Iyah ndam, kadang kita emang gak punya pundak untuk bersandar, tapi inget aja kalo kita slalu punya tanah untuk bersujud :’)
Andam    : Mantap, ini baru yang namanya yii (^_^)

Nama kedua : Maya Sofia Suhendar
Maya        : Yii kenapa? Tentor maya harus semangat n optimis dong kayak yii yang dulu slalu nyemangatin Maya
Aku           : *speechless* makasih May :’)

Nama ketiga : Rohmah Ruyani
Kakak       : Gimana kabar Tanjungpinang yii?
Aku           : Kabar pinang baik kak, kabar adek nih yang mengkhawatirkan, hehe

Bacalah dan Berbahagialah


Tulisan ini adalah tulisan yang ditulis dari sudut pandang pribadiku. Ditujukan kepada orang-orang yang masih meragukan ‘kinerja alam semesta’ terhadap hidup dan kehidupan kita. Semoga dengan sekelumit kisah yang akan aku paparkan kali ini, dapat menginspirasi kita semua mengenai betapa Mahabijaksananya Allah SWT. Amin.
Kisah pertama dimulai dari sebuah musholla di fakultasku. Hari itu aku masih dalam keadaan sangat-sangat terguncang dan benar-benar rapuh. Mungkin jika seluruh lagu sedih di dunia dikumpulkan menjadi satu, belum juga cukup untuk mewakili kesedihanku. Setelah menunaikan shalat sunnah Dhuha lalu dilanjutkan dengan tilawah, aku bermunajat kepada Allah agar Dia berkenan memberi aku petunjuk. Untuk mengobati hatiku dengan segera sebelum aku membinasakan diriku sendiri. Bersabar dan terus bersabar, hanya itu yang bisa aku lakukan. Dan ntah kenapa, aku tiba-tiba sangat ingin menyandarkan punggungku sejenak di lemari kaca yang berisikan buku-buku perpustakaan Al-Azzam.
Tak lama berselang, aku mendadak mengangkat tanganku dan mengambil salah satu buku di dalamnya tanpa melihat ke dalam lemari buku. Saat aku meletakkan buku yang aku dapati secara random itu tepat di hadapanku, aku sedikit kaget bercampur haru. Kedua mataku langsung berkaca-kaca dan nafasku mulai tak beraturan. Kalian tau kenapa? Karena alam semesta memberikan aku jawaban. Buku tersebut berukuran agak kecil dan berwarna ungu. Dan di sampul depannya tertulis, “Wahai Kaum Wanita Jangan Bersedih, Jadilah Anda Wanita yang Paling Bahagia”. Sebuah karya luar biasa dari Dr.‘Aidh bin ‘Abdullah Al-Qarni.
Tak perlu waktu lama untuk aku melahap habis lembar demi lembar yang diisi dengan senyuman, tawa kecil hingga tangis penuh syukur dan bahagia. Kini biarkan aku mengutip bagian persembahan dari buku ini :

