Monday, October 28, 2013

Sumpah Pemuda, Menembus Batas, Menembus Mayoritas

    

21 Oktober 2013, satu naskah lengkap, 252 halaman A4 dengan 77.563 kata telah dikonfirmasi penerbit. Saatnya penantian dengan rasa cemas dan harap, Desember, insya Allah. Ada kelegaan berarti karena terselesaikannya tulisan-tulisan itu, namun lihatlah sekarang, aku mulai kehilangan satu rutinitas, apalagi kalau bukan menulis. Seolah ada segumpal jiwa yang tercabut dari diri, sepertinya aku memang harus kembali mengalihkan fokusku, karena satu tujuan telah hampir tercapai, kini saatnya kembali dengan halaman-halaman ini, latar hitam, dengan tulisan merah dan putih yang menyeruak di atasnya. Biarkan aku menuliskan sebuah tulisan sebagai pembatal dari puasa posting di blog ini selama berbulan-bulan, mungkin dengan tema sesuai penanggalan hari ini, 28 Oktober, hari Sumpah Pemuda. Here we go...
Sumpah Pemuda, hari memperingati para pemuda di masa lampau yang melakukan sumpah setia beratasnamakan tanah airnya, bangsanya, dan bahasanya, yaitu Indonesia. Ada gema yang tak mampu aku definisikan sekarang, aku ingin menuliskan tentang sosok para pemuda saat ini, tapi hanya satu hal yang terlintas dalam benakku, yaitu sebuah senyuman dengan pejaman lembut yang menghiasi wajahnya, lentikan jemari dengan sebuah biola di atas bahunya, serta gerakan tubuh yang seirama dengan melodi yang ia mainkan. Aku tak mengenalnya dan mungkin tak akan pernah lagi melihatnya, seorang pemuda di masa kini, yang masih mengendarai sepeda tuanya untuk mengelilingi setiap sudut kota yang ingin ia kunjungi. Ia bukan seorang musisi jalanan yang mendapatkan penghasilan dari permainan biolanya. Tidak, tidak sama sekali. Ia hanya sesosok pemuda dengan idealismenya, dengan mimpinya, dengan luapan emosinya dan tentu juga dengan pembangkangannya.
Aku hanya ingin tersenyum sekarang, setiap kali mengingat detik-detik itu. Seorang perempuan yang sedang menikmati setangkai es krim dibalik derasnya hujan kemudian dihampiri seorang pemuda dengan sepedanya. Pemuda itu tidak sedang ingin berteduh dari derasnya hujan di luar sana, ia hanya ingin memarkirkan sepedanya kemudian berlarian di bawah hujan dan memainkan sebuah melodi indah dengan biolanya. Kadang ia tersenyum kecil karena kesalahan nada yang ia gesekkan, atau kadang ia memejamkan dengan rapat kedua pelupuk matanya sambil menikmati tiap nada tinggi yang berhasil ia lewati dengan keakuratan gesekan yang akan membuat setiap telinga terkesima. Aku tak tahu ia sedang menikmati dirinya bersama melodi yang ia mainkan atau ia sedang menikmati dirinya bersama melodi yang dimainkan alam dibawah derasnya hujan itu. Bahkan aku jauh lebih tak tahu, aku sedang menikmati tiap nada yang terlahir dari lentikan jemarinya atau aku sedang menikmati sosok idealis penikmat hujan yang sedang tepat berdiri di depanku itu. Dan setelah ia selesai memainkan sebuah lagu, ia kemudian menundukkan kepalanya ke sekeliling sebagai sebuah tanda penghormatan kemudian segera berlalu dengan sepeda tuanya lagi, menembus derasnya hujan seorang diri. Aku membutuhkan waktu beberapa saat untuk menyadarkan diriku bahwa ia benar-benar telah berlalu, aku kehilangan sosok idealis itu, bahkan aku tak ingat lagi bagaimana rupanya, yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah satu hal, “Apa saja yang ada dalam pikiran pemuda tolol ini?” Karena sungguh, banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya, tapi aku bisa apa? Ia sudah menyatu dengan derasnya hujan di luar sana, mengayuh sepedanya dengan luapan tawa bersama dirinya dan biolanya.
