21 Oktober 2013, satu naskah
lengkap, 252 halaman A4 dengan 77.563 kata telah dikonfirmasi penerbit. Saatnya
penantian dengan rasa cemas dan harap, Desember, insya Allah. Ada kelegaan
berarti karena terselesaikannya tulisan-tulisan itu, namun lihatlah sekarang,
aku mulai kehilangan satu rutinitas, apalagi kalau bukan menulis. Seolah ada
segumpal jiwa yang tercabut dari diri, sepertinya aku memang harus kembali
mengalihkan fokusku, karena satu tujuan telah hampir tercapai, kini saatnya
kembali dengan halaman-halaman ini, latar hitam, dengan tulisan merah dan putih
yang menyeruak di atasnya. Biarkan aku menuliskan sebuah tulisan sebagai
pembatal dari puasa posting di blog ini selama berbulan-bulan, mungkin dengan
tema sesuai penanggalan hari ini, 28 Oktober, hari
Sumpah Pemuda. Here we go...
Sumpah Pemuda, hari memperingati para
pemuda di masa lampau yang melakukan sumpah setia beratasnamakan tanah airnya,
bangsanya, dan bahasanya, yaitu Indonesia. Ada gema yang tak mampu aku
definisikan sekarang, aku ingin menuliskan tentang sosok para pemuda saat ini,
tapi hanya satu hal yang terlintas dalam benakku, yaitu sebuah senyuman dengan
pejaman lembut yang menghiasi wajahnya, lentikan jemari dengan sebuah biola di
atas bahunya, serta gerakan tubuh yang seirama dengan melodi yang ia mainkan.
Aku tak mengenalnya dan mungkin tak akan pernah lagi melihatnya, seorang pemuda
di masa kini, yang masih mengendarai sepeda tuanya untuk mengelilingi setiap
sudut kota yang ingin ia kunjungi. Ia bukan seorang musisi jalanan yang
mendapatkan penghasilan dari permainan biolanya. Tidak, tidak sama sekali. Ia
hanya sesosok pemuda dengan idealismenya, dengan mimpinya, dengan luapan
emosinya dan tentu juga dengan pembangkangannya.
Aku hanya ingin tersenyum
sekarang, setiap kali mengingat detik-detik itu. Seorang perempuan yang sedang
menikmati setangkai es krim dibalik derasnya hujan kemudian dihampiri seorang
pemuda dengan sepedanya. Pemuda itu tidak sedang ingin berteduh dari derasnya
hujan di luar sana, ia hanya ingin memarkirkan sepedanya kemudian berlarian di
bawah hujan dan memainkan sebuah melodi indah dengan biolanya. Kadang ia
tersenyum kecil karena kesalahan nada yang ia gesekkan, atau kadang ia
memejamkan dengan rapat kedua pelupuk matanya sambil menikmati tiap nada tinggi
yang berhasil ia lewati dengan keakuratan gesekan yang akan membuat setiap
telinga terkesima. Aku tak tahu ia sedang menikmati dirinya bersama melodi yang
ia mainkan atau ia sedang menikmati dirinya bersama melodi yang dimainkan alam
dibawah derasnya hujan itu. Bahkan aku jauh lebih tak tahu, aku sedang
menikmati tiap nada yang terlahir dari lentikan jemarinya atau aku sedang
menikmati sosok idealis penikmat hujan yang sedang tepat berdiri di depanku
itu. Dan setelah ia selesai memainkan sebuah lagu, ia kemudian menundukkan
kepalanya ke sekeliling sebagai sebuah tanda penghormatan kemudian segera
berlalu dengan sepeda tuanya lagi, menembus derasnya hujan seorang diri. Aku
membutuhkan waktu beberapa saat untuk menyadarkan diriku bahwa ia benar-benar
telah berlalu, aku kehilangan sosok idealis itu, bahkan aku tak ingat lagi
bagaimana rupanya, yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah satu hal, “Apa
saja yang ada dalam pikiran pemuda tolol ini?” Karena sungguh, banyak hal yang
ingin aku tanyakan padanya, tapi aku bisa apa? Ia sudah menyatu dengan derasnya
hujan di luar sana, mengayuh sepedanya dengan luapan tawa bersama dirinya dan
biolanya.
Tak butuh waktu banyak untuk
aku memastikan satu hal dari seluruh rangkaian peristiwa itu, aku juga harus
melakukan hal yang sama dengannya, sama dengan yang dilakukan pemuda itu, yaitu
menembus batas mayoritas dengan membebaskan keinginan
diri sendiri. Tanpa berpikir panjang, aku menghentikan proses peneduhan
dari hujan yang aku lakukan, aku langsung menembus derasnya hujan, seorang
diri, berjalan sambil tersenyum sembari mengarahkan pandangan ke arah langit
yang mendung dan menikmati tiap tetesan hujan yang membasahi wajahku. Ada
perasaan bebas yang menyelimuti seluruh ragaku, dinginnya hujan terkalahkan
oleh panasnya kemerdekaan yang meluap-luap dalam hatiku. Andaikan semua pemuda
pernah melakukannya, melakukan kecintaannya pada sesuatu secara totalitas, maka
percayalah, rasa ini akan bersifat sangat adiktif, perwujudannya adalah suatu
kebutuhan. Meski implementasinya membutuhkan pengorbanan, tapi ingatlah, ada satu
hal yang tak akan pernah tergantikan, yaitu suatu proses luar biasa untuk
mencapai hasil di puncak paling tinggi yang akan menjadi sebuah imbalan yang
memang sangat layak untuk diperjuangkan.