Sunday, February 17, 2013

Kalian juga Keajaiban


Alhamdulillah. Kata ini yang aku gunakan untuk memulai seluruh tulisan ini nantinya. Sebuah tulisan yang diisi dengan penuh rasa syukur atas segala keajaiban hidup yang Allah titipkan padaku. Akan ada beberapa nama yang menghiasi tulisan kali ini. Beberapa orang teman sebaya dan seniorku.
Mungkin harus dimulai dengan satu nama anak perempuan yang duduk tepat disampingku saat mata kuliah Farmasi Fisika. Sebuah mata kuliah yang menjadi pembuka di tahun pertamaku menjadi seorang mahasiswi jurusan farmasi di Universitas Pancasila. Anak ini bernama, Andam Dewi Pertiwi. Gadis yang tampak sederhana, ramah dan cenderung tak banyak bicara. Tapi tentu saja itu hanyalah sebuah kesan pertama. Karena setelah ini akan banyak perubahan pandangan yang akan aku lemparkan tentang dirinya. Hehe.
Ya, Andam Dewi Pertiwi. Ntahlah, aku bingung harus menulis apa tentangnya. Dia seperti seorang teman yang komplit untukku. Dia sosok periang, cerdas dengan kalimat-kalimatnya yang kadang tak pernah terfikirkan olehku, ditambah lagi dengan berbagai gombalannya yang berbau farmasi. Dia benar-benar sosok gadis yang menyenangkan menurutku. Yah meski kadang ia terkesan menyebalkan karena kesibukannya yang slalu membuatnya harus mampir alias ‘nyangkut’ disana-sini. Ditambah lagi dengan sifat moodnya yang kadang-kadang mendadak berubah. Dia juga memiliki masalah dengan ketelitian, sedikit gugup dan kadang mengambil keputusan yang kurang rasional menurutku. Tapi ada satu hal yang akan aku ingat tentang dirinya, dialah yang menginspirasiku untuk meninggalkan semua celana jeans yang aku punya. Menggantinya dengan setelan rok atau gamis. Dan aku sebut ini ‘revolusi’ bukan ‘evolusi’ yang berjalan lambat.

Saturday, February 16, 2013

Keajaiban itu Aku


Pernah merasakan keajaiban? Atau pernah merasakan dikelilingi oleh keajaiban? Aku teringat sebuah kalimat Albert Einstein yang mengatakan bahwa ada dua cara untuk menjalani kehidupan, pertama menganggap keajaiban itu tidak ada, kedua mengganggap semuanya adalah sebuah keajaiban. Menurut Anda, apa yang akan terjadi selanjutnya? Ya, tentu saja jika kita memilih pilhan kedua, aku akan mengatakan dengan lantang kepada Anda, “Selamat menikmati keajaiban.” Karena hidup adalah pilihan, apa yang Anda rasakan dan Anda percayai adalah hal-hal yang memiliki kekuatan untuk terwujud. Itu nyata.
Mungkin harus ada contoh konkrit yang menunjukkan bagaimana keajaiban itu dapat terjadi. Bisa dimulai dari diri sendiri, orang-orang terdekat kita atau melalui biografi tokoh-tokoh tertentu. Kali ini aku akan membahas dari sudut pandang pribadi seorang Derry Oktriana.
Keajaiban, sebuah kata yang indah saat diucapkan. Memiliki sebuah daya magis yang tak mampu terdefinisi secara totalitas. Ada kekuatan Allah disana. Layaknya risalah langit yang turun melalui jemari para malaikat. Dan telah tertulis secara megah dalam Lauhul Mahfudz.
Tulisan kali ini akan membawa Anda untuk mencermati lebih dalam dengan hati nurani tentang segala keajaiban yang terjadi dalam hidup dan kehidupan Anda sendiri. Sebelumnya aku berharap Anda akan melakukan hal-hal yang aku tulis setelah ini. Janji ya. Hehe.

Saturday, February 9, 2013

Aku Sudah Tidak Sedih Lagi



6 Februari 2013. Aku mengawali hari ini dengan satu nafas panjang yang sangat berat dan tersekat di kedua rongga rusukku. Aku melakukannya lagi, suatu monolog yang tak kunjung usai. Atas nama kelemahan keperempuananku dan atas nama seorang wanita yang meletakkan perasaan jauh di atas logikanya. Tak satupun air mata akan kubiarkan jatuh untuk hari ini. Tapi, tetap saja. Aku seolah sedang mati untuknya. Potongan hati ini berserakan dengan mengucurkan luka darah. Mereka mengatakan, “Aku mengerti, karena kau seorang perempuan sama sepertiku.” Aku terdiam dan membiarkan kalimat itu terputar berulang-ulang dalam pendengaranku. Lalu aku terbentur pada suatu dinding besar yang membuatku teramat sangat ingin berteriak, “Kalau begitu, sebagai seorang perempuan, sekarang katakan padaku bagaimana aku harus menghadapinya, apa yang harus perempuan ini lakukan? Tunjukkan aku bagaimana caranya menghentikan pisau yang terus bergerak dan menyayat jiwaku ini.”
Namun, tentu saja teriakan itu hanya karam dalam batinku. Banyak yang ingin aku katakan, tapi aku lebih memilih diam, mengubur semuanya rapat-rapat hanya untuk diriku seorang.

