Monday, February 2, 2015

Karena Sungguh, Aku Bukanlah Maryam!

“Siapa yang tidak mendekat kepada Allah, padahal sudah dihadiahi berbagai kenikmatan, akan diseret (agar mendekat) kepada-Nya dengan rantai cobaan.”
(Ibnu Atha’illah Al-Iskandari)
Satu kalimat yang merupakan aporisme dalam kitab Al-Hikam, salah satu kitab terbaik yang pernah aku miliki. Pengobat terhadap kecanduan akan makhluk, sumber khazanah spiritual bagi para pencari Tuhan. Dan itulah dia, sebuah karya yang layak dituliskan dengan tinta emas, bait hikmah yang disampaikan oleh Ibnu Atha’illah Al-Iskandari, seorang sufi legendaris dari Kairo, Mesir, yang hidup pada abad ke-13 M.
Beliau menyadarkan kita tentang kenikmatan yang selama ini kita dustakan, kenikmatan akan hidup dan berkehidupan di sebuah lingkungan yang aman lagi nyaman, kenikmatan beribadah tanpa gangguan layaknya zaman awal Islam dahulu, kenikmatan akan sehat, kenikmatan usia, kenikmatan memiliki keluarga dan orang-orang yang menyayangi kita hingga kenikmatan akan segala hal duniawi yang sering kali menggelincirkan kita pada kemungkaran dan kesesatan.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(Surah Ar-Rahman)
Namun sepertinya kenikmatan itu malah menggelincirkan kita lebih dalam hingga semakin jauh dari hakikat diri-Nya. Aku pernah membaca sebuah status di laman sosial media seseorang, ia mengumpamakan kenikmatan dan pendustaan kenikmatan ini dengan seorang pekerja yang sedang bekerja di lantai paling bawah dari suatu gedung, dengan seluruh alat yang memekakkan telinga. Kemudian atasan pekerja tersebut memanggilnya dari lantai bagian atas gedung itu, ia berteriak sekencang-kencangnya untuk memanggil pekerjanya, namun tak seorangpun yang melihat ke atas. Akhirnya ia melemparkan uang pecahan seratus ribuan dengan harapan bahwa pekerjanya akan serta merta melihat ke arah atas dan dapat melihat dirinya. Namun atasan tersebut menjadi kesal karena pekerjanya hanya mengambil uang itu sambil bergoyang-goyang kesenangan tanpa sedetikpun melihat ke arah atas. Dengan hati kesal, atasan tersebut melemparkan secara kasar sebuah pulpen hingga tepat mengenai kepala sang pekerja, pekerja itupun langsung kesakitan dan dengan refleks melihat ke arah atas dan mendapati atasannya itulah yang melemparinya.
Sudahkah kita mampu mencerap makna dibalik kejadian ini? Karena itulah kita sesungguhnya, saat diberi kelimpahan nikmat, kita hanya menikmatinya seorang diri tanpa memikirkan tentang Zat yang memberikan seluruh kenikmatan itu. Namun, saat kita mengalami keterpurukan, kita memohon pada-Nya dengan hati gerimis penuh rasa takut dan harap. Masya Allah, tidakkah kita menyadarinya? Apakah Dia benar-benar harus menarik kita dengan rantai cobaan terlebih dahulu baru kita mendekatkan diri pada-Nya? Karena sungguh, jika seorang atasan mampu membuat kesakitan bawahannya meski hanya dengan sebuah pulpen, maka kesakitan seperti apa yang mampu Allah berikan pada kita? Innalillahi, semoga kita didekatkan pada-Nya dengan cara terbaik kemudian dilanggengkan dalam kebaikan.
“Dan apabila mereka digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih.”
(Surah Luqman ayat 32)

Namun, jangan pernah kita berpikir bahwa rantai cobaan itu adalah bentuk penghinaan Allah Ta’ala bagi kita makhluk-Nya, sedangkan segala kenikmatan merupakan bentuk kemuliaan bagi diri kita. Sungguh tidak demikian, karena dalam suatu hadis disebutkan,
“Jika Allah mencintai seorang hamba, maka diberinya ujian. Bila bersabar, hamba itu dijadikan pilihan-Nya. Dan bila rida, hamba ini dijadikan kekasih-Nya.”

Bukankah semakin tinggi sebuah pohon maka semakin dahsyat pula kekuatan angin yang akan menerpanya? Bukankah cobaan terbesar diberikan oleh Allah bagi para Nabi dan Rasul, wali Allah hingga mencapai diri kita sendiri dengan level cobaan yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan mereka? Itulah Dia, Allah, yang masih berbaik hati menarik kita mendekat pada-Nya meski dengan kesakitan. Maka syukuri itu semua secara keseluruhan, beruntunglah bagi orang-orang yang masih senantiasa diingatkan untuk mendekatkan diri pada-Nya, karena bisa jadi Allah membiarkan kita terlena dalam kenikmatan dunia beserta seluruh kemungkarannya, layaknya seorang Ibu yang telah berdiam diri dan membiarkan anaknya tanpa memedulikan ia sedikitpun, apakah hal itu sama dengan Ibu yang tetap mengingatkan anaknya untuk bertaubat? Sungguh, hukuman berupa caci maki demi kebaikan kita, jauh lebih baik dibandingkan hukuman pembiaran diri kita bersama keinginan akan dunia dan hasrat untuk senantiasa berbuat kemungkaran. Lagipula ini bukan tentang segala kepedihan dan kesakitan yang kita rasakan, ini tentang hikmah yang terdapat dibalik seluruh kejadian itu.
“Dia memberimu kelapangan agar kau tidak terus berada dalam kesempitan. Dia memberimu kesempitan agar kau tidak terus berada dalam kelapangan. Dia mengeluarkanmu dari dua kondisi itu agar kau tidak bergantung kepada selain-Nya. Yang membuatmu kecewa ketika tidak diberi adalah karena engkau tidak memahami hikmah Allah di dalamnya. Boleh jadi Allah memberimu manfaat pada saat malam kesempitan,
yang tidak kau dapatkan pada siang kelapangan. “Kalian tidak mengetahui mana yang lebih bermanfaat bagi kalian.” (QS. An-Nisa’ ayat 11)”
(Ibnu Atha’illah Al-Iskandari)
Sepertinya semua orang akan diuji dengan sesuatu yang sangat dicintainya, dengan sesuatu yang selalu ia bicarakan, dengan sesuatu yang menduduki peringkat paripurna dalam hatinya. Nabi Ibrahim ‘alaihi salam sangat mencintai putranya Nabi Ismail ‘alaihi salam, kemudian ia diuji dengan perintah penyembelihan putranya itu, begitu pula Nabi Yakub ‘alaihi salam yang harus berpisah bertahun-tahun dengan putra kesayangannya Nabi Yusuf ‘alaihi salam. Kemudian ada Maryam, yang sangat menjaga kehormatannya dan diuji dengan kelahiran Nabi Isa ‘alaihi salam dari rahimnya. Atau baginda kita, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, yang sangat menjunjung kejujuran hingga diberi gelar Al-Amin, malah diuji dengan turunnya wahyu hingga ia disebut pendusta, penyihir bahkan orang gila.
Jika kita berkaca pada mereka, maka sungguh, perhatikanlah tentang apa-apa yang sangat kita cintai. Tentang segala sesuatu yang mendominasi di kehidupan kita. Kemudian aku berkaca pada diriku sendiri, aku pernah melampaui batas dalam kecintaan pada makhluk, dan Dialah Allah yang menarikku dengan segala rantai cobaan, tapi tetap saja, aku mensyukuri semua itu sekarang, bukankah ini tentang hikmah di balik semua kejadian? Setelah Allah bermurah hati menarikku mendekat pada-Nya, lalu aku memohon agar Dia mencukupkan diriku dengan-Nya saja, maka rantai cobaan itupun kembali melilitku dan menarikku semakin dekat kepada-Nya, menjadikanku benar-benar menggantungkan harapan satu-satunya hanya pada-Nya. Bukankah kata kematian telah menyebar hampir di seluruh sendi tulisan ini? Dan itulah ujian yang juga Allah berikan padaku, ketika musibah itu hadir dan menimpa orang terdekat, itulah saat dimana aku harus mempraktekkan seluruh teori selama ini dalam wujud nyata, laa tahzan innallaha ma’ana.
Aku menjadi teringat pada sebuah buku yang pernah aku baca, sebuah buku dengan genre tasawuf, di dalamnya dikatakan bahwa :
“Aku sanggup mengabulkan permintaanmu,
tetapi ratapan kesedihanmu lebih aku sukai.”
