Hujan, diluar
sana dan juga di dalam hati ini. Mungkin jika ada pertanyaan apakah aku
menyukai hujan, maka aku akan menjawab dengan yakin, “Aku
bahkan sangat mencintai hujan”. Hujan itu laksana melodi indah yang
dimainkan alam dengan instrumennya yang bermacam-macam. Nada air mata ini juga
mengalir indah, bening tanpa cela, meski menyayat perlahan seluruh hati, jiwa
dan raga. Air mata inilah yang menjadi
saksi sejarah, sejarah hidup yang tak akan pernah berakhir, yang akan terus
menerus menggoreskan tinta beningnya di wajah ini. Ntah sampai kapan ini semua akan
berakhir.
Bukankah Allah tidak menciptakan dua hati dalam satu rongga
dada? Namun satu-satunya hati yang aku
punya telah mengalami tusukan panah yang amat sangat dalam, tertusuk lalu tercabik-cabik, panah ini benar-benar
telah bersarang di dalamnya. Berharap dan berdoa, Allah akan dengan segera
mencabutnya lalu membasuh luka ini, mengobatinya hingga sembuh secara totalitas. Infeksi ini benar-benar sudah meluas dan
bernanah. Dan ternyata, belum cukup sampai disitu, mereka, ya mereka, dengan
sepenuhnya sadar menghujamkan kembali anak panah
lainnya tepat di luka yang masih menganga ini. Belum cukupkah? Belum puaskah?
Atau mereka memang masih menyisakan anak panah lagi hingga
aku benar-benar mati terbunuh?
Lalu diri ini? Haha, tentu saja diri ini dengan serta merta berteriak, menjerit atau cukup dengan berbisik, karna Allah berjanji akan mendengarkanku.
Lalu diri ini? Haha, tentu saja diri ini dengan serta merta berteriak, menjerit atau cukup dengan berbisik, karna Allah berjanji akan mendengarkanku.
Aku
benar-benar tak ingin berkata apapun, sepatah katapun. Karna hanya orang-orang
yang berkatalah, yang akan menyesali perkataannya. Bagaimana dengan orang yang
diam? Mereka tidak akan menyesali diamnya itu. Namun tiba-tiba aku tersenyum
sinis, mengingat bahwa seseorang pernah berkata, “Kalau
saja diam itu emas, maka berbicara itu berlian”. Haha, aku benar-benar
tak peduli dengan segala logam mulia atau batu mulia itu. Ada pengaruh yang
besarkah dengan segala perhiasan itu terhadap hidup dan matiku? Nihil, benar-benar nihil.
Laa haula wa laa quwwata illa billaah, tiada daya dan
upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jika memang doa itu adalah senjata orang-orang beriman. Maka aku akan menggunakan
senjata ini untuk membunuh banyak hal ya Rabb. “Jika” rasa yang menyiksa ini,
masa lalu yang menyesakkan ini dan masa depan yang mencemaskan ini berwujud manusia,
maka aku akan menjadi orang pertama yang mebunuhnya dengan
senjata doa ini ya Rabb.
Kadang aku
mengkhawatirkan kesehatan mataku ya Rabb, begitu juga dengan kesehatan
pencernaanku. Mata ini mengalami lakrimasi secara berlebihan dan terus menerus.
Sedangkan lambung ini, mengalami peningkatan sekresi asam secara signifikan. Maafkan
aku dan ampuni aku atas segala penzaliman terhadap diri
sendiri ini. Jasad titipan ini mendadak menjadi
renta, hembusan ruh di dalamnya mendadak menjadi
lemah tak bermaya. “Jika” amalku menjulang setinggi langit dan dosaku
hanya sebesar zarrah, maka aku akan mendesakMu untuk segera menceraikan jasad dan ruh yang terlanjur merasa
dirinya tak mampu lagi untuk memikul beban di pundaknya.
Hhh, terlalu
banyak kata “jika” di tulisanku kali ini. Bukankah kata “jika”, “kalau saja”,
“andaikan”, adalah pembuka kalimat yang akan dengan mudah iblis menyusup
kedalamnya? Haha, iblis benar-benar sedang tertawa
terbahak-bahak sekarang, atau memang telah menertawaiku sejak beberapa
tahun yang lalu? Tertawalah kalian wahai Iblis, cepat atau lambat akan ku bungkam mulut kalian.
No comments:
Post a Comment