Friday, February 8, 2013

Kesetiaan Iblis


Perang itu berkecamuk lagi. Satu pertanyaan, satu keluh kesah yang sangat menyesakkan dibuang begitu saja dan semata-mata dianggap sebagai suatu tindakan penghancuran. Bagaimana mungkin makhluk tak berdaya mampu menghancurkan orang lain? Apalagi menghancurkan orang banyak. Benar-benar menggelikan. Berhentilah mengangkat senjata dan menembakkan selongsong peluru ke hadapanku. Aku benar-benar menginginkan gencatan senjata. Sudahi ini semua, aku ingin “pulang” dengan damai. Aku ingin Engkau mengembalikan ku ke tanah. Tapi sepertinya ini belum cukup tuntas, luka ini masih menganga, beban ini masih di pundak dan kaki ini masih tertanam beku di pijakan. Benda tajam yang menyayat kulitku ini, ternyata tak sebegitu perih dibandingkan luka di rongga dada ini. “Berhentilah menyiksa tubuhmu sendiri”, teriakku.
Apakah doaku sedang dijawab Iblis? Kuakui kesetiaanmu wahai Iblis. Terimakasih karena menemaniku selama ini. Tapi tidak untuk sekarang, aku harus mengkhianatimu. Aku benar-benar harus membungkam mulutmu dengan ayat-ayat suci. Aku harus menghanguskanmu dengan basuhan wudhu. Dan aku harus melenyapkanmu dengan sujudku di penghujung malam. Fajar harus menyingsing. Rembulan harus purnama. Bintang-bintang harus gemerlapan. Dan siksa ini harus berakhir dengan segera.
Aku benar-benar bermimpi mempraktekkan salah satu perkataan Rasulullah SAW,yaitu :
Bersyukurlah ketika diberi,
Bersabarlah ketika tidak mendapatkannya,
Mintalah ampun jika berbuat zalim, dan
Maafkanlah jika dizalimi
Itulah empat kunci memperoleh ketenangan jiwa dengan rasa aman dan memudahkan kita memperoleh petunjukNya. Atau aku harus berdoa layaknya Nabi Ibrahim AS, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Maka perkenankanlah doaku wahai Pencipta langit dan bumi serta segala sesuatu yang berada diantara keduanya. Aku memohonkan petunjuk dimana aku dapat memperoleh pelajaran darinya, petunjuk yang dapat aku mengerti sesuai kemampuan ilmuku. Berharap Kau memberi petunjuk secara frontal, karena sungguh, aku tak lebih dari seorang hamba yang lemah dan memohon belas kasihan pada zat yang Mahakuat.
Saat kegelisahan ini semakin menjadi, saat penglihatan ini semakin gelap, aku berharap ada mata lain yang mengajakku melihat ke satu titik terang. Allah ada disana, bersama kita katamu. Ya, bersama kita katamu. Tapi itu semua tak lebih dari ilusi. Semuanya tetap harus kulewati sendiri. Toh kita semua dilahirkan sendiri ke muka bumi ini. Menanggung pedihnya mati juga sendiri. Terasing di lubang berukuran 2x1 meter juga sendiri. Bahkan dihisab juga sendiri. Tapi tunggu dulu, andaikan Allah tidak bersama kita. Mungkin saja Allah bersamaku. Bukankah Allah lebih dekat daripada urat lehermu sendiri? Kalimat-kalimat menenangkan yang selalu aku lontarkan dalam batinku. “Tersenyumlah lalu berbahagialah, bukan berbahagialah lalu tersenyum”. Teori macam apa ini. Tapi baiklah, akan ku coba. Bukankah aku sangat memiliki kemampuan untuk menangis dalam tawa dan tertawa dalam tangis? Percayalah, Allah tak pernah sedetikpun tidur. Bersabarlah, karena sungguh kita sama-sama “menunggu”.

No comments:

Post a Comment