Tulisan ini buat kamu yang masih susah banget
buat move on. Tapi jangan berpikir bahwa penulis melakukan hal yang sama,
karena penulis sudah berhasil move on, sepertinya, hehe.
Kemarin, 5 April 2014,
gak sengaja ngebaca salah satu status teman di laman facebook, disana ia
katakan beberapa kiat untuk mengobati kegalauan bagi kalian yang masih gagal
dalam proses move on. Dari sekian poin yang ia sampaikan, hanya satu poin yang
berhasil membuat penulis ngakak tanpa suara. Haha. Mau tahu apa yang ia
sebutkan?
Seringlah mengintip akun mantan di
media sosial agar tahu bahwa Anda memang tak pernah berarti.
(Naufaldi Rafif Satriya)
Bagaimana?
Sudah pernah menjadi pemeran utama dalam stalking TL
mantan dan berakhir dengan napas panjang penyesalan dan kekesalan? Well,
selamat menikmati ya guys, wkwk. Menurut hemat penulis, stalking TL mantan itu
termasuk perbuatan paling menghabiskan waktu, jauh lebih sia-sia ketimbang menunggu
bus trans Jakarta di stasiun kereta, seriously. Sebenarnya tidak ada masalah
yang terlalu fundamental mengenai stalking men-stalking, hanya saja pertanyaan
sederhananya, “Untuk apa terus dilakukan?” Ada
beberapa orang yang mengatakan bahwa itu semacam candu, ada kepuasan pribadi
jika saat membaca ternyata sang mantan sedang terlibat konflik dengan pacar
barunya atau malah sudah memproklamasikan diri bahwa hubungan mereka telah
berakhir. Namun di sisi lain, malah banyak yang patah hati dan gigit jari
karena sang mantan malah terlihat sangat bahagia dengan kekasih barunya. Nah
ini dia, sudah tahu hasilnya masih absurd, niatnya mau move on eh malah makin
terpuruk. Haha. Ayolah sadar tentang hal sederhana ini,
Anda memang tak pernah berarti atau paling tidak, Anda tak seberarti bualan
manisnya selama ini, hehe.
Beda
Naufaldi, beda lagi dengan gadis satu ini. Dia menulis status yang lebih
elegan, tidak terlalu frontal namun maknanya? Tentu jauh lebih dahsyat. Ia
katakan disana,
Kamu adalah apa yang selalu aku
tulis, tapi aku? Aku adalah apa yang tak pernah kamu baca.
(Dina Nofirna Anatra)
Hmm, rada speechless saat membaca status
tersebut. Namun, berhubung penulis selalu memiliki sudut pandang yang berbeda
dalam satu hal. Mungkin ada baiknya kita semua membahas dari sudut pandang yang
pertama. Jika tulisan ini dimaksudkan pada seseorang yang berarti untuk kita
namun sebaliknya, diri kita ini tak lebih dari butiran debu atau sekadar
kepulan asap. Maka, penulis ingin mengucapkan belasungkawa yang
sebesar-besarnya. Bagaimana tidak? Kita itu terlalu
berharga untuk mengharapkan sosok makhluk yang bahkan belum tentu tahu siapa
nama kita, belum tentu peduli dengan kesakitan dan harapan kita bahkan belum
tentu hadir di hari pemakaman kita. Lantas pertanyaannya, “Masihkah dengan rela
hati menuliskan namanya? Padahal nyata-nyata ia enggan membacanya barang
sekata.”
Sudut
pandang kedua, penulis sendiri adalah tokoh sentral yang senantiasa menuliskan
sosok tertentu dalam tiap tulisannya, tak peduli mereka akan membacanya atau
tidak. Meski kadang, penulis memiliki harapan khusus bahwa orang-orang tertentu
membacanya dengan seksama dan mampu mereguk pemahaman hakiki. Hingga tiba masa
dimana seseorang berkata, “Aku tahu dan aku paham. Mari
kita selesaikan tulisan ini, bersamaku tentunya, dalam keabadian.” Hanya
saja, bagi penulis, abadi itu sekadar harapan. Sirna itu suatu kecemasan tapi
penerimaan itu pilihan. Meski di lain waktu dia malah mengatakan, abadi itu
sirna, harapan itu kecemasan dan menerima yang terpilih. Namun tetap saja, pada
akhirnya, segala pesimisme akan penulis gantikan dengan optimisme. Akan aku
katakan padanya, sirnakan keabadian hingga kecemasan
menjadi harapan dan yang dipilih mau menerima. Tapi sudahlah, bukankah ‘kita’
adalah kata yang enggan kau tuliskan?Dan terkadang aku masih menanti jawaban
dari pertanyaan sarkas ini.
Terakhir,
sudut pandang ketiga, jika aku selalu menulis tentang Tuhan dalam setiap denyut
karyaku, maka jika ini semua adalah untuk-Nya. Sungguh, aku tak peduli meski
Dia tak pernah membacanya sedikitpun. Aku ini hanya seorang hamba, budak belian
yang takkan pernah merdeka dari jerat kerajaan Tuhannya. Apapun tugas yang aku
lakukan, tak ada hak sama sekali bagiku untuk memaksa-Nya melihat apalagi
menilai itu semua. Karunia-Nya saja yang menjamin keberhidupanku sudah lebih
dari cukup. Betapa lancangnya jika aku meminta-Nya untuk melihatku yang tak
lebih dari daging busuk berbalut cadar penutup aib yang bahkan itu sendiri
adalah bentuk belas kasihan-Nya padaku. Aku kadang bertanya, “Engkau dimana duhai Rabbi? Belum cukupkah semua sedu sedan
ini? Semua tulisan yang mengharu biru yang aku persembahkan hanya untuk-Mu?”
Namun, aku teringat dengan perkataan Husein, cucu Nabi, “Kapan kiranya Engkau hilang sirna sehingga Engkau memerlukan sesuatu
untuk menunjukkan-Mu? Butalah mata hati orang yang tak melihat-Mu dalam keadaan
selalu mengawasinya! Dan merugilah kegiatan hamba yang tidak diiringi dengan
kecintaan kepada-Mu!”
Kini
aku tahu dan paham benar, bukan Engkau yang terhijab sehingga tak mampu terlihat.
Namun akulah yang terhijab dari-Mu karena kealpaanku, kelalaianku, kotornya
jiwaku sehingga menjadi tak layak melihat-Mu, memandang matahari saja aku tak
sanggup, apalagi menatap-Mu duhai Yang Menciptakan matahari. Tulisan ini akan
aku akhiri dengan sebait harapan dalam dekapan kecemasan.
Duhai Rabbi, aku bertekuk lutut di bawah
kendali-Mu.
Lakukan semau-Mu dan sesuka hati-Mu.Cukup
relakan aku dengan keputusan-Mu.
Puaskan aku dengan pembagian-Mu.Dan tundukkan
aku dengan takdir-Mu.
Like this kk.. ngena bgttttttttt... :)
ReplyDeletesyukurlah ^_^
Delete