Lamunan macam
apa ini, sebuah lamunan yang membenturkan kembali jiwaku pada masa lalu yang
ingin aku tentang secara totalitas. Teriakan itu mengguncang nadiku, melemahkan
kembali pertahanan yang selama ini aku bangun. Pertanyaan
bodoh tentang cinta yang dilontarkan kepadaku. Apa yang harus aku
katakan mengenai itu semua? Mereka ingin mendengar jawabanku kini atau yang
dahulu? Aku bukan perempuan yang sama layaknya beberapa tahun yang lalu.
Perempuan yang selalu mendongakkan kepalanya, merasa dirinya wanita paling
beruntung sedunia karena dikelilingi nikmat kehidupan yang tak banyak orang
memilikinya. Seorang perempuan yang bersinar dan dikenal. Seorang perempuan
yang menentukan pilihan dengan jari telunjuknya kemudian mebuangnya begitu saja
apabila ia sudah tidak berkenan. Perempuan yang menganggap bahwa pembalasan itu
haruslah dia yang melakukannya dengan kedua tangannya sendiri.
Tapi lihatlah
sekarang, perempuan ini menjelma menjadi sosok lain. Pandangannya cenderung
tertunduk sekarang. Ia lepaskan segala jubah kesombongan yang semata-mata
hanyalah milik Allah. Ia berusaha menyederhanakan rasanya, tutur katanya dan
pakaiannya. Ia rendahkan dirinya karena pilihan sedang
tidak memihak padanya. Nasib sedang bersekongkol melawan jiwanya yang terlanjur
luluh lantak.
Ntah sudah berapa puluh kali langit runtuh dan bumi menghantam tubuhnya. Tapi, selalu ada air mata yang membasahi dan kembali menghidupkan tanah yang gersang itu. Dengan linangan air mata, dia berterima kasih kepada Zat yang telah menciptakan air mata sebagai mata air kehidupan batin yang selalu haus akan basuhan ketulusan.
Ntah sudah berapa puluh kali langit runtuh dan bumi menghantam tubuhnya. Tapi, selalu ada air mata yang membasahi dan kembali menghidupkan tanah yang gersang itu. Dengan linangan air mata, dia berterima kasih kepada Zat yang telah menciptakan air mata sebagai mata air kehidupan batin yang selalu haus akan basuhan ketulusan.
Aku sedang
tertawa sekarang. Ya, menertawaiku diriku sendiri. Aku sudah mati untuknya,
bahkan ini adalah kematianku kesekian kalinya. Dia benar-benar memusnahkanku.
Di hari aku mengetahui bahwa semua janji-janji dan mimpi-mimpi itu hanyalah
bualan belaka dan bahkan terhadap pengkhianatan itu, aku meratap dan memohon
pada Allah yang Mahakuasa untuk membantuku, untuk memberi belas kasihanNya
padaku. Untuk menghilangkan dari dalam diriku semua tentang dirinya dan rasa
sakit yang ia karamkan di palung hatiku. Ia adalah ular berbisa yang sudah
memangsa kepercayaanku, mencabik-cabik harapanku dalam sekelip mata. Sementara aku duduk di atas sajadah memohon pada Allah agar
mencekik dan mengubur perempuan yang meski ditutup rapat oleh khimar
pengabdiannya, masih saja mencintai laki-laki itu dengan sepenuh hati. Masih
saja mendambakan dan mendoakannya. Aku harus membunuh perempuan yang
berdarah-darah untuknya itu. Jika tidak, aku akan binasa. Allah Yang Mahakuasa,
yang begitu murah hati, mendengar doaku, doa-doa seorang pendosa. Di hari Jumat
11 Januari 2013, aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah
mati ataupun menangis lagi untuk laki-laki manapun. Di saat itulah aku menjadi
seorang perempuan yang berusaha mengikhlaskan segalanya. Hanya berharap Allah akan membasuh dan memadamkan api cinta
yang pernah menyala ini dengan suatu kekuatan dan keridhoan dari langit. Amin
ya Rabbal ‘alamin.
Diluar sedang
hujan, saat terbaik untuk bermunajat padaNya :
“Ya Allah ya Rabb, berikan aku satu hati
baru yang tak pernah meragukan cintaMu. Tolong bantu aku untuk meletakkan dunia
dan seisinya di tanganku, bukan di hatiku. Karena suatu hari aku harus
meninggalkan ini semua. Mungkin, nafas ini adalah nafas terakhir, atau degupan
ini adalah degupan jantung terakhir yang bergetar dalam rongga dadaku. Temani aku,
kuatkan aku, ridhoi jalanku. Jangan biarkan aku menangani sedetikpun dalam
hidupku tanpa diriMu. Amin amin ya Rabbal ‘alamin.”
No comments:
Post a Comment