Ada
satu nama laki-laki yang pernah memenuhi kehidupanku secara totalitas. Saat itu
ia ‘seolah’ membuatku menjadi perempuan paling bahagia di dunia karena cinta
yang kami rasakan. Rasanya tak pernah sama sekali aku
menenggelamkan diriku dalam suatu samudra cinta yang terlihat tenang di
permukaan namun sangat bergejolak dibawahnya. Dia sosok yang sangat luar
biasa menurutku. Secara teoritis aku mengidamkan seorang pasangan dengan tipikal
romantis dan tidak monotone. Namun, hal itu benar-benar tak dipenuhi olehnya.
Mungkin jika dibandingkan dengan laki-laki sebelumnya, maka ia benar-benar
tidak romantis dan sangat monotone. Dan itulah aku, perempuan bernama Derry
Oktriana yang mendadak berubah menjadi sosok lain. Aku meyakinkan diriku bahwa
aku benar-benar mencintainya karena satu hal yang tak dimiliki oleh siapapun
sebelumnya, yaitu dia satu-satunya laki-laki yang mampu membuatku tersenyum
bahkan tertawa tanpa ia harus melakukan apapun. Menggelikan namun sangat aku
sukai segala percikan dari api cinta itu.
Satu
kalimat yang tepat meluluhkan pertahanan hatiku adalah saat ia mengatakan, “Ntah kenapa, aku sangat yakin bahwa kaulah tulang rusukku.”
Guncangan kalimat itu benar-benar luar biasa. Dan aku menyerah menjadi tawanan hatinya tanpa syarat apapun. Sama sekali tanpa syarat. Dia laki-laki baik, sangat baik. Mungkin tidak berlebihan jika aku katakan bahwa ia selalu shalat tepat waktu dan membaca Al-Quran setiap harinya. Dia juga sosok yang mencintai keluarganya, bahkan mencintai keluargaku. Seperti tak ada batasan lagi antara keluargaku dengan keluarganya. Aku sudah diperkenalkan dengan keluarga besarnya, begitu juga sebaliknya. Terlalu banyak yang telah kami lalui bersama, ntah sudah berapa kali aku memasak berbagai macam makanan dan menghidangkannya di atas meja makan keluarganya. Ntah sudah berapa banyak rakaat shalat berjamaah yang kami lalui berdua. Ntah sudah berapa banyak bulir air mata haru saat aku mendoakannya untuk menjadi imam keluargaku kelak. Bahkan aku pernah menangis saat shalat berjamaah bersamanya. Segala mimpi-mimpi kami tentang masa depan. Begitu juga dengan segala keperihan bersama yang selalu berhasil kami lalui.
Guncangan kalimat itu benar-benar luar biasa. Dan aku menyerah menjadi tawanan hatinya tanpa syarat apapun. Sama sekali tanpa syarat. Dia laki-laki baik, sangat baik. Mungkin tidak berlebihan jika aku katakan bahwa ia selalu shalat tepat waktu dan membaca Al-Quran setiap harinya. Dia juga sosok yang mencintai keluarganya, bahkan mencintai keluargaku. Seperti tak ada batasan lagi antara keluargaku dengan keluarganya. Aku sudah diperkenalkan dengan keluarga besarnya, begitu juga sebaliknya. Terlalu banyak yang telah kami lalui bersama, ntah sudah berapa kali aku memasak berbagai macam makanan dan menghidangkannya di atas meja makan keluarganya. Ntah sudah berapa banyak rakaat shalat berjamaah yang kami lalui berdua. Ntah sudah berapa banyak bulir air mata haru saat aku mendoakannya untuk menjadi imam keluargaku kelak. Bahkan aku pernah menangis saat shalat berjamaah bersamanya. Segala mimpi-mimpi kami tentang masa depan. Begitu juga dengan segala keperihan bersama yang selalu berhasil kami lalui.
