Perang itu
berkecamuk lagi. Satu pertanyaan, satu keluh kesah yang sangat menyesakkan
dibuang begitu saja dan semata-mata dianggap sebagai suatu tindakan
penghancuran. Bagaimana mungkin makhluk tak berdaya mampu menghancurkan orang
lain? Apalagi menghancurkan orang banyak. Benar-benar menggelikan. Berhentilah
mengangkat senjata dan menembakkan selongsong peluru ke hadapanku. Aku
benar-benar menginginkan gencatan senjata. Sudahi ini semua, aku ingin “pulang” dengan damai. Aku ingin Engkau
mengembalikan ku ke tanah. Tapi sepertinya ini belum cukup tuntas, luka ini
masih menganga, beban ini masih di pundak dan kaki ini masih tertanam beku di
pijakan. Benda tajam yang menyayat kulitku ini, ternyata tak sebegitu perih
dibandingkan luka di rongga dada ini. “Berhentilah
menyiksa tubuhmu sendiri”, teriakku.
Apakah doaku
sedang dijawab Iblis? Kuakui kesetiaanmu wahai Iblis.
Terimakasih karena menemaniku selama ini. Tapi tidak untuk sekarang, aku harus
mengkhianatimu. Aku benar-benar harus membungkam mulutmu dengan ayat-ayat suci.
Aku harus menghanguskanmu dengan basuhan wudhu. Dan aku harus melenyapkanmu
dengan sujudku di penghujung malam. Fajar harus menyingsing. Rembulan harus
purnama. Bintang-bintang harus gemerlapan. Dan siksa ini harus berakhir dengan
segera.
Aku benar-benar
bermimpi mempraktekkan salah satu perkataan Rasulullah SAW,yaitu :
Bersyukurlah ketika
diberi,
Bersabarlah ketika
tidak mendapatkannya,
Mintalah ampun jika
berbuat zalim, dan
Maafkanlah jika
dizalimi
Itulah empat
kunci memperoleh ketenangan jiwa dengan rasa aman dan memudahkan kita
memperoleh petunjukNya. Atau aku harus berdoa layaknya Nabi Ibrahim AS, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah
aku termasuk orang-orang yang sesat”. Maka perkenankanlah doaku wahai
Pencipta langit dan bumi serta segala sesuatu yang berada diantara keduanya.
Aku memohonkan petunjuk dimana aku dapat memperoleh pelajaran darinya, petunjuk
yang dapat aku mengerti sesuai kemampuan ilmuku. Berharap Kau memberi petunjuk
secara frontal, karena sungguh, aku tak lebih dari seorang hamba yang lemah dan
memohon belas kasihan pada zat yang Mahakuat.
Saat
kegelisahan ini semakin menjadi, saat penglihatan ini semakin gelap, aku
berharap ada mata lain yang mengajakku melihat ke satu titik terang. Allah ada disana, bersama kita katamu. Ya, bersama
kita katamu. Tapi itu semua tak lebih dari ilusi. Semuanya tetap harus kulewati
sendiri. Toh kita semua dilahirkan sendiri ke muka bumi ini. Menanggung
pedihnya mati juga sendiri. Terasing di lubang berukuran 2x1 meter juga
sendiri. Bahkan dihisab juga sendiri. Tapi tunggu dulu, andaikan Allah tidak
bersama kita. Mungkin saja Allah bersamaku. Bukankah Allah lebih dekat daripada
urat lehermu sendiri? Kalimat-kalimat menenangkan yang selalu aku lontarkan dalam
batinku. “Tersenyumlah lalu berbahagialah, bukan
berbahagialah lalu tersenyum”. Teori macam apa ini. Tapi baiklah, akan
ku coba. Bukankah aku sangat memiliki kemampuan untuk menangis dalam tawa dan
tertawa dalam tangis? Percayalah, Allah tak pernah sedetikpun tidur. Bersabarlah, karena sungguh kita sama-sama “menunggu”.
No comments:
Post a Comment