Beberapa
hari ini aku seolah mengalami kematian lagi dan lagi. Hasrat untuk menulis
sangat besar, seluruh kalimat berputar dan tak sabar ingin dituangkan. Namun
ketika jemari memulai satu atau dua kata pembukaan, mendadak kalimat-kalimat
itu gugur tak berbekas. Tak ada cara lain selain membaca, aku butuh kalimat
baru, kalimat yang jauh dari nada berkeluh kesah. Aku butuh kalimat-kalimat
yang memberi kehidupan. Aku mulai muak dengan kesatuan
kalimat mengenai kematian. Aku benar-benar ingin hidup. Hidup layaknya manusia!
Aku
katakan padaNya, “Ya Rabb, ada satu perempuan, aku
telah meminta maaf dengan tersungkur menangis dihadapannya berulang kali, namun
ia tak kunjung memaafkanku, tolong lembutkan hatinya, katakan padanya,
maafkan aku, aku benar-benar membutuhkan penerimaan maaf darinya.” Namun
lihatlah, ia masih di sudut sana, menangis membeku tanpa suara. Ia mengadu
padaMu untuk menguatkan dirinya, aku kerap kali mendengar rintihin suaranya di
penghujung malam, dengan doa yang sama dan permohonan yang sama, dan lihatlah
kini, aku tak pernah lagi menemukan binar matanya disaat semua orang tertawa,
ia masih saja berkutat dengan kepedihan dirinya bersama jiwanya, sedangkan
jasadnya ia biarkan bercengkrama dengan dunianya.
Aku
akan tetap menanti di perbatasan, menunggu dirinya kembali padaku dan
memaafkanku. Atau aku yang akan terus menerus mengejar dirinya hingga ia
benar-benar mampu berdamai dengan seluruh kesalahanku. Kadang aku tak kuasa
lagi menahan luapan emosiku, aku peluk dirinya sangat erat dan memaksanya
memaafkanku, namun ia tak bergeming, tetap terdiam seolah aku tak pernah ada.
Aku pernah membangunkannya di tengah malam kemudian meneriakkan satu kalimat
tepat di wajahnya, “Kapan kau akan memaafkanku?”.
Dia hanya tersenyum datar kemudian berlalu dari hadapanku dan kembali dengan
basuhan wudhu yang membasahi wajah dan ubun-ubunnya. Aku biarkan ia mendirikan
shalat malam dan menunggunya dengan penuh harap. Sempat aku berfikir mungkin ia
telah mati karena tak kunjung bangkit dari sujud akhirnya. Dan saat ia bangkit,
ada perasaan lega yang terbersit dalam benakku, “Syukurlah
ia belum mati, karena sungguh, ia tak boleh mati sebelum memaafkanku!”
Setelah
ia menyelesaikan doa-doanya dan hendak melipat sajadah, aku tahan kedua
tangannya, untuk kesekian kalinya, aku kembali tersungkur dihadapannya dan
memohon maaf dengan menanggalkan seluruh harga diriku. Aku memohon dengan
sangat di malam itu, beruraian air mata dan kelemahan yang menjalar di seluruh
raga. Dengan lembut dan tatapan penuh harap ia bisikkan padaku, “Aku sangat ingin memaafkanmu, namun dengan satu syarat, beri
aku kepastian terlebih dahulu bahwa Allah telah mengampuniku.”
Aku
tak kuasa lagi menahan tangannya, aku menangis sejadi-jadinya di malam itu, aku
tersungkur lemas di atas sajadah dan benar-benar tak tahu harus berbuat apa.
Bagaimana mungkin aku memberi kepastian padanya? Syarat yang ia berikan terlalu
berat untukku. Perempuan ini benar-benar keras kepala. Rasanya aku ingin
membunuhnya kemudian membunuh diriku lalu kami berdua bertemu dengan Allah dan
meminta keputusan paling adil untukku dan dirinya. Haha. Tapi tenang saja,
mungkin kita sama-sama keras kepala, tapi kita berdua bukan perempuan bodoh
yang akan melakukan perbuatan bodoh bersama lagi bukan?
