“Terkadang kita harus jadi tuli atas
omongan yang tak berguna.
Jadi buta atas hal-hal yang tak
penting.
Dan jadi bisu kepada telinga yang tak
berlubang.”
11:41 pm dan seperti biasa aku masih terjaga
dalam kondisi sebenar-benarnya sadar. Scroll
twitter dan menemukan tweetyang satu
itu. Inspirasi malam yang berhasil mengukir sunggingan penuh arti di depan
layar monitor. Baiklah, aku harus memulainya darimana? Mungkin dari luapan rasa
kesal tentang hari ini, meski hanya dipengaruhi oleh hormon-hormon tak stabil dari
periode bulananku. Tak banyak yang paham dengan itu semua kecuali para
perempuan, bahkan aku tak yakin bahwa para pakar fisiologi manusia yang berjenis
kelamin laki-laki mampu memahaminya, tak akan pernah. Kenapa? Karena kita tak akan pernah tahu rasanya tenggelam sebelum kita
benar-benar menceburkan diri ke dalam lautan. Tapi baiklah, lupakan dan
abaikan.
Aku
memang agak kesal hari ini, jauh sebelum ini aku sudah sangat ingin
menuliskannya, menuliskan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sama dan
terus ditanyakan padaku. “Siapa laki-laki yang dimaksud
dalam tulisan lamaran di atas pusara?” atau “Aku
tahu dia siapa, apakah kau masih mengharapkannya?”
Lucu memang, bahkan sangat menggelikan. Aku harus menjelaskannya dengan cara apa? Ada tiga ‘percikan’ dalam bukuku, yang pertama datang dari seseorang yang telah berhasil menghanguskanku hingga ke sumsum tulang, kedua berasal dari rasa tanggungjawabku akan janjiku pada almarhum Ayahnya dan ketiga, partdelapan pada judul paling pertama, ‘Bukankah kita berdua itu Layaknya Ilmu Filsafat?’.Aku hanya menyebutnya dengan sebutan percikan, tak kurang, tak lebih. Ayolah, kita semua tahu bahwa rasa yang sebenarnya tak akan pernah diungkapkan secara gamblang selain dalam tiap doa dan sujud pada-Nya. Aku ingin dia bukanlah percikan yang akan menghanguskanku lagi. Aku ingin dia yang menjadi sumber mata airku. Pahamilah, sedikit saja.
Lucu memang, bahkan sangat menggelikan. Aku harus menjelaskannya dengan cara apa? Ada tiga ‘percikan’ dalam bukuku, yang pertama datang dari seseorang yang telah berhasil menghanguskanku hingga ke sumsum tulang, kedua berasal dari rasa tanggungjawabku akan janjiku pada almarhum Ayahnya dan ketiga, partdelapan pada judul paling pertama, ‘Bukankah kita berdua itu Layaknya Ilmu Filsafat?’.Aku hanya menyebutnya dengan sebutan percikan, tak kurang, tak lebih. Ayolah, kita semua tahu bahwa rasa yang sebenarnya tak akan pernah diungkapkan secara gamblang selain dalam tiap doa dan sujud pada-Nya. Aku ingin dia bukanlah percikan yang akan menghanguskanku lagi. Aku ingin dia yang menjadi sumber mata airku. Pahamilah, sedikit saja.
Sepulangnya
aku dari penelitianku di Bogor, aku menuliskan sebuah tweetyang berbunyi ‘Tugas saya adalah
menulis tentang kamu dan tugas kamu adalah membaca tulisan saya tentang kamu.
Namun karena Tuhan selalu menjadi saksi, maka tentang kamu tidak jadi saya
tuliskan’.Namun, tak lama berselang terdapat sebuah mention kepadaku dari seorang temanku @radityarifo dengan perkataan ‘Cih masih
galau aja men, yg digalauin aja udah bahagia’. Dan tahukah kalian? Hal
paling pertama yang aku lakukan adalah tertawa terbahak-bahak, sangat jauh dari
etika moral menutup mulut apalagi menurunkan volume suara. Rasanya aku langsung
ingin membungkam mulut temanku ini dengan ratusan mencit yang menggerogoti
tenggorokannya. Kali ini ingin aku katakan, tweetitu
sama sekali tidak berhubungan dengan dia yang berada bersamaku di makam itu,
sama sekali tidak. Lalu sadarkah kalian? Aku sudah menghapus tulisan tersebut
dari laman blogku ini, meski aku tak dapat mencegahnya dipublikasi melalui buku
karena sudah terlanjur naik cetak.Masa lalu biarkan
tetap menjadi masa lalu, mungkin itu dulunya memang milik kami, namun masa
depan? Itu milikku, murni milikku seorang. Tenang saja, tak ada harapan
berarti, sedikitpun tidak, dia tetap sosok hebat yang menyemangatiku saat aku
terpuruk, dan kini dia sudah menemukan orang lain yang mampu mengembangkan
senyum di kedua pipinya, syukurlah, beban janjiku pada almarhum Ayahnya
berakhir sudah. Sangat melegakan. Seriuosly.