(Jalaluddin Rumi)
Andai saja hal itu yang dikatakan oleh Allah Ta’ala padaku, maka aku berjanji akan meratap dalam kesedihan penuh harap pada-Nya. Ada benarnya perumpamaan yang mengatakan bahwa apabila seorang pengamen dengan suara yang memekakkan telinga bernyanyi di hadapan kita, mungkin kita akan langsung mengeluarkan uang recehan agar ia segera berlalu. Namun, saat ada seorang pengamen dengan suara merdunya, yang menyanyikan lagu-lagu yang sangat kita sukai, mungkin kita akan membiarkan ia terus bernyanyi hingga memintanya untuk menambah nyanyiannya dengan beberapa lagu lainnya, kemudian kita akan memberikan ia pecahan uang yang tentu jauh lebih besar dibandingkan kepada pengamen sebelumnya. Itu pulalah Allah, mungkin Dia menyukai permohonan penuh harap dalam tiap munajat kita, dalam tiap sujud kita, maka bersabarlah, bersabarlah akan ganjaran terbaik dari-Nya di dunia kemudian penyempurnaan karunia tersebut di akhirat kelak, insya Allah aamiin.
Belakangan ini, atau lebih tepatnya dari awal penulisan seluruh tulisanku ini, aku senantiasa menyebutkan tentang pembebasan diri dari para makhluk. Tujuan paling utama hingga aku mampu meneriakkan secara lantang sebuah kalimat yang sama dengan judulku ini, tentang kemerdekaan, ya kemerdekaan. Namun, kini aku seolah terjebak untuk mendefinisikan arti kemerdekaan itu sendiri, karena mendadak pertahanan ini terlalu rapuh saat kehadiran seorang makhluk menyeruak dalam sebagian ekspektasi yang aku bangun. Aku katakan pada diriku, “Lihatlah, kau belum cukup kuat untuk bertahan tapi kau malah keluar dari benteng pertahananmu, nikmati kerapuhanmu itu atau kembalilah bertahan kemudian kokohkan lagi pertahananmu itu!” atau di lain waktu aku mengatakan, “Jika kau masih terlalu fragile, jangan coba-coba sedetikpun untuk keluar dari benteng pertahananmu, bagaimana rasanya? Sakit? Maka pulihkan dirimu sendiri sekarang, aku telah memperingatkanmu jauh sebelum ini!”
Baiklah, seharusnya kita paham benar bahwa merdeka itu adalah saat Allah dan Rasul-Nya menguasai hati kita, bukan saat kita dijajah oleh ekspektasi memuakkan apalagi sesuatu yang kita sebut dengan cinta, padahal mungkin, ia tak lebih dari rasa semuyang dipenuhi nafsu ingin memiliki belaka. Kita mengatakan kemerdekaan cinta pada makhluk, padahal takkan ada seorangpun yang tidak menjadi hamba pada sesuatu yang dicintainya. Merdeka itu saat kita berusaha mengesampingkan dunia yang sesaat demi akhirat yang berkekalan. Merdeka itu saat kita dengan lantang mengatakan tidak kepada hawa nafsu dan godaan setan, karena bagaimana mungkin kita menyatakan bebas dan merdeka padahal kita terkurung dalam hawa nafsu diri sendiri? Karena mungkin, kita mengira hal itu berupa secercah cahaya kilat pertanda turunnya hujan, padahal bisa jadi ianya adalah kilatan api yang akan membakar dan menghanguskan diri kita secara perlahan.
“Tidaklah kau mencintai sesuatu melainkan kau menjadi hamba baginya dan Allah tidak ingin kau menjadi hamba bagi selain-Nya.”
(Ibnu Atha’illah Al-Iskandari)
Jika harus membicarakan tentang ekspektasi lagi dalam tulisan ini, mungkin hari ini aku masih bisa berekspektasi mengenai banyak hal tentang segala sesuatu, studiku nantinya, pekerjaanku, pengabdianku, dan mungkin mengenai pasanganku kelak, seorang pendamping hingga akhir hayat. Jika sedang membicarakan mengenai pasangan hidup, aku akan mengatakan bahwa aku selalu kagum dengan dia, dia yang mampu tampil berbeda, berbeda dari kebanyakan orang. Aku harap, ia yang akan dengan setia mendampingiku meski itu berarti ia harus bersabar dengan segala keterbatasan yang aku miliki.
Aku harap, kita itu akan menjadi segelintir orang yang mampu berteriak secara lantang untuk meyuarakan kebenaran, bersama-sama melakukan pemberontakan bahkan pembangkangan pada ketimpangan umum. Tak peduli mereka mendengarkan atau tidak, paling tidak kita pernah meneriakkan seluruh kalimat yang memekakkan gendang telinga mereka semua. Hingga satu hari, saat kita telah tahu dan paham benar bahwa teriakan kita dan seluruh pemikiran kita harus dibubuhi tanda titik. Itulah saatnya kita mengasingkan diri, berdua, memilih menjauh dari hiruk pikuk kaum mayoritas sambil terus bergerilya di dasar bumi.
Dan itulah aku, meskipun aku mengatakan bahwa aku mendadak menjadi seseorang yang individualis mengenai pasangan hidup nantinya, tetap saja aku masih memiliki ekspektasi tentang hal itu, aku masih sangat ingin merasakan nyawa lain dalam tubuhku nantinya, sembilan bulan bersama detak jantung lain di dalam sini, dalam tubuhku. Aku benar-benar ingin mendengarkan dengungan surah Yusuf setiap harinya dari mulut pasanganku kelak, tepat setelah shalat maghrib selama aku mengandung calon anak kami. Aku bermimpi mampu menjadi ibu terbaik sepanjang masa bagi mereka, mereka akan menjadi penerusku, hingga aku dapat mengatakan, “Selamat panjang umur pada pemberontakan dan pembangkangan!” Karena diriku, tak akan pernah mati, suaraku akan terus menggema, darahku akan terus mengalir dalam aliran darah keturunanku. Masya Allah, apa yang lebih menenangkan selain membayangkan aliran amal jariyah dari anak-anak kita kelak meski kita telah terkubur di perut bumi? Semoga satu hari nanti, meski jasad kita terbujur kaku, namun hati, jiwa, dan ruh kita tetap berada dalam kesatuan menembus langit.
  Hanya saja, sepertinya aku tak akan melakukan suatu usaha secara eksoteris lagi, tak akan ada lagi perempuan yang berusaha untuk mendapatkan pasangan hidup nantinya, biarkan dia, sosok laki-laki yang belum aku ketahui namanya, yang melakukan usaha secara eksoteris itu, aku hanya ingin ditemukan. Ditemukan oleh dia yang sangat spesifik bagiku, bukankah aku telah menyebutkan hampir seluruh persyaratan tentang sosok ini dalam tulisan-tulisanku sebelumnya?Yang harus aku lakukan hanyalah satu hal, memantaskan diriku agar menjadi layak untuk ditemukan oleh dirinya.
Namun, meskipun begitu, dengan berbagai syarat dan ekspektasi tentang dia yang telah aku tulis secara acak, hanya mendamparkanku pada satu titik, yaitu aku terlalu banyak menuntut mengenai seluruh kriteria itu, seolah diriku ini sangat layak untuk diperjuangkan dan ditemukan, padahal aku tak lebih dari seorang perempuan jahiliyah yang sedang bersusah payah berhijrah dengan menggantungkan harapan pada Rabbnya. Tapi aku tak peduli dengan itu semua! Aku juga tak bermasalah jika akhirnya tak ada seorangpun yang berusaha mencariku apalagi berhasil menemukanku. Karena ini semua tak lebih dari sebuah sikap seorang perempuan merdeka, perempuan yang memilih tegas di masa kini agar ia terhindar dari kesabaran panjang di masa yang akan datang, maka akan aku katakan pada diriku sendiri, “Perhatikan seluruh keputusan dirimu Derry Oktriana,Is it worth it?”
Biarkan kini aku menuliskan bagian akhir dari tulisan ini. Aku benar-benar ingin menutupnya dengan selaksa cinta, cinta yang sedang aku persiapkan untuknya, untuknya yang mungkin akan memenuhi hidup dan kehidupanku nantinya. Aku teringat sebuah kalimat yang dikatakan oleh temanku, “Let the future surprising you!”Aku berjanji akan membiarkan hal itu terjadi, just let it be.
Baiklah, jika kita membicarakan cinta, maka cinta adalah tentang jiwa, dan jiwa adalah tentang Sang Pencipta, semoga tabir segera tersingkap, hingga dua jiwa dapat menyatu untuk menggenapi risalah-risalah cinta-Nya. Bukankah tak ada yang lebih indah di dunia selain mencinta dengan cinta karena Zat Yang Mahacinta? Tak perlu kata apalagi dusta, tak butuh sentuhan apalagi belaian, karena tanah telah menjadi saksi doa dalam sujud rindu yang penuh air mata, kemudian malaikat pemikul ‘Arsy mengaminkan doa kita berdua,maka sekali lagi aku tanyakan, apa yang lebih indah selain bersatu dan disatukan oleh kasih-sayang-Nya?
Untuk engkau yang akan menemukanku, kita berdua memang tak akan pernah menjalin hubungan dalam bentuk apapun sebelum bingkai halal berupa akad terucap, mungkin kita berdua tak pernah bertemu muka sekalipun sebelumnya, tak pernah menghabiskan waktu berdua apalagi saling mengucapkan kata cinta. Namun tenang saja, bukankah kita akan bersatu semata-mata karena Allah? Yang mana yang haq dan batil juga karena Allah, kecintaan dan kebencian pada sesuatu juga karena Allah, lantas apalagi yang begitu sulit untuk disatukan? Mimpi kita akan sama dan akan selalu sama selagi Rasul menjadi panutan dan Allah menjadi tujuan, bersabarlah sedikit lagi, semoga Allah meneguhkan hati kita. Namun, jika ternyata orientasi kita tentang dunia saja sudah berbeda, rasanya terlalu membuang-buang waktu untuk memulai bersama kemudian berusaha untuk menyatukannya, bukankah jauh lebih baik jika disatukan dengan dia yang sudah memiliki pondasi dan tujuan yang sama? Ya meskipun selalu ada nilai relatif disana, andaikan ianya memang benar-benar ‘worth it’ untuk diperjuangkan, kenapa tidak? Ini hanyalah tentang perbedaan rasa sakit dalam suatu perjalanan, dengan tingkat kesakitan yang berbeda-beda, dan itu akan menjadi semakin relatif jika dikembalikan ke masing-masing individu yang menempuh jalan tersebut berdua. Tanyakan saja pada diri kita seperti biasa, “Is it worth it?”
Untuk engkau yang akan menemukanku, aku mohon, jangan pernah mencintaiku dengan alasan selain diri-Nya, karena aku takut jika saat ini kita menemukan alasan mengapa kita mencinta. Mungkin satu hari nanti, kita juga akan menemukan alasan mengapa kita berhenti mencinta, cintailah aku tanpa membutuhkan alasan hingga kita tak memiliki alasan lagi untuk tidak saling mencinta, cukup cintai aku karena kau memang mencintaiku, itu saja, atau seperti yang telah aku katakan, kau memang harus mencintaiku karena Dia, sungguh, Dia lah Zat Mahakekal itu, insya Allah cinta kita juga akan berkekalan hingga ke akhirat kelak.
Untuk engkau yang akan menemukanku, sepertinya kita akan menua dalam guratan kusut antara masa lalu dan masa depan kecuali engkau berkenan membantuku menguraikannya di masa kini. Karena mungkin kamu akan sibuk menyiapkan masa depan sedangkan aku sibuk memperbaiki masa lalu, tapi aku tak peduli, karena kita bersatu di masa kini. Tahukah kau? Jika langit adalah masa depan dan bumi adalah masa lalu, maka aku masih terkubur di bawahnya, kau harus memberikan aku sepasang sayap untuk terbang dan melayang menembus angkasa, karena kini, jangankan sepasang sayap dalam wujud nyata, bayangannya saja belum kunjung kau berikan padaku.
Untuk engkau yang akan menemukanku, mungkin kita akan bertemu di antara rak buku itu, buku-buku lama yang telah dipenuhi debu atau di antara buku-buku yang tak beredar lagi karena pencekalan. Aku mencintai tempat itu, hampir setiap saat aku mendatanginya, di sudut jalan, kecil tak berpintu, satu hari kita akan bertemu disana, mungkin. Tapi tahukah kau bahwa kini mulai terjadi garis samar pembatas antara langit dan bumi? Gerbang ini semakin menyempit, kau terlalu lama menemukanku, atau aku memang tak pernah memiliki niat untuk menunggumu, menunggumu hadir untuk menjemputku. Mungkin satu hari nanti, meskipun kau berhasil menemukanku, aku akan tersenyum dengan sunggingan sarkasme yang menyeruak di tiap sudut wajahku seraya berkata, “Kau terlalu lama menemukanku, aku bahkan telah lupa cara tuk berpasangan dengan makhluk bernyawa!”
