Mendekati
100 hari pasca kematianku terhitung tanggal 13 Februari 2013 lalu. Benar-benar
menjadi bahan muhasabah diri lagi dan lagi. Kadang aku berteriak kepada diriku
sendiri, “Andaikan memori rasa dan pikiran itu berwujud
manusia, maka mungkin aku perempuan pertama yang akan membunuhnya!” Saat
semua memori itu terputar dalam benakku, mungkin aku butuh berhenti sejenak,
beristighfar sebanyak-banyaknya, merapikan kembali jubah pertahananku, tapi aku
takkan sekali-kali mundur, selangkahpun tidak, aku akan tetap melangkah maju,
hingga diizinkan naik ke langit.
Jika ada
yang berfikir semua ini mudah sedangkan aku hanya berlebihan, kemarilah dekat
denganku, kalian akan rasakan getaran pilu ini. Namun tenang saja, aku memilih
untuk bungkam hingga tiba waktunya, mari kita nikmati hidup kita masing-masing,
meski pisau belum berhenti bergerak.
Kadang aku
seolah tak memiliki rasa kepedulian lagi terhadap diri, memikirkan Allah saja
rasanya hatiku masih belum cukup luas untuk menampungnya. Lalu aku melihat ke
arah mereka, sangat memprihatinkan melihat orang-orang yang menganggap bahwa
Allah adalah subjek pelarian layaknya seluruh dalih logika liberalis mereka.
Allah itu bukan tempat pelarian, Dia itu tujuan, satu-satunya tempat berlari
dan kembali. Dan semakin memprihatinkan saat melihat mereka yang memandang
kemunkaran sebagai sesuatu yang indah dan wajar, sedangkan ketaatan sebagai
sesuatu yang asing.
Pertanyaannya
adalah, “Aku yang harus memeriksakan diriku atau mereka?”
Bukankah kesenangan karena maksiat itu sesaat, sedangkan siksanya berkekalan? Di sisi lain, kesulitan dan cobaan karena ketaatan itu juga sesaat, tapi berkahnya berkekalan, insyaAllah.
Bukankah kesenangan karena maksiat itu sesaat, sedangkan siksanya berkekalan? Di sisi lain, kesulitan dan cobaan karena ketaatan itu juga sesaat, tapi berkahnya berkekalan, insyaAllah.
Kembali ke
masa pasca kematianku, kadang aku masih berharap dikirimi untaian doa. Namun
ntahlah, sejauh ini belum ada satupun makhluk yang menghampiri pemakamanku.
Seolah benar-benar terputus seluruh pertalian selama ini. Aku benar-benar sudah mati dan terkubur dibawah sana bukan?
Perfect, memang itu yang mereka harapkan. Mungkin sekarang mereka malah
merayakan kematianku. Aku telah mati ditanganku sendiri, karena sungguh, aku
lebih memilih mati dikedua tanganku ketimbang mati ditangan mereka semua.
Dulu aku
pernah berfikir untuk apa bersusah payah membunuh perempuan yang ada dalam
diriku. Bukankah menjalani kehidupan saja sudah seperti bentuk pembunuhan
berkali-kali dan suatu kematian yang panjang? Namun takkan aku biarkan diri ini
mati karena mereka lagi, aku hanya akan mati di hari kematianku kelak, cukup di
saat itu saja. Aku katakan pada saudara perempuanku ini, “Sudahlah, hidupkan hatimu, kau tak akan pernah mati lagi!
Tak akan pernah!”
Aku seorang
calon farmasis, calon apoteker, insyaAllah. Namun penyembuhan penyakit yang
tampak dan terdeteksi secara klinis benar-benar jauh lebih mudah. Aku sering
melakukan monolog dengan mengatakan, “Kalian butuh
berapa lama untuk memulihkan diri? Setahun? Sebulan? Seminggu? Sehari? Oya,
kalian tak butuh sedetikpun, sepertinya memang hanya aku yang butuh waktu
seumur hidup!”
Atau di
lain waktu aku mengatakan, “Sedih? Pasti. Sakit?
Apalagi itu. Lalu? Itu cuma masalah pribadi. Lantas? Enyahkan itu semua dan
beralih ke masalah umat. Yakin? Bismillah aja, insyaAllah.”
Mungkin
satu hari kelak atau bahkan setiap hari, aku akan senantiasa memakai pakaian
serba putih yang membalut seluruh tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Lebih panjang lagi, lebih lebar lagi. Tapi itu semua bukan untuk mewakili putihnya
kesucian, melainkan ungkapan berkabung akan kezaliman
dunia dan pengingat bahwa balutan kafanku kelak berwarna putih pula.