Aku
ingat, hari itu di Pekanbaru, rasanya kematian berada sangat dekat dengan kami
berdua. Motor yang kami kendarai diserempet sebuah truk barang besar yang
tiba-tiba datang dari arah belakang. Kami terseret dari kepala truk tersebut
hingga ke bak paling ujung dan akhirnya terjatuh di aspal, sontak aku melihat ke
arah belakang karena khawatir akan datangnya kendaraan lain yang akan
menghantam kami secara tiba-tiba. Hanya satu hal yang terbersit di benakku saat
itu, “Inikah akhir yang Tuhan inginkan?”. Masha
Allah, semua kehidupan yang aku lalui mendadak terputar ulang dalam sekelip
mata. Tak ada satupun suara yang mampu aku dengar, mendadak semuanya kosong,
hanya ada aku dan diriku. Dan satu kalimat membuyarkan itu semua, ia berteriak
ketakutan sambil mengguncangkan pundakku, “Kau gak papa
kan? Maafin aku, tolong maafin aku.” Ini kali kedua aku melihat ekspresi
cemas dan rasa bersalah yang sangat dalam dari garis wajah dan sorot matanya. Ya, kali kedua.
Rasa
sakit di hari itu telah hilang, tapi guratan luka masih membekas di lengan
kanan dan tapak kakiku. Kadang aku selalu merasa ketakutan dengan segala luka
yang aku alami, hampir semuanya membekas dan menimbulkan sisa luka baru yang
mungkin tak akan pernah hilang. Kenapa? Karena ternyata aku membawa kelainan
genetik dalam penyembuhan luka atau disebut keloid. Tak
semua hal bisa aku hilangkan dengan mudah, termasuk bekas luka ini, baik di
permukaan maupun yang berada lebih dalam.
Tapi
sudahlah, semua telah berubah dalam sekelip mata. Mungkin bagi mereka yang
telah mengikuti tulisan-tulisan di blogku ini menyadari bahwa hampir seluruh
tulisanku menceritakan tentang laki-laki ini. Aku tak
lebih dari seorang perempuan yang sedang memadamkan api cinta yang mungkin
ianya sedang tertawa terbahak-bahak saat menghanguskanku hingga ke sumsum
tulang. Demi Zat yang sedang membasuh bahkan mengguyurku dengan air
kehidupan dari langit. Tak ada kata lain selain syukur penuh karena telah
mengantarkanku pulang ke fitrah lahirku.
Pernahkah kalian menantang Tuhan? Aku
pernah melakukannya, maka saranku, lakukanlah juga demi hidup dan kehidupan
yang lebih baik kedepannya, insyaAllah. Mungkin dalam hitungan menit, Allah
akan membolak-balikkan hati orang-orang disekitar kalian. Membuat suatu
‘pertunjukan’ frontal yang mungkin tak pernah terfikirkan sama sekali di hati
atau benak kalian. Sebelum aku menceritakannya, ada baiknya aku bercerita
tentang tulisanku yang berjudul “Allah atau Tuhan?”. Aku menulisnya sekitar dua
tahun yang lalu, aku memutuskan hubungan kami ini bukanlah kali pertama. Aku
pernah melakukannya juga sebelumnya, dengan alasan yang sama yaitu ingin
istiqomah untuk tidak berpacaran. Namun, sepertinya
iblis masih berkuasa, kejahiliyahan masih menunjukkan taring dan kukunya. Aku
bertekuk lutut kembali saat bertemu dengannya di liburan akhir semester. Dengan
komitmen baru, kami membangun kembali hubungan kami.
Tapi
tetap saja, hati kecilku kadang berteriak keras mengatakan, “Sudahi ini semua
Derry Oktriana, apa lagi yang kau tunggu?!”. Dan akhirnya, aku memutuskannya
kembali seusai pulang dari KATALIS, dan kali ini tak boleh gagal lagi. Aku
harus benar-benar istiqomah dengan keputusanku ini. Memang, pada awalnya kami
memiliki komitmen untuk secara totalitas menjaga interaksi kami, hingga Tuhan
membingkai hubungan kami dalam suatu ikatan halal nantinya,dia katakan “Jika semua ini telah selesai, aku akan datang untuk
menjemput kau nantinya.” Aku percayai semua kalimatnya, tanpa
terkecuali. Mulai saat itu, aku sangat membatasi percakapan kami melalui
telfon, bbm atau sms. Atau bisa dikatakan, aku benar-benar memutus komunikasi
dengannya kecuali untuk sekedar menanyakan kabarnya sesekali dan mengucapkan
semangat saat ia akan ujian, begitu pula sebaliknya. Karena, untuk apa
istiqomah tidak berpacaran namun tetap berkomunikasi mesra? Setengah mati aku
berusaha menahan segala keinginanku untuk menghubunginya. Hingga satu hari, aku menantang Tuhan.
