Sunday, April 6, 2014

Kita adalah Kata yang Enggan Kau Tuliskan



Tulisan ini buat kamu yang masih susah banget buat move on. Tapi jangan berpikir bahwa penulis melakukan hal yang sama, karena penulis sudah berhasil move on, sepertinya, hehe.
Kemarin, 5 April 2014, gak sengaja ngebaca salah satu status teman di laman facebook, disana ia katakan beberapa kiat untuk mengobati kegalauan bagi kalian yang masih gagal dalam proses move on. Dari sekian poin yang ia sampaikan, hanya satu poin yang berhasil membuat penulis ngakak tanpa suara. Haha. Mau tahu apa yang ia sebutkan?
Seringlah mengintip akun mantan di media sosial agar tahu bahwa Anda memang tak pernah berarti.
(Naufaldi Rafif Satriya)
                Bagaimana? Sudah pernah menjadi pemeran utama dalam stalking TL mantan dan berakhir dengan napas panjang penyesalan dan kekesalan? Well, selamat menikmati ya guys, wkwk. Menurut hemat penulis, stalking TL mantan itu termasuk perbuatan paling menghabiskan waktu, jauh lebih sia-sia ketimbang menunggu bus trans Jakarta di stasiun kereta, seriously. Sebenarnya tidak ada masalah yang terlalu fundamental mengenai stalking men-stalking, hanya saja pertanyaan sederhananya, “Untuk apa terus dilakukan?” Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa itu semacam candu, ada kepuasan pribadi jika saat membaca ternyata sang mantan sedang terlibat konflik dengan pacar barunya atau malah sudah memproklamasikan diri bahwa hubungan mereka telah berakhir. Namun di sisi lain, malah banyak yang patah hati dan gigit jari karena sang mantan malah terlihat sangat bahagia dengan kekasih barunya. Nah ini dia, sudah tahu hasilnya masih absurd, niatnya mau move on eh malah makin terpuruk. Haha. Ayolah sadar tentang hal sederhana ini, Anda memang tak pernah berarti atau paling tidak, Anda tak seberarti bualan manisnya selama ini, hehe.
                Beda Naufaldi, beda lagi dengan gadis satu ini. Dia menulis status yang lebih elegan, tidak terlalu frontal namun maknanya? Tentu jauh lebih dahsyat. Ia katakan disana,
Kamu adalah apa yang selalu aku tulis, tapi aku? Aku adalah apa yang tak pernah kamu baca.
(Dina Nofirna Anatra)

Hmm, rada speechless saat membaca status tersebut. Namun, berhubung penulis selalu memiliki sudut pandang yang berbeda dalam satu hal. Mungkin ada baiknya kita semua membahas dari sudut pandang yang pertama. Jika tulisan ini dimaksudkan pada seseorang yang berarti untuk kita namun sebaliknya, diri kita ini tak lebih dari butiran debu atau sekadar kepulan asap. Maka, penulis ingin mengucapkan belasungkawa yang sebesar-besarnya. Bagaimana tidak? Kita itu terlalu berharga untuk mengharapkan sosok makhluk yang bahkan belum tentu tahu siapa nama kita, belum tentu peduli dengan kesakitan dan harapan kita bahkan belum tentu hadir di hari pemakaman kita. Lantas pertanyaannya, “Masihkah dengan rela hati menuliskan namanya? Padahal nyata-nyata ia enggan membacanya barang sekata.”
                Sudut pandang kedua, penulis sendiri adalah tokoh sentral yang senantiasa menuliskan sosok tertentu dalam tiap tulisannya, tak peduli mereka akan membacanya atau tidak. Meski kadang, penulis memiliki harapan khusus bahwa orang-orang tertentu membacanya dengan seksama dan mampu mereguk pemahaman hakiki. Hingga tiba masa dimana seseorang berkata, “Aku tahu dan aku paham. Mari kita selesaikan tulisan ini, bersamaku tentunya, dalam keabadian.” Hanya saja, bagi penulis, abadi itu sekadar harapan. Sirna itu suatu kecemasan tapi penerimaan itu pilihan. Meski di lain waktu dia malah mengatakan, abadi itu sirna, harapan itu kecemasan dan menerima yang terpilih. Namun tetap saja, pada akhirnya, segala pesimisme akan penulis gantikan dengan optimisme. Akan aku katakan padanya, sirnakan keabadian hingga kecemasan menjadi harapan dan yang dipilih mau menerima. Tapi sudahlah, bukankah ‘kita’ adalah kata yang enggan kau tuliskan?Dan terkadang aku masih menanti jawaban dari pertanyaan sarkas ini.
                Terakhir, sudut pandang ketiga, jika aku selalu menulis tentang Tuhan dalam setiap denyut karyaku, maka jika ini semua adalah untuk-Nya. Sungguh, aku tak peduli meski Dia tak pernah membacanya sedikitpun. Aku ini hanya seorang hamba, budak belian yang takkan pernah merdeka dari jerat kerajaan Tuhannya. Apapun tugas yang aku lakukan, tak ada hak sama sekali bagiku untuk memaksa-Nya melihat apalagi menilai itu semua. Karunia-Nya saja yang menjamin keberhidupanku sudah lebih dari cukup. Betapa lancangnya jika aku meminta-Nya untuk melihatku yang tak lebih dari daging busuk berbalut cadar penutup aib yang bahkan itu sendiri adalah bentuk belas kasihan-Nya padaku. Aku kadang bertanya, “Engkau dimana duhai Rabbi? Belum cukupkah semua sedu sedan ini? Semua tulisan yang mengharu biru yang aku persembahkan hanya untuk-Mu?” Namun, aku teringat dengan perkataan Husein, cucu Nabi, “Kapan kiranya Engkau hilang sirna sehingga Engkau memerlukan sesuatu untuk menunjukkan-Mu? Butalah mata hati orang yang tak melihat-Mu dalam keadaan selalu mengawasinya! Dan merugilah kegiatan hamba yang tidak diiringi dengan kecintaan kepada-Mu!”
                Kini aku tahu dan paham benar, bukan Engkau yang terhijab sehingga tak mampu terlihat. Namun akulah yang terhijab dari-Mu karena kealpaanku, kelalaianku, kotornya jiwaku sehingga menjadi tak layak melihat-Mu, memandang matahari saja aku tak sanggup, apalagi menatap-Mu duhai Yang Menciptakan matahari. Tulisan ini akan aku akhiri dengan sebait harapan dalam dekapan kecemasan.
Duhai Rabbi, aku bertekuk lutut di bawah kendali-Mu.
Lakukan semau-Mu dan sesuka hati-Mu.Cukup relakan aku dengan keputusan-Mu.
Puaskan aku dengan pembagian-Mu.Dan tundukkan aku dengan takdir-Mu.
Aku pada-Mu duhai Rabbi. Aku pada-Mu.

2 comments: