Friday, May 3, 2013

Tenanglah, Aku sudah Membunuh Perempuan itu


Mendekati 100 hari pasca kematianku terhitung tanggal 13 Februari 2013 lalu. Benar-benar menjadi bahan muhasabah diri lagi dan lagi. Kadang aku berteriak kepada diriku sendiri, “Andaikan memori rasa dan pikiran itu berwujud manusia, maka mungkin aku perempuan pertama yang akan membunuhnya!” Saat semua memori itu terputar dalam benakku, mungkin aku butuh berhenti sejenak, beristighfar sebanyak-banyaknya, merapikan kembali jubah pertahananku, tapi aku takkan sekali-kali mundur, selangkahpun tidak, aku akan tetap melangkah maju, hingga diizinkan naik ke langit.
Jika ada yang berfikir semua ini mudah sedangkan aku hanya berlebihan, kemarilah dekat denganku, kalian akan rasakan getaran pilu ini. Namun tenang saja, aku memilih untuk bungkam hingga tiba waktunya, mari kita nikmati hidup kita masing-masing, meski pisau belum berhenti bergerak.
Kadang aku seolah tak memiliki rasa kepedulian lagi terhadap diri, memikirkan Allah saja rasanya hatiku masih belum cukup luas untuk menampungnya. Lalu aku melihat ke arah mereka, sangat memprihatinkan melihat orang-orang yang menganggap bahwa Allah adalah subjek pelarian layaknya seluruh dalih logika liberalis mereka. Allah itu bukan tempat pelarian, Dia itu tujuan, satu-satunya tempat berlari dan kembali. Dan semakin memprihatinkan saat melihat mereka yang memandang kemunkaran sebagai sesuatu yang indah dan wajar, sedangkan ketaatan sebagai sesuatu yang asing.
Pertanyaannya adalah, “Aku yang harus memeriksakan diriku atau mereka?”
Bukankah kesenangan karena maksiat itu sesaat, sedangkan siksanya berkekalan? Di sisi lain, kesulitan dan cobaan karena ketaatan itu juga sesaat, tapi berkahnya berkekalan, insyaAllah.
Kembali ke masa pasca kematianku, kadang aku masih berharap dikirimi untaian doa. Namun ntahlah, sejauh ini belum ada satupun makhluk yang menghampiri pemakamanku. Seolah benar-benar terputus seluruh pertalian selama ini. Aku benar-benar sudah mati dan terkubur dibawah sana bukan? Perfect, memang itu yang mereka harapkan. Mungkin sekarang mereka malah merayakan kematianku. Aku telah mati ditanganku sendiri, karena sungguh, aku lebih memilih mati dikedua tanganku ketimbang mati ditangan mereka semua.
Dulu aku pernah berfikir untuk apa bersusah payah membunuh perempuan yang ada dalam diriku. Bukankah menjalani kehidupan saja sudah seperti bentuk pembunuhan berkali-kali dan suatu kematian yang panjang? Namun takkan aku biarkan diri ini mati karena mereka lagi, aku hanya akan mati di hari kematianku kelak, cukup di saat itu saja. Aku katakan pada saudara perempuanku ini, “Sudahlah, hidupkan hatimu, kau tak akan pernah mati lagi! Tak akan pernah!”
Aku seorang calon farmasis, calon apoteker, insyaAllah. Namun penyembuhan penyakit yang tampak dan terdeteksi secara klinis benar-benar jauh lebih mudah. Aku sering melakukan monolog dengan mengatakan, “Kalian butuh berapa lama untuk memulihkan diri? Setahun? Sebulan? Seminggu? Sehari? Oya, kalian tak butuh sedetikpun, sepertinya memang hanya aku yang butuh waktu seumur hidup!”
Atau di lain waktu aku mengatakan, “Sedih? Pasti. Sakit? Apalagi itu. Lalu? Itu cuma masalah pribadi. Lantas? Enyahkan itu semua dan beralih ke masalah umat. Yakin? Bismillah aja, insyaAllah.”
Mungkin satu hari kelak atau bahkan setiap hari, aku akan senantiasa memakai pakaian serba putih yang membalut seluruh tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lebih panjang lagi, lebih lebar lagi. Tapi itu semua bukan untuk mewakili putihnya kesucian, melainkan ungkapan berkabung akan kezaliman dunia dan pengingat bahwa balutan kafanku kelak berwarna putih pula.