Aku
benar-benar menantang Tuhan. Aku katakan pada satu doa khusus setelah shalat
ashar, sore itu aku bermunajat dengan sangat khusyuk kepada-Nya. Aku katakan
pada-Nya dengan linangan air mata, “Ya Allah ya Rabb, aku sangat ingin berada
dekat dengan-Mu. Aku ikhlaskan apapun takdir yang akan Kau berikan padaku,
asalkan ianya mampu mendekatkan diriku sedekat-dekatnya dengan-Mu. Ya Rabb, aku tidak sedang memohon kepada-Mu, aku sedang
menantang Engkau dengan segala janji dan ancamanmu! Aku benar-benar
menantang-Mu sekarang! Dekatkan aku pada-Mu, sedekat-dekatnya lalu
kuatkan aku dengan segala keputusan-Mu. Itu saja. Amin.”
Dan
tahukah kalian? Serasa Allah berbalik menantang doaku. Belum sempat aku menanggalkan mukenahku, aku membuka handphone dan langsung
dihadapkan dengan satu kenyataan terpedih yang pernah aku rasakan seumur hidup.
Baiklah, pengkhianatan itu terulang. Cinta yang
selama ini teramat sangat aku percayai mengkhianatiku. Kenapa aku mengatakannya
terulang? Ingatkah kalian laki-laki yang aku ceritakan di tulisan “Lamaran
Diatas Pusara?”. Ya, dia orang yang dulunya aku khianati, aku campakkan
layaknya sampah demi laki-laki yang akhirnya mengkhianatiku ini. Begitulah
hidup, berputar sesuai kehendak Sang Khalik.
Namun,
aku sangat berterima kasih atas pengkhianatan itu. Berterima kasih kepada
perempuan yang berhasil menggantikan posisiku mengisi hari-harinya dengan
perhatian yang ia butuhkan. Karena sungguh, aku benar-benar tak dapat
melakukannya lagi. Aku ingin disibukkan dengan
kecintaanku pada Zat Mahacinta dan pada Rasulullah, manusia pembawa cinta. Tak
ingin lagi menyia-nyiakan hidup dan kehidupanku kepada makhluk yang tak layak
untuk aku menghamba kepadanya.
Lagipula,
aku tersadar. Tak ada yang perlu disedihkan atas segala pengkhianatan itu.
Bukankah dengan sebuah pengkhianatan, kita tau benar bagaimana kualitas cinta
yang ia miliki? Seharusnya aku masih bersyukur, bukankah
aku hanya kehilangan orang yang tidak mencintaiku secara tulus? Bukankah
aku baru saja terhindar dari pengkhianatan yang pastinya akan lebih menyakitkan
jika terjadi saat kami telah halal dalam suatu pernikahan nantinya? Dan dia?
Dia telah kehilangan seorang perempuan yang sedang berusaha meniti jalan menuju
kebaikan, kehilangan seorang perempuan yang sempat berkeinginan menjadi istri
dan ibu yang luar biasa bagi anak-anaknya. Atau lebih panjang lebar lagi jika
kalian telah membaca tulisanku, “Jodohku Kau atau Dia?”. Dan bagaimana dengan
perempuan lain itu? Seharusnya aku mengasihani dan mengkhawatirkannya. Atau
lebih tepatnya sudah dan sedang mengkhawatirkannya. Bukankah
ia hanya mendapatkan seseorang yang kualitas cintanya telah terbukti rendah dan
lebih buruk dari diriku?
Aku
juga ingin berterimakasih karena perkataannya padaku, dia pernah mengatakan
dengan lantang dan penuh dengan penghakiman, “Kau tak
layak membicarakan agama! Tak perlulah membawa-bawa nama Tuhan! Kalau memang
mau istiqomah, jangan setengah-setengah!”. Dan sekarang, inilah yang
sedang aku lakukan, berusaha dan terus berusaha memantaskan diri untuk
menyampaikan pesan-pesan Allah. Istiqomah secara totalitas. Semoga Allah
menyabarkanku dan senantiasa menguatkanku. Amin.