Tapi tenang saja, jika hari itu akhirnya tiba, hari dimana aku meletakkan seluruh ekspektasi tepat di bawah kedua kakiku, menguburnya dalam-dalam dan menghilangkan seluruh variabel persyaratanku.Mungkin aku akan memilih untuk mematuhi nasihat para orang tua dahulu, “Menikahlah dengan dia yang mencintaimu.” Lantas mengapa harus begitu? Karena sungguh, bukankah tak ada yang tak mampu dilakukan oleh orang yang mencinta? Bukankah ia akan menjadi hamba bagi yang ia cintai? Dan setelah ia menjadi hamba diriku, aku berjanji akan menyulapnya menjadi hamba bagi satu-satunya Zat Penguasa alam semesta. Namun, jika kemungkinan terburuk tetap diberikan padaku, maka tak ada pilihan lain selain mengambil hikmah dibaliknya. Bukankah Asiyah, istri dari seseorang yang sangat dilaknat dalam Al-Quran yaitu Fir’aun, tetap dibangunkan rumah di dekat surga sana karena kataatan dan kesabarannya? Segala puji hanya bagi Allah dengan segala ketentuan-Nya.
Untuk engkau yang akan menemukanku. Sebelum aku mengakhiri seluruh tulisankuini untukmu, akhirnya aku disadarkan melalui sebuah ayat Quran dimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, ‘Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan diseluruh alam (pada masa itu).’”
(Surah Ali Imran ayat 42)
Aku menjadi sadar dan paham benar bahwa seluruh tulisan yang aku tulis dari awal hingga akhir dalam buku ini hanyalah potret diriku pribadi yang berusaha aku singkapkan meski masih banyak hal-hal lain yang belum kunjung tersingkap. Aku bukanlah Maryam yang memperoleh penjagaan langsung dari Tuhannya, aku juga bukan seorang perempuan yang terlahir dari keluarga alim ulama, aku hanya seorang perempuan di akhir zaman yang berusaha menghijrahkan dirinya dan menjadikan sisa usianya sebagai bentuk penebusan dan pengabdian atas masa-masa yang dilaluinya dalam kejahiliyahan. Maka aku mohon, tuntutlah diriku atas apa-apa saja yang mungkin aku lakukan di masa depan, sebagai seorang istri dan ibu dari para calon mujahid dan mujahidah agama ini nantinya. Jangan tuntut aku atas apa-apa saja yang telah aku lalui dalam kelalaian dan penzaliman akan diri sendiri. Karena sungguh, aku bukanlah Maryam, aku benar-benar bukan seorang Maryam! Dan semoga, satu hari nanti aku dapat mengatakan kalimat ini padamu duhai sosok yang akan menemukanku:
“Bila lelaki baik itu ada, kamulah orangnya.”
(Ullan Pralihanta, penulis buku Androphobia)
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Rabb yang menguasai langit, bumi, dan segala sesuatu yang berada di antara keduanya. Biarkan aku menutup tulisan ini yang sekaligus menjadi tulisan terakhir dalam kesatuan buku ini. Semoga satu hari nanti, atas izin Allah ‘Azza wa Jalla, baik aku maupun seluruh pembaca khususnya para perempuan, mampu sesegera mungkin dibiarkanoleh diri-Nya meyakini hal ini dalam hati, melisankan ia dengan lidah, serta melakukannya dalam seluruh tindakan kita. Jika Rabiah al-Adawiyah, seorang perempuan dengan teladan kezuhudan terbaik di zamannyatelah menyatakan kemerdekaan diri dari para makhluk dengan mengatakan, “Segala yang di atas tanah tak lebih hanyalah tanah!” maka biarkan kita para perempuan di zaman ini mampu menyatakan kemerdekaan dengan mengatakan, “Selamat tinggal tuhanku, aku perempuan merdeka!”

Akhirul kalam, selamat menikmati kemerdekaan barumu duhai perempuan merdeka, barakallah...

No comments:

Post a Comment