Shahzadi Ibadat


Lamunan macam apa ini, sebuah lamunan yang membenturkan kembali jiwaku pada masa lalu yang ingin aku tentang secara totalitas. Teriakan itu mengguncang nadiku, melemahkan kembali pertahanan yang selama ini aku bangun. Pertanyaan bodoh tentang cinta yang dilontarkan kepadaku. Apa yang harus aku katakan mengenai itu semua? Mereka ingin mendengar jawabanku kini atau yang dahulu? Aku bukan perempuan yang sama layaknya beberapa tahun yang lalu. Perempuan yang selalu mendongakkan kepalanya, merasa dirinya wanita paling beruntung sedunia karena dikelilingi nikmat kehidupan yang tak banyak orang memilikinya. Seorang perempuan yang bersinar dan dikenal. Seorang perempuan yang menentukan pilihan dengan jari telunjuknya kemudian mebuangnya begitu saja apabila ia sudah tidak berkenan. Perempuan yang menganggap bahwa pembalasan itu haruslah dia yang melakukannya dengan kedua tangannya sendiri.
Tapi lihatlah sekarang, perempuan ini menjelma menjadi sosok lain. Pandangannya cenderung tertunduk sekarang. Ia lepaskan segala jubah kesombongan yang semata-mata hanyalah milik Allah. Ia berusaha menyederhanakan rasanya, tutur katanya dan pakaiannya. Ia rendahkan dirinya karena pilihan sedang tidak memihak padanya. Nasib sedang bersekongkol melawan jiwanya yang terlanjur luluh lantak.

Pemakaman Untukmu



Aku merasa menjadi seorang pengkhianat tiap menit ke menit. Sebuah pengkhianatan terhadap diri sendiri yang terus berlangsung tanpa jeda. Aku teringat di hari itu, hari dimana aku kehilangan seorang perempuan dan tlah aku kuburkan tepat di bawah kedua kakiku. Dia menangis dan meronta memohon pertolongan dan belas kasihan. Tapi aku tak membiarkannya, dengan tangis dan darah yang masih mengalir, aku menguburkannya hidup-hidup. Aku tlah menyiapkan lubang pemakamannya jauh sebelum hari ini, hanya saja keberanian itu baru ku rengkuh. Aku membiarkannya mati. Mati sesegera mungkin di bawah sana. Karena penduduk bumi hanya akan membunuhnya secara perlahan. Aku benar-benar tak tahan melihat itu semua. Biarkan aku yang menjadi penjahat demi ketenangan dirinya, aku bungkam teriakannya, aku hentikan tangisnya, dan aku balut seluruh perih lukanya. Kini dia sudah terdiam, membeku dengan mulutnya yang mengatup rapat. Tapi butiran air mata itu masih menggenangi kuburnya. Ternyata luka itu masih bersemayam dalam jiwanya. Jasadnya boleh mati namun hatinya masih rapuh dengan luka yang menganga.
Suatu hari jiwa itu akan bangkit dari kuburnya. Memenuhi panggilan Sang Pencipta. Atau aku yang harus membongkar kuburnya dan membiarkan ia hidup kembali?

Penduduk Bawah Tanah


Langit tampak pekat dengan hitamnya kelam, siang sudah berganti malam, terang sudah ditelan gelap. Untung saja bulan sedang purnama, ada cahaya tegas melingkar di sudut sana. Angin sepertinya enggan berhembus, tak ada satupun daun yang bergerak. Hanya jangkrik yang menyanyikan lagu sendu tak berujung. Kelelawar keluar dari sarangnya, saatnya bangun dan terbang bebas mengisi kekosongan perutnya.
Malam hari, benar-benar mewakilkan suasana peristirahatan kita nantinya. Gelap, sunyi, dan digerogoti ketakutan. Aku ingin berlari ke sebuah pemakaman sekarang, duduk di salah satu makam yang letaknya agak tinggi, lalu melihat ke sekeliling. Pasti sangat menakjubkan merasakan hawa kehadiran penduduk ‘bawah tanah’, bukankah berbicara dengan penduduk bumi hanya menambah luka dan tetap tak mengobati?

Jemput Aku dengan Cara-Mu


13 Januari 2013, jemariku terhenti seketika. Tak kutemukan satu katapun yang dapat menggambarkan keadaan jiwa terdalamku sekarang. Aku benar-benar tidak menyukai periode bulanan ku harus datang secepat ini. Aku membutuhkan kenikmatan shalat sekarang, namun kenikmatan itu terenggut karena ketidak suciannya jasad ini. Allah, hentikan darah ini. Aku benar-benar ingin rukuk dan sujud dihadapanMu. Esok, ntah apa yang akan terjadi esok hari. Ntah kenapa, kepulangan ku kali ini masih menyisakan rasa tidak nyaman. Rasanya tak ingin pulang ke bumi segantang lada lagi, benar-benar tak ingin menyatukan diri dengan tanah. Ada sebersit keinginan untuk mendaki ke atas langit, naik hingga ke Arsy dan bertemu denganMu. Tapi apa daya, memikirkan kematian saja membuatku menangis ketakutan akan siksaanmu. Tolong, kasihani aku. Ampuni aku. Matikan aku dalam keadaan khusnul khotimah. Matikan aku dalam keadaan berbaik sangka akan takdirMu. Jujur, ketakutan ini semakin menjadi. Aku takut Kau meninggalkanku. Aku takut tak dapat bertemu dengan Rasulullah. Aku takut. Aku takut. Aku takut.
Ku pejamkan mataku sejenak, merasakan kehadiranMu. Aku ingin bebas. Bernafas lega. Tersenyum bahkan tertawa. Aku ingin menjadi wanita paling bahagia di dunia karena aku mencintaiMu dan Kau membalas cintaku dengan segala sesuatu yang jauh lebih luar biasa. Aku ingin mereka melihat bahwa Kau lah yang membuatku bebas dan semakin kuat.

Hijrah? Bismillah

Kamis, 10 Januari 2013. Sore itu awan mendadak kabut, langit mendadak gelap diiringi hembusan angin yang mengandung serpihan hujan. Kami meluncur ke suatu rumah yang bersebelahan dengan sebuah masjid. Rumah yang memberikan kesan tentram dan damai di dalamnya. Dengan kepala tertunduk dan berusaha menyembunyikan bulir-bulir air dari sudut mataku, aku merangkai kata demi kata untuk menggambarkan keadaan jiwaku saat ini. Beliau mengatakan banyak hal, sembari menanggapi blog yang berisi belasan postingan teriakan batinku. Ntah hal apa yang harus ku tulis kini, seluruh kalimatnya berputar-putar di alam bawah sadarku. Aku tau benar tentang semua yang akan dan telah beliau katakan. Keberanian yang kubawa saat itu hanyalah untuk mendengarnya langsung dari mulut beliau. Aku telah berjanji di ashar itu, apapun yang akan beliau katakan dan anjurkan padaku akan ku jadikan bentuk tawakkal dan keridhoanku. Bukankah selama ini aku berharap Allah memberikan jawaban frontal bagiku? Inilah dia, ku anggap beliau sebagai sosok perantara Allah kepadaku.