Dan
satu hal yang ingin aku katakan disini, aku sedang membebaskan diriku dari itu
semua. seperti tulisanku, “Hijrah? Bismillah”. Aku jelas mengatakan disana,
bahwa aku menutup diri baik itu dunia nyata maupun dunia maya dari hal-hal yang
menyangkut hidup dan kehidupan mereka. Bahkan aku pernah mengatakan, anggap
saja aku sudah mati dan terkubur dibawah sana. Aku sampai tak ingat kapan
terakhir kali aku membuka facebooknya, twitternya atau apapun yang bersangkutan
dengannya. Jika ada yang menyebut namanya dan ingin menceritakannya padaku
saja, aku katakan, “Sudahi itu semua, aku tak
memerlukannya lagi.” Mungkin mereka sudah dan sedang berbahagia
sekarang. Begitu juga denganku, aku tak pernah merasakan kebahagiaan seperti
ini sebelumnya. Allah berkehendak lain, Dia mengantarkanku pada maqam (tahapan)
kebahagiaan yang aku sendiri tak mampu menjelaskannya. Begitulah hidup,
layaknya pertigaan. Pada awalnya mungkin kita berjalan
bersama-sama dalam suatu jalan, namun saat kita mencapai satu pertigaan. Kita
memilih jalan berbeda. Kita tetap berjalan dan tumbuh besar, awalnya aku
mati terbunuh berkali-kali saat menapakinya tanpa dirimu. Namun aku tak akan
pernah mati lagi untukmu. Karena Allah memberikan hati, cinta dan kehidupan baru
untukku. Layaknya tulisanku, “Shahzadi Ibadat”. InsyaAllah, amin.
Aku
teringat pada satu orang laki-laki yang
pernah aku sisipkan fotonya di tulisan “Reborn of Derry Oktriana”, dia
tiba-tiba mengatakan padaku, “Kau tahu kenapa kau takut
dan patuh padanya? Karena dia udah kayak Tuhan kau!”. Aku tertawa saat
mendengar ungkapannya itu meski otakku berfikir keras dan menyetujui
pendapatnya. Dia menyadarkanku sekali lagi, bahwa untuk apa aku menuhankan
orang lain? Untuk apa aku menjadi budak dari seorang makhluk? Karena Allah
melahirkanku bukan untuk menjadi budak siapapun! Aku
perempuan merdeka!
Tiap
aku menangis dan mengais belas kasihan dari penduduk langit, aku rasakan
bisikan damai, seolah Allah membisikkan ke dalam relung hatiku dengan lembut, “Hambaku, Aku telah mengampunimu, kemarilah, aku menantikanmu
kembali kepadaku.” Begitulah cahaya Illahi, saat kita sangat
menginginkan dekat kepada-Nya, kita seolah ditarik lalu diceburkan hingga
bermandikan cahaya-Nya. MashaAllah, andaikan semua orang tahu betapa nikmatnya
saat memperpanjang sujud dihadapan-Nya, saat bermunajat penuh rasa takut dan rasa
harap kepada-Nya. Itulah saat dimana tak akan kita rasakan lagi cinta yang
lebih dahsyat selain cinta kepada-Nya.
Ku
akhiri tulisanku ini dengan satu doa untuk kita semua, semoga Allah
memperkenankan dan mengabulkannya dengan diamini oleh seluruh pembaca.
“Ya Allah ya Rabb, jika cinta
itu ibarat kehidupan. Maka hidupkan kami dalam cinta kepada-Mu. Dan jika ketiadaan cinta itu ibarat kematian. Kami tak
peduli. Kami hanya ingin hidup dan mati dalam keadaan cinta kepada-Mu. Tambahkanlah
bekal cinta kami ini dengan keridhoan-Mu seluas langit dan bumi. Pertemukan
cinta kami ini dengan diri-Mu wahai Zat Mahacinta. Rindukan kami pada
kekasih-Mu Rasulullah SAW, jadikan kerinduan kami ini terobati dengan melihat
senyum terbaik yang pernah terpancar di muka bumi dan seluruh penjuru langit
dari beliau untuk kami. Perkenankanlah doa kami ya Rabb. Kami memohon dengan
sangat. Amin amin ya Rabbal ‘alamin.”
syukron kak, awalnya serasa ditampar waktu awal baca, tapi entah kenapa ada rasa rindu tuk merasakan tenangnya hidup tanpa galau atas cinta yang belum halal, seperti waktu kecil dulu..
ReplyDeletesekali lagi syukron kak, semoga mampu istiqomah..
aamiin
insyaAllah dek, Allah Mahatahu, moga kita tetep bisa istiqomah menjaga izzah ini yah, semangkA, anak Al-Azzam anti galau masalah cinta (^_^) aamiiin
DeleteTerima kasih atas sharingnya.. Amat menggugah jiwa saya yang masih mencari keteguhan ini. Insya Allah, fii sabilillah...
ReplyDeleteafwan :)
Delete