6 Februari
2013. Aku mengawali hari ini dengan satu nafas panjang yang sangat berat dan
tersekat di kedua rongga rusukku. Aku melakukannya lagi, suatu monolog yang tak
kunjung usai. Atas nama kelemahan keperempuananku dan atas nama seorang wanita
yang meletakkan perasaan jauh di atas logikanya. Tak satupun air mata akan kubiarkan
jatuh untuk hari ini. Tapi, tetap saja. Aku seolah sedang mati untuknya.
Potongan hati ini berserakan dengan mengucurkan luka darah. Mereka mengatakan, “Aku mengerti, karena kau seorang perempuan sama sepertiku.” Aku
terdiam dan membiarkan kalimat itu terputar berulang-ulang dalam pendengaranku.
Lalu aku terbentur pada suatu dinding besar yang membuatku teramat sangat ingin
berteriak, “Kalau begitu, sebagai seorang perempuan, sekarang katakan padaku
bagaimana aku harus menghadapinya, apa yang harus perempuan ini lakukan? Tunjukkan aku bagaimana caranya menghentikan pisau yang terus
bergerak dan menyayat jiwaku ini.”
Namun, tentu
saja teriakan itu hanya karam dalam batinku. Banyak yang ingin aku katakan,
tapi aku lebih memilih diam, mengubur semuanya rapat-rapat hanya untuk diriku
seorang.
Karena, semua itu akan sia-sia, hanya membuka suatu luka dan membiarkannya kembali menganga. Tetap tak akan ada seorangpun yang datang untuk mengobati luka ini. Biarlah, suatu hari nanti, jika aku memiliki keberanian untuk mengatakan seluruh kebenaran yang selama ini belum sepenuhnya tersingkap kepada mereka. Atau akan aku biarkan kebenaran yang mengatakannya.
Karena, semua itu akan sia-sia, hanya membuka suatu luka dan membiarkannya kembali menganga. Tetap tak akan ada seorangpun yang datang untuk mengobati luka ini. Biarlah, suatu hari nanti, jika aku memiliki keberanian untuk mengatakan seluruh kebenaran yang selama ini belum sepenuhnya tersingkap kepada mereka. Atau akan aku biarkan kebenaran yang mengatakannya.
Sekarang, aku
harus segera mengakhiri ini semua atau diriku akan binasa. Karena tak ada satupun tawa yang mampu menyembuhkan, tak pernah
cukup waktu yang berjalan untuk memakan habis semua kesedihan dan kesakitan ini
dan hati ini tetap tak akan mampu mengobati dirinya sendiri. Hari ini aku
bersumpah, aku sendiri yang akan mengunci rapat semua kerapuhan ini,
mengumpulkan sisa-sisa jiwaku dan bangkit. Aku akan memohon pada Allah untuk
memberikanku hati baru, suatu hati utuh yang masih murni dan bersih. Tak akan
aku isi dengan tangisan lagi, karena sungguh semua ini telah berlalu dan berakhir.
Penyesalan ini harus dihentikan. Ketakutan ini harus dimusnahkan. Dan kesedihan
ini harus diakhiri. Aku memilih untuk sabar, pasrah dan tawakkal terhadap
segala ketentuan Allah. Melebur dengan ikhlas dan ridho terhadap seluruh
rencana dan kehendakNya. Aku harus bahagia. Aku harus memperoleh kebahagiaan
yang hakiki. Amin.
Akhirnya, kututup
dengan sebuah sujud yang diiringi senyum penuh syukur :
“Ya Rabb, kini aku sandarkan hati ini di
suatu tempat yang penuh kepastian. Engkau ada disana. Terima kasih atas
ujianMu, aku akan lulus dari semua ini. Kesabaranku akan aku berikan secara
totalitas demi penantian akan ridhoMu. Kuatkan aku dan tetaplah bersamaku. Ya
Allah, ya Rabb, segala puji atas kasih sayangMu. Kini,
aku sudah tidak sedih lagi. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Aku sangat mencintaiMu wahai Zat Mahacinta.
Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.”
No comments:
Post a Comment