Muhasabah Cintaku


Muhsaf itu masih terbuka, sajadah masih terbentang, dan mukenah belum tersingkap. Tanganku meraih netbook lalu terlihat di sudut bawah layar, 5 Januari 2013, 12:49. Sudah tahun 2013, bagaimana jika aku menggangap tahun ini 2012a? Haha. Bukankah banyak orang yang menganggap angka 13 itu membawa kesialan? Tapi sepertinya aku tidak termasuk orang-orang seperti mereka. Aku dengan sepenuhnya sadar memesan tiket penerbangan tanggal 13 Januari 2013. Angka bagus untuk memulai semuanya atau angka bagus untuk mengakhiri semuanya? Aku benar-benar harus berfikir keras tentang hal itu. Semoga Dia segera memberikan aku petunjuk. Amin.
Kini diawali dengan senyum merekah, aku memutar lagu Edcoustic-Muhasabah Cinta. Dan aku tau pasti, senyuman ini akan berakhir dengan tangisan ketakutan penuh harap akan ridhoNya.
“Wahai pemilik nyawaku, betapa lemah diriku ini, berat ujian dariMu, kupasrahkan semua padamu.” Yak, tak perlu menunggu lama, aku tersenyum sambil mengalirkan butiran hangat ini lagi dan lagi. Dulu, aku selalu menangis terisak-isak di hadapanMu. Sekarang? Tidak. Aku sudah berhasil menangis sembari tersenyum bahkan tertawa di hadapanMu. Aku berteriak padaMu sekarang, jika guru hanya diam saat mengawasi ujian para muridnya. Maka mungkin sekarang Kau juga sedang diam dan mengawasi ujianku ini. Lalu pertanyaannya adalah, “Kapan ujian ini berakhir? Kapan Kau akan membunyikan bel tanda berakhirnya ujian ini?”

Jodohku, Kau atau Dia?


Cinta? Kata yang slalu dikumandangkan banyak orang, baik tua, muda, si kaya, si miskin, laki-laki, perempuan bahkan anak-anak. Islam, Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak pernah melarang suatu rasa yang disebut “CINTA” ini. Hanya saja cara yang digunakan untuk mewujudkan cinta itulah yang diatur dengan tegas. Tidak ada istilah “Pacaran Islami”, seolah-olah mencampur adukkan antara dakwah dan maksiat, mungkin ada benarnya istilah yang menyebutkan “Maksiat Berkedok Dakwah”, astaghfirullah. Lalu bagaimana seharusnya? Tentu saja dengan merealisasikan dengan sebuah ikatan suci, bukan dengan ikatan tak pasti dan berujung patah hati.
Karena ini semua bukan masalah janji-janji. Bukankah itu hanya dan tetaplah sebuah janji? Beralihlah ke segala hal yang pasti-pasti. Karena sungguh, yang akan sakit hati dan patah hati adalah yang menanti. Sudahlah, halalkan atau tinggalkan. Nikahi atau sudahi.
Kadang ada hal yang slalu membuat perutku menahan geli, yaitu aku tersadar bahwa aku sedang hidup di suatu peradaban dimana pernikahan dianggap SARA sedangkan perzinahan dianggap biasa. Benar-benar menggelikan. Astaghfirullah.
Al-Quran itu sudah jelas menyebutkan kata “laki-laki” sebanyak 23 kali. Dan menyebutkan kata “perempuan” sebanyak 23 kali juga. Bukankah itu sebuah pertanda dan semakin meyakinkan kita bahwa kita memang diciptakan berpasang-pasangan? Dan jika dijumlahkan, akan menghasilkan bilangan 46. Bukankah bilangan tersebut sama dengan jumlah kromosom manusia?

Gombalannya Nyata


Berhubung ini malam minggu, dan biasanya banyak yang bermesraan di luar sana. Mendadak ba’da maghrib tadi ada yang bikin hati aku cetar-cetar membahana, hahaha. Berikut ini percakapan antara kami berdua yang asli masih menyisakan senyum malu-malu dengan pipi yang agak merona (^_^)
Dia : Kok malah yasinan malem minggu?
Aku : Biarin aja, sedekah buat yang udah meninggal
Dia : Kok ketus jawabnya?
Aku : Kamu gitu sih, katanya sayang m aku, tapi kerjaannya bikin hati aku nyesek tiap hari, galau tiap hari, dikit-dikit nangis, belum cukup juga apa?
Dia : Itu tanda cinta buat kamu
Aku : Tanda cinta gimana? Ini nyakitin pakek bgt
Dia : Percayalah, itu benar2 tanda cinta buat kamu
Aku : Gak percaya, nyakitin tetep aja nyakitin

Ibarat Mayat yang Dihidupkan


Lagi dan lagi. Tangisan ini tak kunjung reda. Berharap mataku memiliki musim kemarau yang panjang. Sehingga tak satu tetespun air mata yang kan mengalir. Pergilah kalian semua wahai awan mendung yang menyelimuti pelupuk mataku. Biarkan bumi ini kering sementara waktu. Biarkan matahari bersinar terang. Aku ingin bernafas. Jangan biarkan diri ini binasa karena menzalimi dirinya sendiri.
Bukankah usiamu sudah menginjak usia 20 tahun? Kemana saja dirimu selama ini? Menjadi biji rapuh yang tak kunjung bertunas? Atau dirimu sudah mulai bertunas lalu layu sebelum berkembang? Buang saja dirimu seluruhnya, lalu mintalah pada Tuhan untuk memberimu biji baru yang akan bertunas dan berbunga segar. Tapi pertanyaannya adalah, “Apakah Allah berkenan memberimu biji baru?.” Aku berusaha menjawab pertanyaan itu sendiri, “Ya tentu saja,bukankah Allah Mahapemberi? Percayalah, kebaikan Allah jauh lebih besar dari murkaNya.”
Kubuka lagi mushaf itu, Allah seolah memberiku jawaban melalui surah Al-An’aam ayat 125 yang berbunyi, “Maka barangsiapa yang Allah hendaki untuk Dia beri kepadanya petunjuk. Dia akan melapangkan dadanya (hatinya) untuk menerima Islam. Dan barangsiapa yang Dia kehendaki untuk dibiarkanNya sesat, niscaya Dia akan menjadikan dadanya (hatinya) sempit lagi sesak, seakan-akan dia sedang mendaki naik ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Bukankah ini jalan Tuhanmu yang lurus? Adakah kita mau mengambil pelajaran darinya?

Jatuh Cinta Lagi


Adzan menggema di seluruh sudut rumah, masjid yang berjarak hanya sekitar 30 meter itu mengumandangkan adzan ashar, memberiku kesempatan untuk kembali bersujud dan mensyukuri nikmatnya shalat. Banyak yang ingin aku tulis kali ini. Tapi tak satupun kata yang aku temukan untuk memulainya. Baiklah, biarkan aku sejenak membasuh kulitku dengan air wudhu. Menunaikan shalat kemudian berusaha tersenyum sambil mengalirkan tinta bening seperti biasa di kedua pipiku. Yak, alhamdulillah sudah ku tunaikan satu lagi panggilan itu. Paling tidak, jika aku mati beberapa saat lagi, aku sudah terbebas dari kewajiban ashar ini. Dan malaikat maut menjemputku dalam keadaan masih berwudhu.
Sebelum aku mulai menulis lagi, beberapa menit yang lalu aku memutar sebuah lagu berjudul “cinta sejati” ciptaan Melly, single terbaru dari Bunga Citra Lestari dan merupakan salah satu soundtrack film “Habibie & Ainun”. Film yang sangat menyentuh, menyorotkan kisah dua insan yang mewarnai sejarah Indonesia, tentang kesetiaan, ambisi, pengorbanan dan tentunya cinta. Aku benar-benar meneteskan air mata haru saat menyaksikan film itu. Dan sepanjang film itu diputar, slalu ku mohonkan doa pada Allah. Bisikan hatiku mengatakan “Ya Allah, mohon Engkau periksa kembali lelaki seperti pak Habibie, perbanyak lagi, lalu kirimkan satu untuk menjadi jodohku”, haha, aku tertawa geli mendengar doaku sendiri. Mungkin setelah ini, aku akan mulai menulis tentang cinta pada judul-judul tulisan ku selanjutnya. Sepertinya aku memang harus jatuh cinta lagi. Atau lebih tepatnya membangun cinta.

