Tuesday, May 14, 2013

Untuk Perempuan Bodoh yang Tak Kunjung Memaafkanku



Beberapa hari ini aku seolah mengalami kematian lagi dan lagi. Hasrat untuk menulis sangat besar, seluruh kalimat berputar dan tak sabar ingin dituangkan. Namun ketika jemari memulai satu atau dua kata pembukaan, mendadak kalimat-kalimat itu gugur tak berbekas. Tak ada cara lain selain membaca, aku butuh kalimat baru, kalimat yang jauh dari nada berkeluh kesah. Aku butuh kalimat-kalimat yang memberi kehidupan. Aku mulai muak dengan kesatuan kalimat mengenai kematian. Aku benar-benar ingin hidup. Hidup layaknya manusia!
Aku katakan padaNya, “Ya Rabb, ada satu perempuan, aku telah meminta maaf dengan tersungkur menangis dihadapannya berulang kali, namun ia tak kunjung memaafkanku, tolong lembutkan hatinya, katakan padanya, maafkan aku, aku benar-benar membutuhkan penerimaan maaf darinya.” Namun lihatlah, ia masih di sudut sana, menangis membeku tanpa suara. Ia mengadu padaMu untuk menguatkan dirinya, aku kerap kali mendengar rintihin suaranya di penghujung malam, dengan doa yang sama dan permohonan yang sama, dan lihatlah kini, aku tak pernah lagi menemukan binar matanya disaat semua orang tertawa, ia masih saja berkutat dengan kepedihan dirinya bersama jiwanya, sedangkan jasadnya ia biarkan bercengkrama dengan dunianya.
Aku akan tetap menanti di perbatasan, menunggu dirinya kembali padaku dan memaafkanku. Atau aku yang akan terus menerus mengejar dirinya hingga ia benar-benar mampu berdamai dengan seluruh kesalahanku. Kadang aku tak kuasa lagi menahan luapan emosiku, aku peluk dirinya sangat erat dan memaksanya memaafkanku, namun ia tak bergeming, tetap terdiam seolah aku tak pernah ada. Aku pernah membangunkannya di tengah malam kemudian meneriakkan satu kalimat tepat di wajahnya, “Kapan kau akan memaafkanku?”. Dia hanya tersenyum datar kemudian berlalu dari hadapanku dan kembali dengan basuhan wudhu yang membasahi wajah dan ubun-ubunnya. Aku biarkan ia mendirikan shalat malam dan menunggunya dengan penuh harap. Sempat aku berfikir mungkin ia telah mati karena tak kunjung bangkit dari sujud akhirnya. Dan saat ia bangkit, ada perasaan lega yang terbersit dalam benakku, “Syukurlah ia belum mati, karena sungguh, ia tak boleh mati sebelum memaafkanku!”
Setelah ia menyelesaikan doa-doanya dan hendak melipat sajadah, aku tahan kedua tangannya, untuk kesekian kalinya, aku kembali tersungkur dihadapannya dan memohon maaf dengan menanggalkan seluruh harga diriku. Aku memohon dengan sangat di malam itu, beruraian air mata dan kelemahan yang menjalar di seluruh raga. Dengan lembut dan tatapan penuh harap ia bisikkan padaku, “Aku sangat ingin memaafkanmu, namun dengan satu syarat, beri aku kepastian terlebih dahulu bahwa Allah telah mengampuniku.”
Aku tak kuasa lagi menahan tangannya, aku menangis sejadi-jadinya di malam itu, aku tersungkur lemas di atas sajadah dan benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Bagaimana mungkin aku memberi kepastian padanya? Syarat yang ia berikan terlalu berat untukku. Perempuan ini benar-benar keras kepala. Rasanya aku ingin membunuhnya kemudian membunuh diriku lalu kami berdua bertemu dengan Allah dan meminta keputusan paling adil untukku dan dirinya. Haha. Tapi tenang saja, mungkin kita sama-sama keras kepala, tapi kita berdua bukan perempuan bodoh yang akan melakukan perbuatan bodoh bersama lagi bukan?


Aku bangkit dari sujudku kemudian membacakan sebuah ayat kepada perempuan ini :
“Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu
sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad
dan bersabar di antara kamu, dan akan Kami uji perihal kamu.”
(QS Muhammad ayat 31)

Jika tadi aku yang menangis tersungkur di hadapannya, kini aku sedang menyediakan pundakku untuk membiarkan ia bersandar dan akan aku jejali jiwanya dengan kalimat dari mulutku, aku katakan padanya, “Kau fikir semua harus dan akan berjalan sesuai dengan keinginanmu? Kau fikir saat kau memilih mendekatkan diri kepada Allah maka serta merta seluruh kesakitan akan terbebas dari dirimu? Kau fikir menjumpai Rasulullah dan bersatu dengan hakikat Allah di akhirat nanti hanya cukup dengan kata taubat dari lisanmu? Bangun dari semua mimpimu! Sadarkan dirimu! Kenapa kau berkeluh kesah saat mereka mengkhianatimu dan telah berhasil membunuhmu berkali-kali? Mereka hanya manusia! Mereka hanya pengkhianat! Tidak cukupkah kau dengan dijanjikannya pulang ke rumah kita di langit sana dan berkumpul dengan para syuhada? Tidak cukupkah kau pulang bersama Rasulullah dan menatap Zat Yang Menciptakanmu? Cukupkan dirimu dengan itu semua! Berhenti mengatur Allah! Pasrahkan dirimu seutuhnya! Biarkan Dia yang membentukmu dengan caraNya! Ikhlas dan kuatlah, kau tak punya pilihan lain!”
Jika seluruh kalimatku masih belum cukup untukmu, maka kemarilah, berdampingan dekat denganku, akan aku bisikkan kalam Illahi Rabbi yang sedang terngiang dalam ruang batinku :
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan
hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’ dan mereka tidak diuji?
Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka,
maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar
dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.”
(QS Al ‘Ankabut ayat 2-3)

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja),
padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu
dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah,
rasul-Nya,dan orang-orang yang beriman,
Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
(QS At Taubah ayat 16)

Bagaimana sekarang? Masihkah kau berkeluh kesah? Jalanmu masih panjang, ini baru permulaan, kesakitan ini masih mendarah daging karena rentetan kisah ini memang belum berakhir. Percayalah bahwa takdir orang yang beriman adalah baik adanya. Jika ianya terkesan buruk dan menyakitkan, itu hanya karna kau belum dapat membedakan dengan sebenar-benarnya antara yang baik dan yang buruk, itu saja.


“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu,
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS Al Baqarah ayat 216)

Bersabarlah, sedikit lagi dan sedikit lagi hingga kesabaranmu tak memiliki batas. Ikhlaslah sedikit lagi dan sedikit lagi hingga keikhlasanmu tak menyisakan rasa sakit. Aku akan berlari bersamamu di jalan ini, kita akan menanti bersama di garis batas antara langit dan bumi bahwa sang penyelamat akan hadir dan menjadi pelipur seluruh laramu.
Aku yakin dan percaya bahwa satu hari nanti, cepat atau lambat, kau akan menangis haru dan mengecup dahiku sembari mengatakan, “Janji Allah benar, barakallah untuk kau dan aku, Allah telah mengampuniku, dan aku telah memaafkanmu saudara perempuanku. Aku benar-benar memaafkanmu Derry Oktriana.”

No comments:

Post a Comment