Aku tahu benar, Allah tidak sedang mengambil dirimu dariku. Allah itu sedang menjauhkan dirimu dariku. Kenapa? Karena aku yang memintanya dengan lantang dan penuh pengharapan. Aku meminta agar Allah mendekatkan diriku pada orang-orang yang mampu semakin mendekatkan diriku padaNya dan menjauhkan orang-orang yang menjauhkan aku dariNya.
Sepertinya semua ini terjadi bukan karena aku layak tuk dikhianati, juga bukan karena aku tak pantas menjadi wanita yang kau perjuangkan tuk mewujudkan seluruh sumpah setiamu dulu. Tapi semua ini terjadi karena rasaku padamu telah melampaui batas, sedangkan Allah benar-benar tak rela jika aku membagi hati dengan makhluk yang tak layak tuk dicinta. Allah seolah membisikkan dalam hatiku, “Ambil isyaratKu wahai hambaKu, hanya Aku yang paling layak tuk dicinta, kau hanya layak mencinta pada dia yang juga cinta padaKu, sudahlah, dia tak layak tuk dicinta, itu saja.”
Aku benar-benar ingin mengatakan padamu, “Tolong, jangan engkau pertentangkan lagi semua itu. Apalagi memfitnahku dengan segala pembenaran atas dirimu. Belum cukupkah seluruh kesakitan yang kau tambatkan?”
Jika dunia terlalu nista untuk sebuah pengadilan, maka aku akan bersabar hingga harinya kelak. Hari dimana seluruh panca indera yang menjadi saksi.
Mungkin dulu saat hati kita berjauhan, aku masih ingin berteriak agar kau mampu mendengarkan pembicaraan ini dari hati ke hati, namun lihatlah, kini aku memilih bungkam, sesuai kemauanmu dan mereka semua. Karena sepertinya bukan hati kita semua yang berjauhan, tapi kalian seolah tak punya hati, sedangkan aku telah mengemis belas kasihan agar Allah memberikanku hati baru.
Tapi sudahlah, waktuku terbuang dengan sangat sia-sia hanya untuk membahas apalagi memikirkan mereka yang mungkin telah mengalami amnesia batin, jiwa maupun raga. Satu-satunya hal bodoh bagi banyak orang, namun akan selalu dan mungkin akan terus aku lakukan adalah mendoakan kebahagiaan mereka semua.
“Senang berkenalan dengan Anda dan seluruh orang yang berkaitan dengan Anda. Karena dengan kehadiran dan kepergian Anda-anda semua, Tuhan berhasil ‘membentukku’ hingga sampai ke tahap seperti sekarang meski dengan penuh kesakitan, kemunafikan dan pengkhianatan. Well done guys, all of you did your job very well, thanks too much.”
Haha, aku sedang tersenyum pahit sekarang, lalu aku katakan pada diriku, “Apa yang kau lakukan saudariku? Tersenyumlah dari hati, karena jika mereka memiliki hati, mereka akan membalas senyummu.”
Baiklah, tak ada pilihan lain selain menundukkan kepala, memohon pada Illahi Rabbi untuk memperkenankan seluruh kebaikan untuk kita semua. Semoga dengan diaminkan oleh seluruh pembaca mampu semakin memperkokoh bangunan doa ini hingga menjulang ke Arsy. InsyaAllah.
“Ya Allah ya Rabb, kami memohon dengan sangat, cukupkan kami dengan segala pemberian dari sisi-Mu hingga kami tak bergantung lagi pada makhluk, cukupkan kami dengan nikmatnya  berdzikir dalam kerinduan hingga kami tak meminta lagi kesenangan dunia yang sesaat ini. Perlakukan kami dengan kasihsayangMu hingga Engkau membalikkan hati kami hanya pada jalan agamaMu yang lurus. Jangan Engkau balikkan lagi hati kami kepada kemunkaran yang dapat mengeraskan hati kami. Biarkan kami mendapat syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di akhirat kelak ya Rabb. Hati kami berpadu penuh harap agar Engkau berkenan mengabulkan doa kami. Sungguh ya Rabb, kami memohon dengan sangat. Amin amin ya Rabbal ‘alamin.”

3 comments:

  1. aamiin.
    gorgeous!! "..sedangkan aku telah mengemis belas kasihan agar Allah memberikanku hati baru."

    kunjungan perdana ukhti, assalamu'alaikum.

    ReplyDelete