Saturday, May 18, 2013

Kiat Sukses Mencontek Halal ala Muslim Muslimah



Ujian Nasional, Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester, Ujian Akhir Sekolah, Ujian praktikum dan segala hal yang berbau ujian dalam hal akademik masih tidak ada apa-apanya dibandingkan ujian hidup yang akan dihadapi peserta didik kelak. Namun, pendidikan di Indonesia saat ini benar-benar sudah sangat memprihatinkan. Dari bangku pendidikan sekolah dasar saja seolah sudah dididik bahwa saat ujian boleh mencontek, terutama yang berkaitan dengan kelulusan siswanya. Bahkan tercatat banyak sekolah yang sengaja mengadakan tim sukses khusus untuk meluluskan para siswanya. Ada yang beralasan demi masa depan siswa, demi akreditasi sekolah, dan banyak lagi.
Penulis benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran para pendidik, apakah ini bentuk pendidikan mencontek usia dini? Nasib bangsa ini tidak terlepas dari peran serta generasi muda, jika dari awal saja sudah membudayakan tradisi mencontek, wajarlah jika korupsi menjadi ajang tradisi turun-temurun pula, ironis.
Tak dapat dielakkan banyak asumsi yang mengatakan, “Tak apalah, ini semua kan demi harumnya nama sekolah, demi kebaikan para siswa dan wali murid, dan bla bla bla.” Oke, tujuannya mulia, sangat-sangat mulia, tapi caranya? Salah besar! Jika hal-hal sepele selalu kita abaikan dari usia dini, disadari atau tidak, tentu akan membentuk mental peserta didik yang menghalalkan segala cara demi kebaikan dirinya atau kebaikan golongan tertentu. Dampak nyata telah menghiasi media-media di Indonesia, ada yang korupsi dengan ‘tujuan mulia’, misalnya membahagiakan keluarga, memenangkan proyek, kepentingan partai dan golongan atau jangan-jangan ada yang korupsi buat naik haji.
Sesungguhnya, mencontek itu halal, jika dilakukan dengan cara-cara yang benar dan tidak menimbulkan dosa apapun. Dibawah ini beberapa kiat sukses mencontek yang dihalalkan oleh agama :

Thursday, May 16, 2013

Cinta itu Candu dan Kitalah Para Pecandu itu



Malam itu, setelah mempublikasi tulisan ‘Hadiah Terbaik dari Saudi Arabia’, aku meluangkan waktu untuk berkomunikasi melalui facebook, aku menyapa seorang temanku di SMA dahulu, sebut saja namanya X. Awalnya hanya ingin menanyakan project kami saat liburan nanti setibanya di Tanjungpinang, namun mendadak fikiranku merambat ke satu pertanyaan liar yang sangat aku butuhkan jawabannya. Aku memulai dengan kalimat, “Boleh nanya gak? Eh gak jadi deh, oke end.” Haha, dan dia serta merta mengatakan, “Nah ini nih, paling anti kalo gak jadi nanya.”
Baiklah, akhirnya aku meneruskan pertanyaanku, “Jadi gini, semua orang punya kisah tentang hidayah, kalo ceritanya X gimana?”. Jengjeng, begitu pertanyaannya. Dan dari seluruh obrolan kami, satu kalimat yang sangat aku ingat dan melahirkan ide baru untuk seluruh tulisan ini nantinya. Ia mengatakan, “Vacuum of Sense”. Satu kalimat sederhana tapi sangat bermakna menurutku, karena ini semua menyangkut suatu rangkaian kegiatan setelah dan sebelum ‘sesuatu’ dan tentunya memiliki hubungan sebab-akibat. Great, sekian intermezo, mari kita memasuki pembahasan inti dari tulisan ini.

Wednesday, May 15, 2013

Hadiah Terbaik dari Saudi Arabia



“Demi waktu dhuha dan demi malam apabila telah sunyi”, penggalan ayat ini selalu membuatku tersenyum haru penuh syukur. Bagaimana tidak? Mungkin ini adalah hadiah terbaik yang pernah diberikan oleh seorang makhluk padaku. Aku ingat benar di malam itu, Jumat 29 Maret 2013, di salah satu ruang VIP Gelora Bung Karno, setelah menunaikan shalat maghrib dan isya berjamaah, kami semua berkumpul untuk mendengarkan arahan mengenai acara puncak esok hari. Ini adalah salah satu rangkaian kegiatan Wisuda Akbar ke 4 yang diselenggarakan oleh PPPA Daarul Qur’an. Segala puji hanya bagi Allah yang menempatkanku diantara mereka semua, aku menjadi salah seorang relawan dalam acara luar biasa ini.
Semua ini berawal dari tweet Ustadz Yusuf Mansur yang akan menyelenggarakan wisuda akbar para hafidz dan hafidzah seluruh Indonesia khususnya surah Al-Baqarah ayat 1-50 dan surah An-Naba. Acara ini membutuhkan sejumlah relawan, awalnya aku hanya membaca sekilas tweet tersebut, dan terbersit dalam hatiku, “Andaikan aku bisa menjadi salah satu diantara para relawan itu, betapa beruntungnya aku.” Beberapa hari berselang, aku mengetahui bahwa salah seorang temanku telah diterima menjadi tim relawan di bagian kesehatan. Aku bergegas menghubungi panitia dan mendaftarkan diri sebagai seorang relawan juga. Namun sayang, panitia tersebut mengatakan bahwa tak ada tempat lagi untuk seorang akhwat, mereka hanya menyisakan beberapa tempat lagi untuk ikhwan. Baiklah, dengan ikhlas aku merelakan kesempatan luar biasa itu. Aku katakan padaNya, “Ya Rabb, andaikan itu memang rezekiku untuk menjadi bagian dari acara tersebut, maka bukakanlah jalannya sesuai kehendakMu, namun jika memang bukan rezekiku semoga Engkau menggantikannya dengan yang lebih baik.”

