Saturday, March 9, 2013

Reborn of Derry Oktriana


Belakangan ini aku sering sekali mematut diri di depan kaca lalu berbicara dengan pantulan wajah di cermin itu. Atau duduk di atas sajadah setelah shalat sambil berinteraksi langsung dengan diri sendiri. Kadang aku memanggilnya Oktriana, kadang aku memanggilnya lengkap dengan sebutan Derry Oktriana atau kadang aku menyebutnya saudara perempuanku. Hal ini kadang terasa aneh, namun lama kelamaan menjadi hal yang lumrah bagiku. Karena ada satu makhluk yang menemani kita selama ini namun jarang sekali kita dengarkan, jarang sekali kita meminta maaf kepadanya. Dan makhluk itu adalah diri kita sendiri.
Aku sangat percaya dengan ungkapan yang mengatakan bahwa memaafkan kesalahan orang lain jauh lebih mudah ketimbang memaafkan kesalahan diri sendiri. Dan hal ini terjadi padaku. Kadang aku berfikir aku terlalu menuntut banyak pada jasad dan jiwa ini. Ia terus-terusan mengabdikan dirinya pada orang-orang yang seharusnya ia laknat mentah-mentah. Padahal secara fitrah dan kodrati manusia hanya dengan mengingat Allah-lah hati akan menjadi tenang. Lalu untuk apa menuhankan orang lain? Untuk apa menuhankan makhluk yang sama-sama berawal dari setetes air yang hina?
Aku sering sekali mengatakan, “Derry Oktriana, maafkan aku, aku telah menzalimimu dengan kesadaran penuh dalam waktu bertahun-tahun. Maafkan aku yang telah memaksamu untuk memenuhi segala keegoisan dan hawa nafsuku akan dunia. Derry Oktriana, kamu terlahir sebagai perempuan baik, dan harus mati dalam keadaan terbaik, aku berjanji akan mengobatimu, aku akan terus melindungimu meski seisi dunia akan menghujatmu. Maafkan aku atas pertanggungjawaban yang harus kau hadapi nantinya. Tapi percayalah, kau harus dengan rela memaafkanku dan kita bersama-sama membangun cinta ini. Allah ada disana, bersama kita.”
Tapi saudara perempuanku ini belum bisa sepenuhnya memaafkanku. Ada apa dengannya? Aku telah berusaha melakukan banyak hal untuk mengobatinya. Berawal dari sebuah revolusi dengan memutuskan hubungan yang telah aku bangun selama hampir tiga tahun. Merelakan rambut yang awalnya hampir sepinggang menjadi tak lebih dari 2 cm. Kadang aku selalu tertawa mengingat hari itu, hari dimana untaian rambutku berserakan di lantai. Tak ada tangis di hari itu, hanya tatapan nanar melihat sosok diri sendiri yang mendadak tampan. Haha. Hari terbodoh sekaligus menyegarkan indera-indera sarafku. Serasa terlahir kembali, atau aku lebih senang menyebutnya dengan istilah ‘reborn’. Tak hanya itu, aku merubah penampilanku. Mencoba mengenakan gamis dan khimar. Menghapus seluruh lagu dari handphoneku dan menggantinya dengan album Maher Zain atau rekaman ayat-ayat Al-Quran. Aku juga menghapus seluruh file di netbook maupun jejaring sosial yang menurutku tidak bermanfaat lagi, baik itu foto, film, video, dokumen, dll. Proses-proses revolusi ini juga diiringi dengan adegan bakar-bakar, sedekahin barang-barang dan termasuk ngebuang-buang barang.
Satu per satu beban mulai terangkat. Dan masa pemulihan dibantu dengan kembalinya aku ke tengah-tengah keluargaku di Tanjungpinang. Mereka benar-benar penyejuk mata. Damai dan mendamaikan. Banyak hal yang membantu seluruh proses ini, mulai dari buku-buku yang pernah aku paparkan di tulisanku sebelumnya. Kehadiran orang-orang yang senantiasa mendoakanku. Hingga satu tulisan yang sempat aku tulis 13 Februari 2013 lalu, aku memberinya judul ‘The Damn Things’. Setelah aku tulis dan kemudian aku hapus, aku merasa sangat lega. Ada kewajiban pembelaan diri yang telah aku lakukan, aku telah melakukan bagianku dan biarkan Allah yang menyelesaikan sisanya.
Pada tanggal 24 Februari 2013, aku ingat sekali di malam itu, malam sebelum keberangkatanku kembali ke Jakarta. Aku sedang mengeringkan rambutku dengan sebuah handuk kecil sambil berlalu di depan ibuku. Dan sontak saja aku kaget, ibuku mengatakan dengan lantang sambil menunjukkan jarinya tepat di hadapanku. “Derry, ingat ya! Sampai di Jakarta, jangan dipotong lagi rambutnya!” *gubrak* Baru saja aku berencana akan memotongnya lagi setibanya di Jakarta. Kalau mau mengutip omongan abang-abang ganteng di luar sana, “Udah gondrong nih, pangkas ah.” Hihi. Tapi ya sudahlah, surga kan dibawah telapak kaki ibu. Turutin aja dan stay kalem. (^_^)
 Kembali ke malam keberangkatanku, aku mendadak insomnia rasanya. Kekuatan yang selama ini aku bangun mulai runtuh perlahan atau lebih tepatnya runtuh seketika. Tak ingin pergi lagi, benar-benar ingin tetap dan terus berada di rumah. Namun, Allah mengisyaratkan hal lain. Aku harus kuat karna Allah yang menguatkanku. Saat adzan shubuh menggema, aku telah bangun dan terdapat satu pesan singkat di handphoneku. Kami memang tidak berkomunikasi, karena aku benar-benar berusaha ingin menjaga berbagai interaksi yang memang tak selayaknya terjadi. Dia mengatakan :
“Bawel, ingat besok harus mulai dengan hari-hari yang baru. Yang lebih baik lagi. Tak ada ngeluh-ngeluh lagi. Tak akan dapetin jalan keluar kalo masih sering masalahin itu terus. Inilah waktunya untuk mulai dengan awal yang baik. Jaga diri baik-baik ya.”

Ada suntikan semangat dalam pesan ini. Cukup menjadi bekal perjalananku pulang. Ditambah lagi dengan keluargaku yang mengatakan, “Bentar lagi pulang ke pinang lagi kok, Juli kakak udah libur lagi kan?” Aku benar-benar menyayangi mereka dan mereka harus tau itu semua.
Baiklah, seperti biasa akan aku tutup tulisan kali ini dengan untaian doa. Semoga dapat menjadi kekuatan yang mampu menghidupkan hati-hati yang sedang kering dan tandus.
Ya Allah ya Rabb, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati kami ingin sekali berkumpul untuk mencurahkan segala asa yang di deritanya. Jadikan hati kami hidup kembali dalam kasih sayang-Mu. Penuhilah ia dengan cahaya-Mu yang tak akan pernah redup. Teguhkan janji setia kami untuk terus menikmati keindahan tawakal di atas jalan lurusmu. Ya Allah yang Maha Indah, indahkan segala pilihan kami untuk terus istiqomah dalam keimanan ini. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah bagi baginda kami Rasulullah SAW. Amin amin ya Rabbal ‘alamin.

No comments:

Post a Comment