Tuesday, December 23, 2014

Aku yang Mencuri Pandang kepada-Mu

Memperhatikan (al-lahz) dapat dimaknai melihat secara sepintas lalu, memandang dengan cara mencuri-curi, sehingga yang dipandang tidak merasa bahwa dia sedang dipandang. Mencuri-curi pandang ini memiliki tiga sebab, pengagungan dan keagungan yang dipandang sehingga yang memandang mencuri-curi pandangan ke arahnya serta tidak memandang dengan pandangan yang tajam sebagai sikap pengagungan kepadanya. Hal ini seperti yang dilakukan para sahabat terhadap Nabi SAW. Mereka tidak pernah memandang dengan pandangan yang tajamterhadap beliau sebagai penghormatan dan pengagungan terhadap beliau. Ada sebab lain yang membuat orang yang memandang tidak berani memandang secara langsung kepada yang dipandang, yaitu takut terhadap pengaruh yang dipandang. Hal ini disebabkan oleh cinta, rasa malu, atau merasa lemah untuk memandang secara langsung. Inilah sebab umum dalam masalah ini. 
   Begitulah keadaan umum orang yang memperhatikan rububiyah Allah SWT dengan hatinya, kesempurnaan Allah SWT kesempurnaan sifat-sifat-Nya, kemurahan, kebaikan, serta karunia-Nya, maka hatinya akan mencuri pandang kepada Allah SWT dan ia mempunyai ubudiyah (peribadatan) secara khusus.
     Memperhatikan terbagi menjadi tiga derajat, antara lain memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula sehingga meninggalkan sikap meminta-minta dengan menampakkan kerendahan diri sesuai dengan hak rububiyah. Memperhatikan bisa dengan mata dan bisa dengan hati, tapi yang dimaksudkan adalah yang kedua, yaitu memperhatikan dengan hati. Jadi, yang dimaksud dengan memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula ialah memperhatikan pemberian Allah SWT yang sudah ditetapkan dalam takdir sebelum dikeluarkan ke dunia, sebagaimana firman-Nya:
Sungguh, sejak dahulu bagi orang-orang
yang telah ada (ketetapan) yang baik dari Kami,
mereka itu akan dijauhkan (dari neraka)
(QS Al-Anbiya, 21:101)
Dan sungguh, janji Kami telah tetap
bagi hamba-hamba Kami yang menjadi Rasul,
(yaitu) mereka itu pasti akan mendapat pertolongan.
Dan sesungguhnya bala tentara Kami itulah yang pasti menang.
(QS As-Saffat, 37: 171-173)
     Masalah ini dapat dimaknai bahwa jika hamba melihat ketetapan yang telah ditakdirkan Allah SWT sejak semula, yang berarti ketetapan itu pasti akan sampai kepadanya, maka hatinya menjadi tenang, jiwanya menjadi tentram, dan dia tahu bahwa musibah yang menimpa dirinya bukan suatu kesalahan takdir dan jika musibah tidak menimpanya maka memang bukan takdirnya. Jika dia meyakini hal ini, dia akan merasakan manisnya iman kepada qadha dan qadar, lalu dia tidak akan menuntut kepada Allah SWT. Sebab, apa yang sudah ditetapkan di dalam qadar pasti akan sampai kepadanya.
(Ditulis ulang dari karya Ibnu’l Qayyim al-Jauziyyah)


No comments:

Post a Comment