Tuesday, May 14, 2013

Untuk Perempuan Bodoh yang Tak Kunjung Memaafkanku



Beberapa hari ini aku seolah mengalami kematian lagi dan lagi. Hasrat untuk menulis sangat besar, seluruh kalimat berputar dan tak sabar ingin dituangkan. Namun ketika jemari memulai satu atau dua kata pembukaan, mendadak kalimat-kalimat itu gugur tak berbekas. Tak ada cara lain selain membaca, aku butuh kalimat baru, kalimat yang jauh dari nada berkeluh kesah. Aku butuh kalimat-kalimat yang memberi kehidupan. Aku mulai muak dengan kesatuan kalimat mengenai kematian. Aku benar-benar ingin hidup. Hidup layaknya manusia!
Aku katakan padaNya, “Ya Rabb, ada satu perempuan, aku telah meminta maaf dengan tersungkur menangis dihadapannya berulang kali, namun ia tak kunjung memaafkanku, tolong lembutkan hatinya, katakan padanya, maafkan aku, aku benar-benar membutuhkan penerimaan maaf darinya.” Namun lihatlah, ia masih di sudut sana, menangis membeku tanpa suara. Ia mengadu padaMu untuk menguatkan dirinya, aku kerap kali mendengar rintihin suaranya di penghujung malam, dengan doa yang sama dan permohonan yang sama, dan lihatlah kini, aku tak pernah lagi menemukan binar matanya disaat semua orang tertawa, ia masih saja berkutat dengan kepedihan dirinya bersama jiwanya, sedangkan jasadnya ia biarkan bercengkrama dengan dunianya.

Thursday, May 9, 2013

Menjadi Perempuan Yahudi, Nasrani atau Pemuja Iblis?



Hari ini aku membaca beberapa tulisan yang pernah aku tulis, berusaha menjadi pembaca yang benar-benar independen dan seolah tak mengenal siapa perempuan dibalik seluruh tulisan ini. Kadang aku tersenyum, kadang menarik nafas panjang atau terlontar pertanyaan, “Benarkah perempuan yang ada dalam diriku ini pernah menulis ini semua?”. Secara keseluruhan, kumpulan tulisan ini menapaki suatu fase demi fase yang semakin menanjak meski kadang ianya jatuh kembali diiringi runtuhnya pertahanan. Namun, tetap saja, penulis tak membiarkan dirinya berkubang terlalu lama dalam lubang hitam itu, ia menyeruak kembali berdiri tegak menjemput cahaya. Jika para pembaca menelesuri jejak-jejak tulisan yang terhampar dimulai dari awal langkahnya, maka akan ditemukan suatu benang merah meski masih berbalut perumpamaan disana-sini.
Perempuan ini bermimpi mewujudkan garis hidupnya dari masa-masa kelemahan yang bertambah-tambah, kemudian berhijrah yang diwarnai masa transisi untuk bangkit kembali. Dan kini lihatlah, ia sedang membangun pertahanannya, lebih kokoh lagi, hingga satu hari dengan kerelaan hati dan keberanian ia akan membuka gerbang pertahanannya dan mempersilahkan seorang penyelamat untuk membentengi dirinya.
Kini aku selalu meluangkan waktu untuk bercengkrama dengan perempuan ini, menanyakan kabarnya, menyusun rapi seluruh mimpi-mimpinya dan pastinya membantu dirinya mewujudkan seluruh mimpinya itu. Aku benar-benar mendampinginya dengan setia. Tak akan aku biarkan ia berjalan sendiri hingga tersesat di kegelapan malam lagi.

Friday, May 3, 2013

Tenanglah, Aku sudah Membunuh Perempuan itu


Mendekati 100 hari pasca kematianku terhitung tanggal 13 Februari 2013 lalu. Benar-benar menjadi bahan muhasabah diri lagi dan lagi. Kadang aku berteriak kepada diriku sendiri, “Andaikan memori rasa dan pikiran itu berwujud manusia, maka mungkin aku perempuan pertama yang akan membunuhnya!” Saat semua memori itu terputar dalam benakku, mungkin aku butuh berhenti sejenak, beristighfar sebanyak-banyaknya, merapikan kembali jubah pertahananku, tapi aku takkan sekali-kali mundur, selangkahpun tidak, aku akan tetap melangkah maju, hingga diizinkan naik ke langit.
Jika ada yang berfikir semua ini mudah sedangkan aku hanya berlebihan, kemarilah dekat denganku, kalian akan rasakan getaran pilu ini. Namun tenang saja, aku memilih untuk bungkam hingga tiba waktunya, mari kita nikmati hidup kita masing-masing, meski pisau belum berhenti bergerak.
Kadang aku seolah tak memiliki rasa kepedulian lagi terhadap diri, memikirkan Allah saja rasanya hatiku masih belum cukup luas untuk menampungnya. Lalu aku melihat ke arah mereka, sangat memprihatinkan melihat orang-orang yang menganggap bahwa Allah adalah subjek pelarian layaknya seluruh dalih logika liberalis mereka. Allah itu bukan tempat pelarian, Dia itu tujuan, satu-satunya tempat berlari dan kembali. Dan semakin memprihatinkan saat melihat mereka yang memandang kemunkaran sebagai sesuatu yang indah dan wajar, sedangkan ketaatan sebagai sesuatu yang asing.
Pertanyaannya adalah, “Aku yang harus memeriksakan diriku atau mereka?”

Selamat Tinggal Tuhanku, Aku Perempuan Merdeka


Aku ingat di hari itu, hari yang pernah sangat aku syukuri. Dan sekarang mendadak menjadi hari paling menggelikan sekaligus mengenaskan bagiku. Dulu aku seolah menyerahkan seluruh hatiku pada dia yang tiap saat dapat aku dengar, lihat atau sentuh. Namun tiba-tiba aku memilih menghilangkan semua rasa itu dan lihatlah sekarang, aku seolah sedang dimabuk cinta pada Dia yang tak pernah sama sekali aku dengar, lihat atau sentuh. Benar-benar lelucon yang aku syukuri dengan segenap jiwa dan raga.
Bahkan aku ingat saat semua itu berawal. Terkesan manis dan menyenangkan pada permulaan, namun semakin hari semakin terkikis dengan kefanatikan kami. Aku mulai kehilangan banyak hal, segala kegiatan organisasi aku tinggalkan, teman-temanku, sahabat-sahabatku bahkan diriku sendiri. Aku seolah tak mengenal Derry Oktriana lagi. Satu-satunya hal yang membuat aku bertahan adalah rasa itu, rasa yang selalu jadi kiblat seluruh jalinan ini.
Kadang aku sempat bertanya, mana Derry Oktriana yang selalu ingin berada di barisan depan untuk menyuarakan pendapatnya? Mana Derry Oktriana yang selalu memberontak saat dijajah? Mana Derry Oktriana yang pernah mencintai organisasi, sahabat, dan keluarganya lebih dari dirinya sendiri? Mana Derry Oktriana yang kerap kali membaca buku setebal dosa yang hanya dipenuhi dengan tulisan-tulisan? Mana Derry Oktriana yang selalu menyediakan waktunya untuk menulis pantun, puisi, artikel dan tulisan-tulisan lainnya? Kemana perempuan yang bernama Derry Oktriana ini? Ia kemana? Sepertinya ia tertawan sebagai budak tuhannya, tuhan barunya.

Barakallah, Aku Memaafkanmu


Pernah ada hari dimana langit begitu gelap. Aku benar-benar tak tahu matahari ada dimana. Begitu pula dengan bulan dan bintang-bintang, ntah berada dimana mereka semua. Rasanya tak ada satupun cahaya di hari itu. Awan mendung berlapis-lapis menambah kekelaman. Kemudian tak cukup sampai disitu, suara gemuruh seolah saling bersahutan. Hari itu laksana perpaduan antara air dan api, dua hal yang rasanya tak mungkin berpadu namun di hari itu mereka saling melengkapi.
Mengapa aku menyebutnya air dan api? Bukankah mereka adalah dua perpaduan yang saling bertolak belakang? Semua itu karena di hari itu awan sangat gelap, seolah tak akan pernah ditemukan setitikpun cahaya lagi. Namun mendadak goresan-goresan cahaya menyala diantara sela-selanya. Ya, dialah kilat yang terang benderang. Perpaduan antara kegelapan dan pencerahan, seolah satu tubuh yang tak terceraikan. Kemudian kilat tersebut mengantarkan gelegar gemuruh yang meruntuhkan langit dan menimpaku secara bertubi-tubi. Tak ada kata lain yang mewakili itu semua selain kebinasaan.
Ahh, rasanya siksaan Dia di dunia begitu dekat dan memenjarakanku di segala penjuru, cukup lama aku terkubur di bawah puing-puing langit. Namun, Dia berkehendak lain,