Tak sedikit hal yang berubah
setelah hari itu, Selasa 11 Juni 2013. Baik tentang pemikiran, sikap, hingga
jiwa. Jika harus membahasnya satu per satu, mungkin aku akan memulainya dengan
perubahan sikap dalam pengambilan keputusan tentang banyak hal, baik itu
tentang studiku, waktu yang akan aku habiskan nantinya, pengabdian yang harus
aku pertanggungjawabkan, dan masih banyak lagi. Pengambilan sikap ini juga
memengaruhi kebiasaanku selama ini, salah satunya mengenai buku-buku yang biasa
aku beli tanpa terlalu memikirkan jumlah apalagi harganya. Dulu, setiap aku
mendatangi toko-toko buku, aku bahkan bisa membeli 4-5 buku sekaligus, yang
akan aku lahap dalam waktu singkat. Namun kini, untuk membeli satu buku saja,
aku harus mempertimbangkannya secara matang. Ini bukan tentang tak adanya buku
yang layak aku baca, ini tentang biaya yang harus aku keluarkan saat
membelinya. Belakangan ini aku lebih cenderung membaca e-book yang dapat
diunduh secara gratis di internet. Namun tetap saja, buku-buku yang berkualitas
hanya tersedia dalam bahasa Arab atau Inggris, sangat sulit untuk menemukan
kitab-kitab klasik ulama tempo dulu yang sudah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia. Dulu, sebelum 11 Juni 2013, apalagi saat aku masih anak-anak, buku
itu seolah segalanya, mampu diperoleh dengan mudah, berapapun yang aku
inginkan, berapapun harganya, Ayahku tak pernah bermasalah untuk memenuhi
permintaan anak perempuannya ini. Saat aku sudah kuliahpun, aku tinggal
mengatakan bahwa aku baru saja membeli banyak buku, dan dia tak pernah
mempermasalahkannya. Tapi itu dulu, saat dia masih ada untuk anak perempuannya
ini. Kini, setiap aku melirik buku-buku impian yang sangat aku ingin baca dan
miliki, aku hanya mampu membisikkan dalam hati, “Ya
Rabb, aku menginginkannya, jika Engkau berkenan, maka berikanlah padaku.”
Dan doaku seolah selalu diijabah oleh-Nya,
ada saja rezeki yang diberikan melalui tangan-tangan orang lain, seperti beberapa hari yang lalu, aku sangat menginginkan satu paket buku terapi makrifat karya Ibnu Atha’illah yang terdiri dari lima buah jilid buku dengan tema yang berbeda, dan itulah Allah, Dia memberikannya padaku melalui kasih sayang-Nya, hanya dalam hitungan empat hari, kelima buku itu telah menjadi tambahan koleksi terbaikku, bahkan aku mendapatkan bonus buku keenaam yaitu sebuah buku karya Qaisra Shahraz, benar-benar ajaib. Mahabenar Dia yang menunda namun tak pernah mengabaikan.
ada saja rezeki yang diberikan melalui tangan-tangan orang lain, seperti beberapa hari yang lalu, aku sangat menginginkan satu paket buku terapi makrifat karya Ibnu Atha’illah yang terdiri dari lima buah jilid buku dengan tema yang berbeda, dan itulah Allah, Dia memberikannya padaku melalui kasih sayang-Nya, hanya dalam hitungan empat hari, kelima buku itu telah menjadi tambahan koleksi terbaikku, bahkan aku mendapatkan bonus buku keenaam yaitu sebuah buku karya Qaisra Shahraz, benar-benar ajaib. Mahabenar Dia yang menunda namun tak pernah mengabaikan.
Kemudian tentang pemikiran,
sejak hari itu, kadang aku mulai meragukan tentang studiku nantinya. Dulu,
Ayahku selalu mengatakan, “Nanti Derry setelah lulus apoteker, langsung aja
ambil S2, tapi jangan di Indonesia lagi, papa mau sekolahin Derry ke luar
negeri.” Bahkan Ayahku telah mengatakan hal itu berkali-kali, dia menginginkan
anaknya ini melanjutkan studi di luar negeri kemudian bekerja disana dan
setelah mapan baru membangun sebuah apotek di Indonesia. Ya, itulah harapannya.
Tapi sekarang, entahlah, hanya pengetahuan Allah yang mampu menerjemahkan masa
depanku kelak, yang bisa aku lakukan hanyalah melakukan hal-hal terbaik di masa
kini. Menurut informasi yang aku peroleh, bidang kefarmasian mengalami kemajuan
sangat pesat di Australia, Jerman, maupun Belanda, dan sepertinya aku
benar-benar telah jatuh cinta pada Belanda, ada mimpi tertentu tentang kebangkitan
Islam di daerah Eropa. Ah bahkan aku sampai berpikir, aku pasti akan kesana
dengan izin Rabbku, bersama mahramku tentunya, membangun keluarga kecil disana
sambil melanjutkan studi kami kemudian melahirkan para mujahid dan mujahidah
Islam yang tumbuh dan berkembang di daratan Eropa, berharap mereka menjadi
salah seorang pejuang di lini terdepan dalam usaha mengembalikan kejayaan Islam
di puncak keemasan layaknya sabda Rasulullah. Tapi lihatlah, jangankan tentang
anak-anak yang kelak akan aku lahirkan. Kini, aku mulai tidak terlalu tertarik
jika harus membicarakan pernikahan dan segala atribut tentangnya. Toh tak ada
lagi Ayahku yang akan menikahkan anak perempuannya ini, takkan ada lagi calon
pendamping yang akan menemui Ayahku untuk meminta restu akan anak perempuannya
ini, takkan ada lagi Ayahku yang menjadi tempat untuk aku bersujud dan
menyembah setelah prosesi akad berlangsung, tak ada lagi Ayahku yang akan
memeluk anaknya kemudian mengatakan, “Hari ini kamu bukanlah lagi anak
perempuan kecilnya papa, maka papa minta, jadilah istri serta ibu yang terbaik
bagi dirinya dan anak-anakmu kelak.” Masya Allah, Laa
tahzan Derry Oktriana!
Kadang, aku juga berpikir,
satu hari nanti, saat aku melangsungkan wisuda sarjana atau profesiku, siapa
yang akan memberikanku satu buket bunga lengkap dengan ucapan selamat di
dalamnya? Toh tak ada lagi Ayahku yang akan menyaksikan anak perempuannya ini
dalam balutan kebaya dan baju toganya, tak ada lagi Ayahku yang akan mengecup
keningku sambil menghujaniku dengan kuntum-kuntum bunga, tak ada lagi Ayahku
yang paling tidak menatapku dengan senyuman bangga penuh haru karena telah
berhasil menyekolahkanku hingga saat ini. Kini, yang ada di pikiranku, bukanlah
sebuket bunga dengan ucapan selamat untukku, yang akan aku lakukan adalah
menghiasi pusaranya dengan bunga dari anaknya perempuannya ini, akan aku
katakan tepat di atas pusaranya, “Pa, Derry udah jadi sarjana sekarang, dan
insya Allah sebentar lagi jadi apoteker, moga Allah juga ngebiarin Derry
wujudin mimpi-mimpi papa dulunya, studi ke luar negeri kan? Derry usahakan,
buat papa, ya buat papa.” Masya Allah, rasanya aku akan jauh lebih nyaman jika
berada di atas pusara Ayahku ketimbang mengikuti rangkaian wisudaku nantinya. Laa tahzan Derry Oktriana! Laa tahzan!
Baiklah, dua hal telah aku
jelaskan, tentang sikap dan pemikiran, jika kini harus membahas tentang jiwa,
maka aku tak tahu harus menghabiskan berapa banyak halaman untuk
menjelaskannya. Namun ada satu hal yang aku tahu pasti, saat kita diajarkan
tentang kehilangan dalam wujud kematian seseorang yang darahnya juga mengalir
dalam diri kita, ada satu hal yang berubah, kepergian mereka juga membawa
sebagian besar jiwa kita, seolah jiwa kita tertinggal di satu tempat yang tak
mampu terjamah lagi. Tapi Dialah Allah yang menyembuhkan dan senantiasa
menghibur hamba-Nya, dalam suatu hadis dikatakan, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka diberinya ujian. Bila
bersabar, hamba itu dijadikan pilihan-Nya. Dan bila rida, hamba ini dijadikan
kekasih-Nya.” Maka, apakah ada pilihan yang lebih indah dibandingkan
menjadi pilihan dan kekasih-Nya? Cukuplah aku disebut
sebagai hamba bagi diri-Nya, karena sungguh, sebutan apa lagi yang lebih
terhormat dibandingkan menjadi hamba bagi diri-Nya seorang? Pahamilah kemudian
nikmati pengakuan penghambaan diri kita pada-Nya, barakallah.
Sesungguhnya aku sedang melakukan lakrimasi saat akan
menuliskan tulisan-tulisan ini, kadang aku benar-benar ingin ada seorang
makhluk yang mendengarkanku kemudian membisikkan, “I
will try to fix you.” Namun sepertinya, pengharapan pada sosok makhluk
akan semakin memperburuk keadaan diriku, yang bisa aku lakukan hanya membuka
lembaran-lembaran itu, mungkin awalnya pipiku masih basah saat mentadaburi tiap
ayat di dalamnya, hingga satu tawa akhirnya menghiasi wajahku saat Allah
berfirman, “dan
sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu), dan sesungguhnya
Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan sesungguhnya Dialah yang
mematikan dan menghidupkan.” (Surah An-Najm ayat 42-44) Lantas
kenapa aku tertawa? Karena sungguh, Dia seolah sedang membolak-balikkan hatiku,
baru saja beberapa menit yang lalu aku menangis, kemudian dalam hitungan detik,
Dia pula yang membuatku tertawa, dan hiburan terbaik dari-Nya adalah bahwa kita
semua akan kembali pada-Nya. Rasanya, kematian tak lebih dari sebuah perayaan
akan penantian panjang agar mampu melihat keindahan diri-Nya. Aku serta merta
menutup kitab Quran ini kemudian berbisik, “Aku ingin
pulang. Berapa lama lagi sisa waktu yang tersedia untukku ya Rabb?” Dan
setelah mengatakannya, aku membiarkan diriku untuk diam sejenak, memejamkan
mataku rapat-rapat sambil mencermati kalimat yang baru saja aku katakan
pada-Nya, akhirnya aku akhiri ini semua dengan bersujud penuh rasa cemas dan harap
karena teringat pada firman-Nya yang berbunyi:
“Maka bersujudlah
kepada Allah dan sembahlah (Dia).”
(Surah An-Najm ayat
62)
No comments:
Post a Comment