Pernah ada
hari dimana langit begitu gelap. Aku benar-benar tak tahu matahari ada dimana.
Begitu pula dengan bulan dan bintang-bintang, ntah berada dimana mereka semua.
Rasanya tak ada satupun cahaya di hari itu. Awan mendung berlapis-lapis
menambah kekelaman. Kemudian tak cukup sampai disitu, suara gemuruh seolah
saling bersahutan. Hari itu laksana perpaduan antara
air dan api, dua hal yang rasanya tak mungkin berpadu namun di hari itu
mereka saling melengkapi.
Mengapa
aku menyebutnya air dan api? Bukankah mereka adalah dua perpaduan yang saling
bertolak belakang? Semua itu karena di hari itu awan sangat gelap, seolah tak
akan pernah ditemukan setitikpun cahaya lagi. Namun mendadak goresan-goresan
cahaya menyala diantara sela-selanya. Ya, dialah kilat yang terang benderang. Perpaduan antara kegelapan dan pencerahan, seolah satu tubuh
yang tak terceraikan. Kemudian kilat tersebut mengantarkan gelegar
gemuruh yang meruntuhkan langit dan menimpaku secara bertubi-tubi. Tak ada kata
lain yang mewakili itu semua selain kebinasaan.
Ahh,
rasanya siksaan Dia di dunia begitu dekat dan memenjarakanku di segala penjuru,
cukup lama aku terkubur di bawah puing-puing langit. Namun, Dia berkehendak
lain,
hujanpun turun dengan derasnya. Menghidupkan kembali bumiku yang gersang dan luluh lantak. Aku mulai membuka kedua pelupuk mataku, merasakan air yang menyentuh jemariku, sendi-sendiku, hingga seluruh ruang hati ini terpenuhi oleh hujan-Nya.
hujanpun turun dengan derasnya. Menghidupkan kembali bumiku yang gersang dan luluh lantak. Aku mulai membuka kedua pelupuk mataku, merasakan air yang menyentuh jemariku, sendi-sendiku, hingga seluruh ruang hati ini terpenuhi oleh hujan-Nya.
Ternyata,
hujan yang turun terus-menerus sedikit demi sedikit telah berhasil mengikis kegelapan
langit. Aku mulai menikmati hujan, bahkan aku menari di bawah hujan. Meski terkadang, akulah hujan itu.
Kepalaku
tak pernah beranjak jauh dari menatap langit, aku terus menengadah ke angkasa
sembari berdoa dan bersabar agar satu hari, matahari, bulan,
serta bintang-bintang bersinar terang di satu langit, ya satu langit.
Penantianku
beringsut menjadi kenyataan, hembusan angin mempercepat perginya kawanan awan
gelap itu. Meskipun kabut masih tersisa
di ujung sana, paling tidak aku tak bermandikan hujan lagi. Hujan yang airnya
laksana perasan jeruk nipis dan membakar seluruh lukaku.
Kali ini
aku mulai mencari cara lain, aku mencoba melukis pelangiku di kaki langit.
Warnanya masih ungu. Ya, hanya ungu. Satu hari, akan aku tambahkan warna lain
atau mungkin ada seseorang yang bersedia mewarnai pelangiku, bersamaku. Mungkin
itu kau, mungkin juga bukan kau. Tapi bagaimana? Kadang aku benar-benar berharap
itu kau. Bukankah kita yang memulai mewarnai langit kita dengan tinta hitam dan
cat air berwarna darah? Lalu kenapa kau tak menyelesaikannya? Menyelesaikan
lukisan kita.
Hhh,
perempuan tolol ini hanya memiliki warna ungu. Tapi sudahlah, jika kau masih
berkeras hati, akan aku selesaikan lukisan ini sendiri. Karena ternyata aku
masih memiliki warna lain, tinta bening dari sudut mataku dan cat air berwarna
darah dari hatiku. Paling tidak, aku tak akan pernah mengemis lagi untuk
meminta atau sekedar berharap kau berkenan meminjamkan jutaan warna yang kau
punya. Tak akan lagi!
Tuhanku
Yang Mahabaik menjanjikan aku satu warna, satu warna yang tak pernah terlihat
atau terbayang oleh seluruh indera kita. Ianya adalah warna yang bersumber dari
Nur hakikat diriNya. Dan satu hal lagi, Tuhanku mengajarkan untuk memaafkan
siapa-siapa saja yang menzalimiku kemudian mendoakan mereka semua. Maka dengan
tatapan sendu dan sebuah senyum hangat, ingin aku bisikkan ke dalam hatimu, “Barakallah, aku memaafkanmu.”
Aku
benar-benar tak tahu harus menutup tulisan ini dengan doa seperti apa, seolah
seluruh kata habis tercekat, namun semoga sepenggal doa ini dapat bermanfaat
hingga akhirat kelak.
“Ya Allah ya Rabb, demi kilatMu yang
dipenuhi dengan pengharapan dan ketakutan, demi hujanMu yang menghidupkan, dan
demi pelangiku yang belum usai ku ukir di kaki langit, aku mengiba padaMu, berikan
aku warna lain, biarkan aku hiasi langitku dengan matahari keberanian, bulan
penuh cinta dan bintang-bintang pengabdian. Ajarkan aku cara terbaik menikmati
hujan. Ikhlaskan aku menunggu terbitnya fajar di malam yang kelam. Dan berkahi
aku dengan tulusnya memaafkan dan dimaafkan. Ya Rabb,
demi ZatMu Yang Mahahidup, hidupkan langit jiwaku, selamanya. Aku
memohon dengan sangat ya Rabb. Perkenankan doaku. Amin amin ya Rabbal ‘alamin.”
Tanpa meng-italic-kan susunan kata yg kau namai do'a,,.. tidakkah setiap kata adalah do'a.
ReplyDeletedarinya, dibanding mengkhususkan kalimat do'a. berhati-hati menggunakan kata keliatannya lebih baik. :D
iyah brother, syukron udah diingetin :)
ReplyDelete