Tak butuh waktu banyak untuk aku memastikan satu hal dari seluruh rangkaian peristiwa itu, aku juga harus melakukan hal yang sama dengannya, sama dengan yang dilakukan pemuda itu, yaitu menembus batas mayoritas dengan membebaskan keinginan diri sendiri. Tanpa berpikir panjang, aku menghentikan proses peneduhan dari hujan yang aku lakukan, aku langsung menembus derasnya hujan, seorang diri, berjalan sambil tersenyum sembari mengarahkan pandangan ke arah langit yang mendung dan menikmati tiap tetesan hujan yang membasahi wajahku. Ada perasaan bebas yang menyelimuti seluruh ragaku, dinginnya hujan terkalahkan oleh panasnya kemerdekaan yang meluap-luap dalam hatiku. Andaikan semua pemuda pernah melakukannya, melakukan kecintaannya pada sesuatu secara totalitas, maka percayalah, rasa ini akan bersifat sangat adiktif, perwujudannya adalah suatu kebutuhan. Meski implementasinya membutuhkan pengorbanan, tapi ingatlah, ada satu hal yang tak akan pernah tergantikan, yaitu suatu proses luar biasa untuk mencapai hasil di puncak paling tinggi yang akan menjadi sebuah imbalan yang memang sangat layak untuk diperjuangkan.
Kini mari tinggalkan kami berdua dengan hujannya, karena itu hanyalah sebuah bentuk implementasi sederhana yang dapat dilakukan oleh para pemuda dengan dirinya dan kepuasannya pribadi. Biarkan kali ini kita kembali membahas mengenai tanah air, bangsa, dan bahasa kita. Apa saja yang sudah kita lakukan untuk itu semua? Tak ingatkah kita bagaimana para pejuang kemerdekaan dahulu? Para pemuda yang rela mengorbankan tiap peluh keringatnya, tiap tetesan air matanya bahkan darah dan nyawanya demi kemerdekaan yang kita nikmati saat ini. Para pemuda yang mencintai negerinya dengan semangat menuntut ilmu yang luar biasa, para pemuda yang menjadikan tulisan-tulisannya sebagai sarana aspirasi, penuntutan, bahkan pemberontakan terhadap penjajahan. Para pemuda yang tak mengenal kata gentar apalagi takut untuk membela bangsanya di garis terdepan. Para pemuda yang tak pernah melakukan pengkhianatan pada negerinya sendiri. Itulah mereka, sosok yang patut diteladani. Mewujudkan kecintaan dengan bukti nyata, dengan perjuangan dan pengorbanan. Mereka sudah terbiasa diasingkan, dipenjara, bahkan diculik dan dibunuh. Mereka diperlakukan seperti itu bukanlah karena mereka melakukan kesalahan pada negeri ini, bukan! Mereka memperoleh hukuman itu karena mereka memberontak pada penjajah, mereka memberontak demi memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Tapi lihatlah sekarang, siapa lagi pemuda yang masih bersumpah setia bagi negerinya? Siapa lagi pemuda yang rela berkorban demi membuktikan rasa cintanya? Para pemuda saat ini lebih mencintai hidup dan kehidupannya. Mencintai tiap gadget dan aplikasi sosial media yang mereka miliki. Mencintai hidup santai tanpa terbebani oleh rasa tanggungjawab tentang peradaban. Mencintai pasangan haramnya secara berlebihan, seolah hujan badai mampu mereka seberangi, padahal saat hujan gerimis saja mereka sudah enggan untuk keluar rumah. Tidakkah hal itu sangat menggelikan? Maka dimana letak peran para pemuda saat martabat bangsa terlucuti satu per satu secara disadari? Saat ini, tempat pengasingan, penjara, bahkan orang-orang yang diculik dan dibunuh bukan lagi karena alasan mereka melakukan pembangkangan demi memperjuangkan kesejahteraan bersama. Tak sedikit dari mereka yang memenuhi penjara dan tempat-tempat pengasingan adalah para pemuda yang mengkhianati negerinya, para pemuda yang memakan uang rakyat, para pemuda dengan tindakan kriminalnya, para pemuda dengan obat-obatan terlarangnya, hingga para pemuda yang melakukan pemerkosaan dan tindak asusila lainnya. Lalu bagaimana dengan mereka yang diculik bahkan dibunuh? Tak sedikit pula kejadian tersebut dilakukan dengan motif bisnis, perselingkuhan, hingga politik dan berbagai kepentingan lainnya. Sekali lagi aku tanyakan, tidakkah hal ini sangat menggelikan?