Aku
bangkit dari sujudku kemudian membacakan sebuah ayat kepada perempuan ini :
“Dan sungguh, Kami benar-benar
akan menguji kamu
sehingga Kami mengetahui
orang-orang yang benar-benar berjihad
dan bersabar di antara kamu,
dan akan Kami uji perihal kamu.”
(QS Muhammad ayat 31)
Jika
tadi aku yang menangis tersungkur di hadapannya, kini aku sedang menyediakan
pundakku untuk membiarkan ia bersandar dan akan aku jejali jiwanya dengan kalimat
dari mulutku, aku katakan padanya, “Kau fikir semua harus dan akan berjalan
sesuai dengan keinginanmu? Kau fikir saat kau memilih mendekatkan diri kepada
Allah maka serta merta seluruh kesakitan akan terbebas dari dirimu? Kau fikir
menjumpai Rasulullah dan bersatu dengan hakikat Allah di akhirat nanti hanya
cukup dengan kata taubat dari lisanmu? Bangun dari semua mimpimu! Sadarkan
dirimu! Kenapa kau berkeluh kesah saat mereka mengkhianatimu dan telah berhasil
membunuhmu berkali-kali? Mereka hanya manusia! Mereka hanya pengkhianat! Tidak
cukupkah kau dengan dijanjikannya pulang ke rumah kita di langit sana dan
berkumpul dengan para syuhada? Tidak cukupkah kau pulang bersama Rasulullah dan
menatap Zat Yang Menciptakanmu? Cukupkan dirimu dengan itu semua! Berhenti
mengatur Allah! Pasrahkan dirimu seutuhnya! Biarkan Dia
yang membentukmu dengan caraNya! Ikhlas dan kuatlah, kau tak punya pilihan
lain!”
Jika
seluruh kalimatku masih belum cukup untukmu, maka kemarilah, berdampingan dekat
denganku, akan aku bisikkan kalam Illahi Rabbi yang sedang terngiang dalam
ruang batinku :
“Apakah manusia mengira bahwa mereka
akan dibiarkan
hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’ dan mereka tidak diuji?
Dan sungguh, Kami telah
menguji orang-orang sebelum mereka,
maka Allah pasti mengetahui
orang-orang yang benar
dan pasti mengetahui
orang-orang yang dusta.”
(QS Al ‘Ankabut ayat 2-3)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja),
padahal
Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu
dan tidak mengambil teman yang
setia selain Allah,
rasul-Nya,dan orang-orang yang
beriman,
Allah Mahateliti terhadap apa
yang kamu kerjakan.”
(QS At Taubah ayat 16)
Bagaimana
sekarang? Masihkah kau berkeluh kesah? Jalanmu masih panjang, ini baru
permulaan, kesakitan ini masih mendarah daging karena rentetan kisah ini memang
belum berakhir. Percayalah bahwa takdir orang yang beriman adalah baik adanya.
Jika ianya terkesan buruk dan menyakitkan, itu hanya karna kau belum dapat
membedakan dengan sebenar-benarnya antara yang baik dan yang buruk, itu saja.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia
amat baik bagimu,
dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia
amat buruk bagimu,
Allah mengetahui sedang kamu
tidak mengetahui.”
(QS Al Baqarah ayat 216)
Bersabarlah,
sedikit lagi dan sedikit lagi hingga kesabaranmu tak
memiliki batas. Ikhlaslah sedikit lagi dan sedikit lagi hingga keikhlasanmu tak menyisakan rasa sakit. Aku
akan berlari bersamamu di jalan ini, kita akan menanti bersama di garis batas
antara langit dan bumi bahwa sang penyelamat akan hadir
dan menjadi pelipur seluruh laramu.
No comments:
Post a Comment