Monday, February 2, 2015

Karena Sungguh, Aku Bukanlah Maryam!

“Siapa yang tidak mendekat kepada Allah, padahal sudah dihadiahi berbagai kenikmatan, akan diseret (agar mendekat) kepada-Nya dengan rantai cobaan.”
(Ibnu Atha’illah Al-Iskandari)
Satu kalimat yang merupakan aporisme dalam kitab Al-Hikam, salah satu kitab terbaik yang pernah aku miliki. Pengobat terhadap kecanduan akan makhluk, sumber khazanah spiritual bagi para pencari Tuhan. Dan itulah dia, sebuah karya yang layak dituliskan dengan tinta emas, bait hikmah yang disampaikan oleh Ibnu Atha’illah Al-Iskandari, seorang sufi legendaris dari Kairo, Mesir, yang hidup pada abad ke-13 M.
Beliau menyadarkan kita tentang kenikmatan yang selama ini kita dustakan, kenikmatan akan hidup dan berkehidupan di sebuah lingkungan yang aman lagi nyaman, kenikmatan beribadah tanpa gangguan layaknya zaman awal Islam dahulu, kenikmatan akan sehat, kenikmatan usia, kenikmatan memiliki keluarga dan orang-orang yang menyayangi kita hingga kenikmatan akan segala hal duniawi yang sering kali menggelincirkan kita pada kemungkaran dan kesesatan.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(Surah Ar-Rahman)
Namun sepertinya kenikmatan itu malah menggelincirkan kita lebih dalam hingga semakin jauh dari hakikat diri-Nya. Aku pernah membaca sebuah status di laman sosial media seseorang, ia mengumpamakan kenikmatan dan pendustaan kenikmatan ini dengan seorang pekerja yang sedang bekerja di lantai paling bawah dari suatu gedung, dengan seluruh alat yang memekakkan telinga. Kemudian atasan pekerja tersebut memanggilnya dari lantai bagian atas gedung itu, ia berteriak sekencang-kencangnya untuk memanggil pekerjanya, namun tak seorangpun yang melihat ke atas. Akhirnya ia melemparkan uang pecahan seratus ribuan dengan harapan bahwa pekerjanya akan serta merta melihat ke arah atas dan dapat melihat dirinya. Namun atasan tersebut menjadi kesal karena pekerjanya hanya mengambil uang itu sambil bergoyang-goyang kesenangan tanpa sedetikpun melihat ke arah atas. Dengan hati kesal, atasan tersebut melemparkan secara kasar sebuah pulpen hingga tepat mengenai kepala sang pekerja, pekerja itupun langsung kesakitan dan dengan refleks melihat ke arah atas dan mendapati atasannya itulah yang melemparinya.
Sudahkah kita mampu mencerap makna dibalik kejadian ini? Karena itulah kita sesungguhnya, saat diberi kelimpahan nikmat, kita hanya menikmatinya seorang diri tanpa memikirkan tentang Zat yang memberikan seluruh kenikmatan itu. Namun, saat kita mengalami keterpurukan, kita memohon pada-Nya dengan hati gerimis penuh rasa takut dan harap. Masya Allah, tidakkah kita menyadarinya? Apakah Dia benar-benar harus menarik kita dengan rantai cobaan terlebih dahulu baru kita mendekatkan diri pada-Nya? Karena sungguh, jika seorang atasan mampu membuat kesakitan bawahannya meski hanya dengan sebuah pulpen, maka kesakitan seperti apa yang mampu Allah berikan pada kita? Innalillahi, semoga kita didekatkan pada-Nya dengan cara terbaik kemudian dilanggengkan dalam kebaikan.
“Dan apabila mereka digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih.”
(Surah Luqman ayat 32)

Namun, jangan pernah kita berpikir bahwa rantai cobaan itu adalah bentuk penghinaan Allah Ta’ala bagi kita makhluk-Nya, sedangkan segala kenikmatan merupakan bentuk kemuliaan bagi diri kita. Sungguh tidak demikian, karena dalam suatu hadis disebutkan,