Friday, February 8, 2013

Hujan


Hujan, diluar sana dan juga di dalam hati ini. Mungkin jika ada pertanyaan apakah aku menyukai hujan, maka aku akan menjawab dengan yakin, “Aku bahkan sangat mencintai hujan”. Hujan itu laksana melodi indah yang dimainkan alam dengan instrumennya yang bermacam-macam. Nada air mata ini juga mengalir indah, bening tanpa cela, meski menyayat perlahan seluruh hati, jiwa dan raga.  Air mata inilah yang menjadi saksi sejarah, sejarah hidup yang tak akan pernah berakhir, yang akan terus menerus menggoreskan tinta beningnya di wajah ini. Ntah sampai kapan ini semua akan berakhir.
Bukankah Allah tidak menciptakan dua hati dalam satu rongga dada? Namun satu-satunya hati yang aku punya telah mengalami tusukan panah yang amat sangat dalam, tertusuk lalu tercabik-cabik, panah ini benar-benar telah bersarang di dalamnya. Berharap dan berdoa, Allah akan dengan segera mencabutnya lalu membasuh luka ini, mengobatinya hingga sembuh secara totalitas. Infeksi ini benar-benar sudah meluas dan bernanah. Dan ternyata, belum cukup sampai disitu, mereka, ya mereka, dengan sepenuhnya sadar menghujamkan kembali anak panah lainnya tepat di luka yang masih menganga ini. Belum cukupkah? Belum puaskah? Atau mereka memang masih menyisakan anak panah lagi hingga aku benar-benar mati terbunuh?
Lalu diri ini? Haha, tentu saja diri ini dengan serta merta berteriak, menjerit atau cukup dengan berbisik, karna Allah berjanji akan mendengarkanku.
Aku benar-benar tak ingin berkata apapun, sepatah katapun. Karna hanya orang-orang yang berkatalah, yang akan menyesali perkataannya. Bagaimana dengan orang yang diam? Mereka tidak akan menyesali diamnya itu. Namun tiba-tiba aku tersenyum sinis, mengingat bahwa seseorang pernah berkata, “Kalau saja diam itu emas, maka berbicara itu berlian”. Haha, aku benar-benar tak peduli dengan segala logam mulia atau batu mulia itu. Ada pengaruh yang besarkah dengan segala perhiasan itu terhadap hidup dan matiku? Nihil, benar-benar nihil.
Laa haula wa laa quwwata illa billaah, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jika memang doa itu adalah senjata orang-orang beriman. Maka aku akan menggunakan senjata ini untuk membunuh banyak hal ya Rabb. “Jika” rasa yang menyiksa ini, masa lalu yang menyesakkan ini dan masa depan yang mencemaskan ini berwujud manusia, maka aku akan menjadi orang pertama yang mebunuhnya dengan senjata doa ini ya Rabb.
Kadang aku mengkhawatirkan kesehatan mataku ya Rabb, begitu juga dengan kesehatan pencernaanku. Mata ini mengalami lakrimasi secara berlebihan dan terus menerus. Sedangkan lambung ini, mengalami peningkatan sekresi asam secara signifikan. Maafkan aku dan ampuni aku atas segala penzaliman terhadap diri sendiri ini. Jasad titipan ini mendadak menjadi renta, hembusan ruh di dalamnya mendadak menjadi lemah tak bermaya. “Jika” amalku menjulang setinggi langit dan dosaku hanya sebesar zarrah, maka aku akan mendesakMu untuk segera menceraikan jasad dan ruh yang terlanjur merasa dirinya tak mampu lagi untuk memikul beban di pundaknya.
Hhh, terlalu banyak kata “jika” di tulisanku kali ini. Bukankah kata “jika”, “kalau saja”, “andaikan”, adalah pembuka kalimat yang akan dengan mudah iblis menyusup kedalamnya? Haha, iblis benar-benar sedang tertawa terbahak-bahak sekarang, atau memang telah menertawaiku sejak beberapa tahun yang lalu? Tertawalah kalian wahai Iblis, cepat atau lambat akan ku bungkam mulut kalian.

No comments:

Post a Comment