Baru saja aku menghabiskan sepiring makan malam bersama adik sepupuku, aku mengingatkannya tentang hari ini, hari Sumpah Pemuda, namun ia malah tertawa dan mengatakan sebuah status sosial media yang dituliskan oleh temannya dengan bunyi, “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berpacar satu, pacar Indonesia.” Lihatlah, semangat macam apa yang tersisa saat ini? Semangat menyepelekan bangsanya? Dulu, para pemuda menulis demi pengangkatan hak-hak rakyat, kini, para pemuda menulis ribuan tweet, status dan hal-hal lain bernada keluhan, perendahan, penistaan, kegalauan, dan masih banyak lagi. Tidakkah ini menggelikan? Dulu, para pemuda gigih berjuang agar mampu mengenyam bangku pendidikan demi bekal wawasan untuk membela bangsanya, kini, para pemuda bersekolah dan berkuliah dengan mudahnya namun diisi dengan perbuatan-perbuatan tak semestinya, seperti tidur di kelas, bermain game saat dosen sedang mengajar hingga bolos mata kuliah hanya untuk bermain di pusat-pusat perbelanjaan. Tidakkah ini menggelikan?
Percayalah, satu hari nanti, kita akan dikumpulkan dan ditanyakan tentang hari ini, masa-masa muda yang kita lewati ini, karena disinilah puncak kualitas hidup, dengan kesehatan yang masih memadai, dengan semangat juang yang masih tinggi, dengan waktu yang masih tersedia untuk pengabdian, karena kita memang belum disibukkan dengan tanggungjawab sebagai seorang istri atau suami, seorang ayah atau ibu, inilah saat secara totalitas mewujudkan kecintaan dengan cara yang totalitas pula. Bahkan dalam sebuah hadis ditegaskan dengan lantang tentang pertanggungjawaban kita mengenai masa muda kita ini :
“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari Rabbnya hingga dia ditanya tentang lima perkara: tentang usianya, untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya, untuk apa ia gunakan, tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan, serta tentang ilmunya, apa yang ia perbuat dengannya.”
(HR At-Tirmidzi)
Itulah kenyataannya, apa yang akan kita jawab kepada Rabb kita saat ditanyakan, ‘Untuk apa kau gunakan masa mudamu?’ Akankah kita menjawab, ‘Aku menggunakannya untuk berjalan-jalan, berpacaran, menulis status dan tweet alay dan galau, menghina negeriku, mengkhianati bangsaku, dan hal-hal tak berguna lainnya.’ Akankah kita menjawab seperti itu? Maka renungkanlah para pemuda-pemuda yang memiliki potensi luar biasa, renungkanlah bersamaku. Mari kita menjadi dia, sang pemain biola yang menembus hujan, menembus batas, menembus pemikiran mayoritas, demi kecintaannya itu, secara totalitas tentunya. Barakallah!

2 comments: