Tuesday, December 30, 2014

Antara Daun yang Jatuh dan Cinta yang Tumbuh



Perhatikanlah hikmah daun! Anda jumpai dalam satu daun terdapat sejumlah serat memanjang yang amat mengagumkan bagi yang melihat. Ada yang besar-besar, panjang, dan lebar. Ada yang kecil-kecil, terselip di antara yang besar-besar tersebut, tersusun dengan rapi dan menakjubkan. Kalau yang membuatnya manusia, maka satu daun saja tidak akan selesai selama satu tahun penuh. Tentu mereka memerlukan alat-alat dan proses pengolahan yang kapasitas mereka tidak mampu menghasilkannya. Tapi Allah SWT Sang Maha Pencipta dan Mahatahu, dalam beberapa hari saja menebarkan daun-daun yang memenuhi bumi, dataran rendah dan pegunungan, tanpa alat atau pembantu. Yang berlaku hanya kehendak-Nya yang pasti terlaksana dalam segala hal dan kekuasaan-Nya yang tak terhalangi. Allah SWT berfirman, Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah’ Maka jadilah sesuatu itu!” (QS Yasin, 36:82) dan firman-Nya dalam Surah Gafir, 40:68, “Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Maka apabila Dia hendak menetapkan suatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka Jadilah sesuatu itu.”

     Sekarang perhatikan hikmah serat-serat yang ada di daun. Mereka menyirami daun dan menyuplai bahan makanan kesana sehingga mempertahankan hidup dan kesegarannya seperti urat-urat yang tersebar di badan dan menghantarkan makanan ke setiap bagian tubuh. Perhatikanlah kemampuan serat-serat yang besar dan keras yang menjaga daun agar tidak robek dan lapuk. Ia berfungsi seperti otot dan urat bagi badan hewan. Kemudian, perhatikanlah hikmah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Mahatahu dalam menjadikan daun itu sebagai hiasan bagi pohon, penutup, dan baju bagi buah, serta melindunginya dari hama yang menghalangi kesempurnaannya. Karena itu, apabila pohon ditebas daunnya, maka buahnya rusak, tidak dapat dimanfaatkan. Lihat bagaimana daun dijadikan sebagai pelindung bagi tunas tumbuhnya buah yang lemah dari kekeringan. Apabila buah telah jatuh, daun tetap ada disana sebagai pelindung dahan dari panas matahari hingga apabila bara itu telah padam dan tidak membahayakan dahan-dahan, daunnya berguguran agar setelah itu mengenakan baru baju yang lebih indah. Mahabesar Allah SWT yang mengetahui tempat dan waktu jatuh dan tumbuhnya daun-daun itu. Tidak ada daun yang tumbuh kecuali dengan izin-Nya dan tidak ada yang jatuh kecuali sepengetahuan-Nya.

    Selain itu, kalau saja manusia menyaksikan demikian banyak daun itu bertasbih kepada Tuhannya bersama buah-buahan dan dahan-dahan, tentu mereka menyaksikan hal lain dari keindahannya itu. Mereka tentu akan melihat penciptaannya dengan pandangan lain dan pasti mereka tahu bahwa itu semua diciptakan untuk manfaat yang besar, tidak diciptakan dengan sia-sia. Allah SWT berfirman, dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya).” (QS Ar-rahman, 55:6). Semuanya bersujud dan bertasbih kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Isra, 17:44, “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbiih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.”


(Ditulis ulang dari karya Ibnu’l Qayyim al-Jauziyyah)


Dan tidak ada cinta yang tumbuh kecuali dengan izin-Nya,

dan tidak ada yang jatuh cinta kecuali sepengetahuan-Nya.

Hanya saja,

menaruh secercah harapan pada makhluk adalah kehinaan,

menyandarkan sejumput mimpi pada makhluk adalah kenistaan.

Semoga jiwa dipalingkan hanya tuk mencintai-Nya,

hingga diperkenankan menyempurnakannya berdua bersama dia yang mencintai-Nya pula.

Bersabarlah, jika memang murni cinta di hatimu, tentu ia juga akan bersemi di hati yang lainnya,

karena cinta membutuhkan dua hati tuk menyempurnakan keindahannya.

Maa fi qalbi ghairullah…

Tuesday, December 23, 2014



Calla Sun


Sepuluh tahun awal kehidupanku berlalu tanpa mengenalnya,
lima tahun kemudian habis untuk mengaguminya,
lalu delapan tahun memendam rasa suka.
Dan saat kemudian aku benar-benar berdiri di hadapannya, 
apalagi yang bisa terjadi padaku selain jatuh cinta? 
Tidak ada namanya bahagia saat melihat orang yang kau cintai bahagia.
Itu hanya berlaku di dalam cerita. 
Aku harus mendapatkannya. 
(Kutipan Novel Calla Sun oleh Yuli Pritania)







Aku yang Mencuri Pandang kepada-Mu

Memperhatikan (al-lahz) dapat dimaknai melihat secara sepintas lalu, memandang dengan cara mencuri-curi, sehingga yang dipandang tidak merasa bahwa dia sedang dipandang. Mencuri-curi pandang ini memiliki tiga sebab, pengagungan dan keagungan yang dipandang sehingga yang memandang mencuri-curi pandangan ke arahnya serta tidak memandang dengan pandangan yang tajam sebagai sikap pengagungan kepadanya. Hal ini seperti yang dilakukan para sahabat terhadap Nabi SAW. Mereka tidak pernah memandang dengan pandangan yang tajamterhadap beliau sebagai penghormatan dan pengagungan terhadap beliau. Ada sebab lain yang membuat orang yang memandang tidak berani memandang secara langsung kepada yang dipandang, yaitu takut terhadap pengaruh yang dipandang. Hal ini disebabkan oleh cinta, rasa malu, atau merasa lemah untuk memandang secara langsung. Inilah sebab umum dalam masalah ini. 
   Begitulah keadaan umum orang yang memperhatikan rububiyah Allah SWT dengan hatinya, kesempurnaan Allah SWT kesempurnaan sifat-sifat-Nya, kemurahan, kebaikan, serta karunia-Nya, maka hatinya akan mencuri pandang kepada Allah SWT dan ia mempunyai ubudiyah (peribadatan) secara khusus.
     Memperhatikan terbagi menjadi tiga derajat, antara lain memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula sehingga meninggalkan sikap meminta-minta dengan menampakkan kerendahan diri sesuai dengan hak rububiyah. Memperhatikan bisa dengan mata dan bisa dengan hati, tapi yang dimaksudkan adalah yang kedua, yaitu memperhatikan dengan hati. Jadi, yang dimaksud dengan memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula ialah memperhatikan pemberian Allah SWT yang sudah ditetapkan dalam takdir sebelum dikeluarkan ke dunia, sebagaimana firman-Nya:
Sungguh, sejak dahulu bagi orang-orang
yang telah ada (ketetapan) yang baik dari Kami,
mereka itu akan dijauhkan (dari neraka)
(QS Al-Anbiya, 21:101)
Dan sungguh, janji Kami telah tetap
bagi hamba-hamba Kami yang menjadi Rasul,
(yaitu) mereka itu pasti akan mendapat pertolongan.
Dan sesungguhnya bala tentara Kami itulah yang pasti menang.
(QS As-Saffat, 37: 171-173)
     Masalah ini dapat dimaknai bahwa jika hamba melihat ketetapan yang telah ditakdirkan Allah SWT sejak semula, yang berarti ketetapan itu pasti akan sampai kepadanya, maka hatinya menjadi tenang, jiwanya menjadi tentram, dan dia tahu bahwa musibah yang menimpa dirinya bukan suatu kesalahan takdir dan jika musibah tidak menimpanya maka memang bukan takdirnya. Jika dia meyakini hal ini, dia akan merasakan manisnya iman kepada qadha dan qadar, lalu dia tidak akan menuntut kepada Allah SWT. Sebab, apa yang sudah ditetapkan di dalam qadar pasti akan sampai kepadanya.
(Ditulis ulang dari karya Ibnu’l Qayyim al-Jauziyyah)


Friday, December 19, 2014

Apakah Hanya Aku Tempatmu Bergantung?

Ketahuilah bahwa hati itu dalam perjalanan menuju Allah SWT dan negeri akhirat. Jalan yang benar sudah ditunjukkan. Begitu pula ujian jiwa dan amal, penghambat-penghambat jalan yang dapat disingkirkan dengan cahaya, kehidupan, dan kekuatannya dengan kesehatan pendengaran dan penglihatannya. Ada lima perkara yang akan memadamkan cahaya hati, menutupi penglihatan dan menyumbat pendengarannya, membuatnya bisu dan tuli, melemahkan kekuatannya, menggerogoti kesehatannya dan menghentikan tekadnya. Adapun kelima perkara itu ialah banyak bergaul dengan manusia, mengumbar harapan, bergantung kepada selain Allah SWT, kenyang dan banyak tidur. Siapa yang tidak merasakan semua ini, berarti hatinya mati. Sementara luka pada orang yang sudah mati tidak membuatnya merasa sakit.
Tidak ada kenikmatan, kelezatan, kesenangan dan kesempurnaan kecuali dengan mengetahui Allah SWT dan mencintai-Nya, merasa tentram saat menyebut-Nya, senang berdekatan dengan-Nya, dan rindu bersua dengan-Nya. Inilah surga dunia baginya, sebagaimana dia tahu bahwa kenikmatannya yang hakiki adalah kenikmatan di akhirat dan di surga. Dengan begitu, dia mempunyai dua surga. Surga yang kedua tidak dimasuki sebelum dia memasuki surga yang pertama. Lima perkara ini menjadi penghalang antara hati dan Allah SWT, menghambat perjalanannya dan menimbulkan penyakit di dalamnya, antara lain bergantung kepada selain Allah SWT.
Bergantung kepada selain Allah SWT merupakan perusak hati yang paling besar, dan tidak ada yang lebih berbahaya selain dari hal ini, tidak ada yang lebih menghambat kemaslahatan dan kebahagiaannya selain dari hal ini. Jika hati bergantung kepada selain Allah SWT, Allah SWT menyerahkannya kepada sesuatu yang dijadikannya sebagai tempat bergantung. Padahal, apa yang dijadikan sebagai tempat bergantung itu dihinakan Allah SWT dan dia tidak mendapatkan maksudnya karena dia beralih kepada selain Allah SWT sehingga dia tidak mendapatkan apa yang ada di sisi Allah SWT dan tidak mendapatkan dari apa yang dijadikannya sebagai tempat bergantung seperti yang diharapkannya. Firman Allah SWT, Dan mereka telah memilih tuhan-tuhan selain Allah SWT, agar tuhan-tuhan itu menjadi pelindung bagi mereka, sama sekali tidak! Kelak mereka (sesembahan) itu akan mengingkari penyembahan mereka terhadapnya, dan akan menjadi musuh bagi mereka.” (QS Maryam, 19:81-82)
Orang yang paling hina adalah yang bergantung kepada selain Allah SWT karena orang yang bergantung kepada selain Allah SWT seperti orang yang berlindung dari panas dan dingin dengan rumah laba-laba karena rumah laba-laba merupakan rumah yang paling rapuh. Secara umum, landasan dan pondasi syirik adalah bergantung kepada selain Allah SWT sehingga pelakunya mendapat kehinaan dan celaan. Allah SWT berfirman, Janganlah engkau mengadakan tuhan yang lain di samping Allah SWT, nanti engkau menjadi tercela dan terhina.” (QS Al-Isra’, 17:22)
(Ditulis ulang dari karya Ibnu’l Qayyim al-Jauziyyah)

Maka perhatikanlah apa-apa yang menjadi tempat kita bergantung…
Apakah hanya Dia satu-satunya?
Seolah Allah berkata, “Apakah hanya Aku tempatmu bergantung duhai hamba-Ku?”

Thursday, December 18, 2014

Antara Harapan dan Angan-angan

 
Allah SWT telah berfirman, “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah SWT). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS Al-Isra’, 17:57). Frase ‘mencari jalan’ dalam ayat ini artinya mencari cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan ibadah dan mencintai-Nya. Ada tiga sendi iman, yaitu cinta, rasa takut, dan berharap.Tentang pengharapan ini Allah SWT telah menjelaskan dalam firman-Nya:
Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya
maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan
dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.
(QS Al-Kahf, 18:110)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
dan orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah,
mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(QS Al-Baqarah, 2:218)
Di dalam hadis disebutkan dari Jabir ra., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, ‘Aku berada pada persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Maka hendaklah dia membuat persangkaan kepada-Ku menurut kehendak-Nya.’” (HR Muslim)
     Raja’ merupakan ayunan langkah yang membawa hati ke tempat Sang Kekasih, yaitu Allah SWT dan negeri akhirat. Ada yang berpendapat Raja’ artinya kepercayaan tentang kemurahan Allah SWT. Perbedaan Raja’ (mengharap) dengan berangan-angan, yaitu berangan-angan disertai kemalasan, pelakunya tidak pernah bersungguh-sungguh dan berusaha. Sementara, mengharap itu disertai dengan usaha dan tawakal. Yang pertama seperti keadaan orang berangan-angan, andaikan dia mempunyai sebidang tanah yang dapat dia tanami dan hasilnya pun dipetik. Yang kedua seperti keadaan orang yang mempunyai sebidang tanah, lalu dia olah dan tanami, lalu dia berharap tanamannya tumbuh. Karena itu, para ulama telah sepakat bahwa Raja’ tidak dianggap sah kecuali disertai usaha.
     Raja’ itu ada tiga macam. Dua macam merupakan perbuatan terpuji dan satu macam lagi merupakan perbuatan tercela. Pertama, harapan seseorang agar dapat taat kepada Allah SWT berdasarkan cahaya-Nya, lalu dia mengharap pahala-Nya. Kedua, seseorang yang berbuat dosa lalu bertobat dan mengharap ampunan, kemurahan, dan kasih-sayang-Nya. Ketiga, orang yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah SWT tanpa disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.
     Orang yang berjalan di jalan Allah SWT mempunyai dua pandangan. Pertama, pandangan kepada diri sendiri, aib dan kekurangan amalnya, sehingga membukakan pintu ketakutan, agar dia melihat keluasan karunia Allah SWT. Kedua, pandangan yang membukakan pintu harapan baginya. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa batasanRaja’ adalah keluasan rahmat Allah SWT. Ahmad bin ‘Asim pernah ditanya, “Apakah tanda Raja’ pada diri hamba?” Dia menjawab, “Jika dia dikelilingi kebaikan, maka dia mendapat ilham untuk bersyukur, sambil mengharap kesempurnaan nikmat dari Allah SWT di dunia dan di akhirat, serta mengharap kesempurnaan ampunan-Nya di akhirat.”
(Ditulis ulang dari karya Ibnu’l Qayyim al-Jauziyyah)