Kemudian
pertanyaan selanjutnya adalah, “Mengapa tulisan itu
harus dihapus?” Secara singkat, aku akan menjawab, “Dia yang memintanya.”Meskipun temanku Pandu Wijaya
Saputra mengatakan bahwa terkadang kita harus jadi tuli atas omongan yang tak
berguna, jadi buta atas hal-hal yang tak penting dan jadi bisu kepada telinga
yang tak berlubang.Aku tetap saja melakukannya, menghapus tulisanku sendiri,
tindakan bodoh yang aku sadari di kemudian hari. Namun tak mengapa, aku akan
belajar untuk menghadapi hal semacam ini kedepannya. Hanya saja aku rasa, apa
bedanya jika aku telah menghapus tulisan itu? Toh cuplikan kenyataan yang telah
terjadi tak akan pernah mampu dihapus. Namun tenang saja, bualan janji seorang anak kecil akan selalu dimaklumi dengan
pemikiran orang dewasa. Tak ada yang perlu diwujudkan. Karena aku tak pernah
sekalipun memintamu untuk tetap tinggal, maka jangan pernah meminta maaf jika
ingin pergi. Itu sangat menggelikan.
Kini mari kembali ke tweet temanku itu. Hampir keseluruhan
yang ia katakan benar adanya. Kita tak akan pernah maju jika terus memikirkan
pendapat orang lain apalagi memerhatikan hal-hal yang tak penting. Namun aku mohon,
jangan pernah menjadikan hati kita mati atas apapun
juga, sekalipun pada hati lain yang sama sekali tak pernah memedulikan kita. Karena
kadang, kita tak pernah tahu bahwa bisa jadi, keberhasilan kita hari ini adalah
salah satu doa dari orang-orang yang kita anggap musuh selama ini. Cintai
mereka, apapun keadaan mereka. Berhenti membenci siapapun. Karena kita tak
pernah akan menjadi sesempurna itu untuk merangkul seluruh kebaikan dalam diri
kita. Ayolah, kita tak sebaik itu hingga layak membenci orang lain.
“When I understand my enemy well
enough to defeat him,
then in that moment, I also love him.”
(A.E Wiggin dalam Enders Game)
Sampai
disini sudahkah kalian paham maksudku? Pada akhirnya, aku hanya ingin
mengatakan bahwa Tuhan telah dan selalu akan berlaku
terlalu baik pada kita. Semua keburukan berkumpul pada kita, namun kita
pribadi masih saja menyalahkan-Nya, membangkang pada-Nya atau menumpahkan rasa
kecewa pada-Nya. Padahal, sesuatu yang harus kita
perangi bukanlah takdir-Nya, melainkan nafsu diri kita sendiri. Nafsu
yang berasal dari jiwa yang tak pernah mampu secara totalitas berdamai dengan
keputusan Tuhannya. Ayolah, kita tak memiliki pilihan lain selain berdamai
dengan keputusan-Nya. Nikmati saja perlahan meski dalam tangis. Itu jauh lebih
baik ketimbang ratapan duka dalam tangis putus asa akan keputusan-Nya.
Dan
sebagai penutup, ingin aku bisikkan pada kalian semua, “Tiadakan
saja dirimu, maka kau akan kekal. Pahamilah.”
JRENG JRENG!!
ReplyDeleteLuar biasa sista satu ini. Perasaan cuma ngetwit begitu doang, jadinya kok dalem begini yak -____-
Ketika seseorang mengikutsertakan hatinya dalam proses berkarya, maka karyanya akan memiliki ruhnya sendiri. ya ini contohnya.
Awesome post yi (y)
Segala puji buat Dia yang ngasih inspirasi, barakallah brother ^_^
Delete