Aku tahu
benar, Allah tidak sedang mengambil dirimu dariku. Allah
itu sedang menjauhkan dirimu dariku. Kenapa? Karena aku yang memintanya
dengan lantang dan penuh pengharapan. Aku meminta agar Allah mendekatkan diriku
pada orang-orang yang mampu semakin mendekatkan diriku padaNya dan menjauhkan
orang-orang yang menjauhkan aku dariNya.
Sepertinya
semua ini terjadi bukan karena aku layak tuk dikhianati, juga bukan karena aku
tak pantas menjadi wanita yang kau perjuangkan tuk mewujudkan seluruh sumpah
setiamu dulu. Tapi semua ini terjadi karena rasaku padamu telah melampaui
batas, sedangkan Allah benar-benar tak rela jika aku
membagi hati dengan makhluk yang tak layak tuk dicinta. Allah seolah
membisikkan dalam hatiku, “Ambil isyaratKu wahai hambaKu, hanya Aku yang paling
layak tuk dicinta, kau hanya layak mencinta pada dia yang juga cinta padaKu,
sudahlah, dia tak layak tuk dicinta, itu saja.”
Aku
benar-benar ingin mengatakan padamu, “Tolong, jangan engkau pertentangkan lagi
semua itu. Apalagi memfitnahku dengan segala pembenaran atas dirimu. Belum
cukupkah seluruh kesakitan yang kau tambatkan?”
Jika dunia
terlalu nista untuk sebuah pengadilan, maka aku akan bersabar hingga harinya
kelak. Hari dimana seluruh panca indera yang menjadi saksi.
Mungkin dulu
saat hati kita berjauhan, aku masih ingin berteriak agar kau mampu mendengarkan
pembicaraan ini dari hati ke hati, namun lihatlah, kini aku memilih bungkam,
sesuai kemauanmu dan mereka semua. Karena sepertinya bukan hati kita semua yang
berjauhan, tapi kalian seolah tak punya hati, sedangkan
aku telah mengemis belas kasihan agar Allah memberikanku hati baru.
Tapi
sudahlah, waktuku terbuang dengan sangat sia-sia hanya untuk membahas apalagi
memikirkan mereka yang mungkin telah mengalami amnesia
batin, jiwa maupun raga. Satu-satunya hal bodoh bagi banyak orang, namun
akan selalu dan mungkin akan terus aku lakukan adalah mendoakan kebahagiaan mereka
semua.
“Senang
berkenalan dengan Anda dan seluruh orang yang berkaitan dengan Anda. Karena
dengan kehadiran dan kepergian Anda-anda semua, Tuhan
berhasil ‘membentukku’ hingga sampai ke tahap seperti sekarang meski
dengan penuh kesakitan, kemunafikan dan pengkhianatan. Well done guys, all of
you did your job very well, thanks too much.”
Haha, aku
sedang tersenyum pahit sekarang, lalu aku katakan pada diriku, “Apa yang kau
lakukan saudariku? Tersenyumlah dari hati, karena jika mereka memiliki hati,
mereka akan membalas senyummu.”
Baiklah,
tak ada pilihan lain selain menundukkan kepala, memohon pada Illahi Rabbi untuk
memperkenankan seluruh kebaikan untuk kita semua. Semoga dengan diaminkan oleh
seluruh pembaca mampu semakin memperkokoh bangunan doa ini hingga menjulang ke
Arsy. InsyaAllah.
“Ya Allah ya Rabb, kami memohon dengan
sangat, cukupkan kami dengan segala pemberian dari sisi-Mu hingga kami tak
bergantung lagi pada makhluk, cukupkan kami dengan nikmatnya berdzikir dalam kerinduan hingga kami tak
meminta lagi kesenangan dunia yang sesaat ini. Perlakukan
kami dengan kasihsayangMu hingga Engkau membalikkan hati kami hanya pada jalan
agamaMu yang lurus. Jangan Engkau balikkan lagi hati kami kepada
kemunkaran yang dapat mengeraskan hati kami. Biarkan
kami mendapat syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di akhirat kelak
ya Rabb. Hati kami berpadu penuh harap agar Engkau berkenan mengabulkan
doa kami. Sungguh ya Rabb, kami memohon dengan sangat. Amin amin ya Rabbal
‘alamin.”
subhanallah..... :)
ReplyDeleteaamiin.
ReplyDeletegorgeous!! "..sedangkan aku telah mengemis belas kasihan agar Allah memberikanku hati baru."
kunjungan perdana ukhti, assalamu'alaikum.
Wa'alaikumsalam dear ^_^
Delete