Friday, February 8, 2013

Kesetiaan Iblis


Perang itu berkecamuk lagi. Satu pertanyaan, satu keluh kesah yang sangat menyesakkan dibuang begitu saja dan semata-mata dianggap sebagai suatu tindakan penghancuran. Bagaimana mungkin makhluk tak berdaya mampu menghancurkan orang lain? Apalagi menghancurkan orang banyak. Benar-benar menggelikan. Berhentilah mengangkat senjata dan menembakkan selongsong peluru ke hadapanku. Aku benar-benar menginginkan gencatan senjata. Sudahi ini semua, aku ingin “pulang” dengan damai. Aku ingin Engkau mengembalikan ku ke tanah. Tapi sepertinya ini belum cukup tuntas, luka ini masih menganga, beban ini masih di pundak dan kaki ini masih tertanam beku di pijakan. Benda tajam yang menyayat kulitku ini, ternyata tak sebegitu perih dibandingkan luka di rongga dada ini. “Berhentilah menyiksa tubuhmu sendiri”, teriakku.
Apakah doaku sedang dijawab Iblis? Kuakui kesetiaanmu wahai Iblis. Terimakasih karena menemaniku selama ini. Tapi tidak untuk sekarang, aku harus mengkhianatimu. Aku benar-benar harus membungkam mulutmu dengan ayat-ayat suci. Aku harus menghanguskanmu dengan basuhan wudhu. Dan aku harus melenyapkanmu dengan sujudku di penghujung malam. Fajar harus menyingsing. Rembulan harus purnama. Bintang-bintang harus gemerlapan. Dan siksa ini harus berakhir dengan segera.

Menuai Badai


Demi Zat yang nyawaku berada di genggamannya, sungguh Engkau benar-benar mematikanku lalu menghidupkan aku kembali. Saat dimana pelupuk mata ini terpejam, lalu ruh ini Kau tahan dan seketika Kau kembalikan lagi di penghujung malam, Kau memberiku kesempatan untuk mengadu padaMu, mengais belas kasihan dariMu, tersungkur penuh harap dan tak ingin menyudahi sujud yang diiringi isak tangis itu. Namun mengapa pertanyaan terbesar yang terus mempersempit nadi di leherku ini tak kunjung padam, “Kapan semua ini berakhir ya Rabb?”. I’m crying loud. I think I can’t handle it anymore. Astaghfirullah.
Tapi tunggu dulu, aku benar-benar harus menyeret diri ini. Bukankah sempurnanya malam dengan gelapnya merupakan sebuah pertanda bahwa fajar akan menampakkan sinarnya? Esok mentari akan bersinar lagi. Tak perlu aku menanam angin dan memanen badai di kemudian hari. Hiduplah untuk hari ini. Yakinlah bahwa Allah menyiapkan rencana yang luar biasa indah diluar jangkauanmu. Kalau bukan Allah, siapakah yang mampu menolongmu saat semua orang meninggalkanmu?

Hujan


Hujan, diluar sana dan juga di dalam hati ini. Mungkin jika ada pertanyaan apakah aku menyukai hujan, maka aku akan menjawab dengan yakin, “Aku bahkan sangat mencintai hujan”. Hujan itu laksana melodi indah yang dimainkan alam dengan instrumennya yang bermacam-macam. Nada air mata ini juga mengalir indah, bening tanpa cela, meski menyayat perlahan seluruh hati, jiwa dan raga.  Air mata inilah yang menjadi saksi sejarah, sejarah hidup yang tak akan pernah berakhir, yang akan terus menerus menggoreskan tinta beningnya di wajah ini. Ntah sampai kapan ini semua akan berakhir.
Bukankah Allah tidak menciptakan dua hati dalam satu rongga dada? Namun satu-satunya hati yang aku punya telah mengalami tusukan panah yang amat sangat dalam, tertusuk lalu tercabik-cabik, panah ini benar-benar telah bersarang di dalamnya. Berharap dan berdoa, Allah akan dengan segera mencabutnya lalu membasuh luka ini, mengobatinya hingga sembuh secara totalitas. Infeksi ini benar-benar sudah meluas dan bernanah. Dan ternyata, belum cukup sampai disitu, mereka, ya mereka, dengan sepenuhnya sadar menghujamkan kembali anak panah lainnya tepat di luka yang masih menganga ini. Belum cukupkah? Belum puaskah? Atau mereka memang masih menyisakan anak panah lagi hingga aku benar-benar mati terbunuh?

The Chosen One


“Peace be upon the messenger, the chosen one”, syair itu yang sedang menggema di seluruh sistem syarafku. “Muhammad, ya Rasulullah”, begitu indah dan menggetarkan jiwa, dan dari sudut mataku mulai meneteskan bulir-bulir hangat pengugur dosa. Kerinduan yang amat mendalam pada sosok yang belum pernah terjamah oleh indra penglihatanku, sosok yang begitu damai dan mendamaikan, makhluk terbaik yang pernah terlahir di muka bumi, pria paling luar biasa sepanjang peradaban. Ingatan ku kembali melayang pada masa kecilku, lemari kokoh yang telah dipenuhi debu itu masih menyusun rapi buku-buku yang menggoreskan kisah-kisah para nabi dan rasul serta para sahabat. Perjuangan  yang mengorbankan harta dan jiwa demi kenikmatan iman akan Islam hingga saat ini. Lalu bagaimana denganku? Perjuangan seperti apa yang pernah aku torehkan di sejarah hidupku? Perjuangan Islam? Perjuangan untuk orangtua? Atau sekedar perjuangan untuk diri sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan besar yang terus berputar dan membenturkan kesadaranku pada sisa umur yang semakin sempit. Diriku sejatinya sedang menghitung mundur masa dimana ruh ini akan dipisahkan dari jasad. Lalu akan kembali muncul pertanyaan yang akan mengguncangkan liang lahatku “Man Robbuka?”. Terfikirkah aku untuk menjawab dengan mudah dan fasih? Disaat mulut tak akan terbuka, disaat pita suara tak akan bergetar? Hanya amal dan ibadahku melalui indra yang lainlah yang akan menjawabnya..
Kepala ini masih saja tertunduk, lidah ini masih kelu, jiwa ini masih menyimpan perih terdalam yang pernah disimpannya. Kehilangan arah setelah sekian lama berlari dan bersembunyi terlalu jauh dari zatNya. Telah banyak yang tertinggal dan disia-siakan dalam keadaan sepenuhnya sadar selama beberapa tahun terakhir.

Allah atau Tuhan?


Allah atau Tuhan? Kadang aku kerap kali menggunakan sebutan Tuhan bagi Allah. Kebanyakan dari mereka, mengeluh atas sebutan itu. Mereka bilang Islam menggunakan kata Allah bukan Tuhan. Namun, aku masih berfikir mengenai itu semua. Apa bedanya sebutan Tuhan dan Allah? Toh itu sama saja, bagiku Tuhan hanya satu, Dia lah Allah yang selalu disebut oleh para kaum Islam. Pencipta langit, bumi serta segala sesuatu yang berada diantaranya. Pengatur jutaan bintang agar tetap berada pada garis edarnya. Dia jugalah yang mengatur pergerakan awan hingga hujan dapat membasahi bumi yang kering dan tandus hingga tetumbuhan dapat tumbuh dengan suburnya dan menghasilkan buah dan biji. Lalu untuk apa berselisih hanya karena suatu sebutan? Bukankah semuanya ada pada hatimu? Bagaimana jika aku menyebut Allah dari mulutku namun hatiku menyebut Tuhan yang lain?

New Chapter of Derry Oktriana


Berangkat dari bismillah. Dengan suatu pertimbangan kalimat, “Buku hidup yang lama tidak perlu dibuang, cukup dijadikan pelajaran dan diambil hikmahnya, sekarang saatnya membuka lembaran baru pada buku yang sama namun dengan chapter yang berbeda.”
Semoga Allah ridho. Amin amin ya Rabbal ‘alamin. Derry Oktriana, semangkA. (^_^)