Kini mari tinggalkan kami
berdua dengan hujannya, karena itu hanyalah sebuah bentuk implementasi
sederhana yang dapat dilakukan oleh para pemuda dengan dirinya dan kepuasannya
pribadi. Biarkan kali ini kita kembali membahas mengenai tanah air, bangsa, dan
bahasa kita. Apa saja yang sudah kita lakukan untuk itu semua? Tak ingatkah
kita bagaimana para pejuang kemerdekaan dahulu? Para pemuda yang rela
mengorbankan tiap peluh keringatnya, tiap tetesan air matanya bahkan darah dan nyawanya
demi kemerdekaan yang kita nikmati saat ini. Para pemuda yang mencintai
negerinya dengan semangat menuntut ilmu yang luar biasa, para pemuda yang
menjadikan tulisan-tulisannya sebagai sarana aspirasi, penuntutan, bahkan
pemberontakan terhadap penjajahan. Para pemuda yang tak mengenal kata gentar
apalagi takut untuk membela bangsanya di garis terdepan. Para pemuda yang tak
pernah melakukan pengkhianatan pada negerinya sendiri. Itulah mereka, sosok
yang patut diteladani. Mewujudkan kecintaan dengan bukti nyata, dengan
perjuangan dan pengorbanan. Mereka sudah terbiasa diasingkan, dipenjara, bahkan
diculik dan dibunuh. Mereka diperlakukan seperti itu bukanlah karena mereka
melakukan kesalahan pada negeri ini, bukan! Mereka memperoleh hukuman itu
karena mereka memberontak pada penjajah, mereka memberontak demi memperjuangkan
harkat dan martabat bangsa Indonesia. Tapi lihatlah sekarang, siapa lagi pemuda
yang masih bersumpah setia bagi negerinya? Siapa lagi pemuda yang rela
berkorban demi membuktikan rasa cintanya? Para pemuda saat ini lebih mencintai
hidup dan kehidupannya. Mencintai tiap gadget dan aplikasi sosial media yang
mereka miliki. Mencintai hidup santai tanpa terbebani oleh rasa tanggungjawab
tentang peradaban. Mencintai pasangan haramnya secara berlebihan, seolah hujan
badai mampu mereka seberangi, padahal saat hujan gerimis saja mereka sudah
enggan untuk keluar rumah. Tidakkah hal itu sangat
menggelikan? Maka dimana letak peran para pemuda saat martabat bangsa
terlucuti satu per satu secara disadari? Saat ini, tempat pengasingan, penjara,
bahkan orang-orang yang diculik dan dibunuh bukan lagi karena alasan mereka
melakukan pembangkangan demi memperjuangkan kesejahteraan bersama. Tak sedikit
dari mereka yang memenuhi penjara dan tempat-tempat pengasingan adalah para
pemuda yang mengkhianati negerinya, para pemuda yang memakan uang rakyat, para
pemuda dengan tindakan kriminalnya, para pemuda dengan obat-obatan
terlarangnya, hingga para pemuda yang melakukan pemerkosaan dan tindak asusila
lainnya. Lalu bagaimana dengan mereka yang diculik bahkan dibunuh? Tak sedikit
pula kejadian tersebut dilakukan dengan motif bisnis, perselingkuhan, hingga
politik dan berbagai kepentingan lainnya. Sekali lagi aku tanyakan, tidakkah hal ini sangat menggelikan?
Baru saja aku menghabiskan
sepiring makan malam bersama adik sepupuku, aku mengingatkannya tentang hari
ini, hari Sumpah Pemuda, namun ia malah tertawa
dan mengatakan sebuah status sosial media yang dituliskan oleh temannya dengan
bunyi, “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berpacar satu, pacar
Indonesia.” Lihatlah, semangat macam apa yang tersisa saat ini? Semangat
menyepelekan bangsanya? Dulu, para pemuda menulis demi pengangkatan hak-hak
rakyat, kini, para pemuda menulis ribuan tweet, status dan hal-hal lain bernada
keluhan, perendahan, penistaan, kegalauan, dan masih banyak lagi. Tidakkah ini menggelikan? Dulu, para pemuda gigih
berjuang agar mampu mengenyam bangku pendidikan demi bekal wawasan untuk
membela bangsanya, kini, para pemuda bersekolah dan berkuliah dengan mudahnya
namun diisi dengan perbuatan-perbuatan tak semestinya, seperti tidur di kelas,
bermain game saat dosen sedang mengajar hingga bolos mata kuliah hanya untuk
bermain di pusat-pusat perbelanjaan. Tidakkah ini
menggelikan?
Percayalah, satu hari nanti,
kita akan dikumpulkan dan ditanyakan tentang hari ini, masa-masa muda yang kita
lewati ini, karena disinilah puncak kualitas hidup, dengan kesehatan yang masih
memadai, dengan semangat juang yang masih tinggi, dengan waktu yang masih
tersedia untuk pengabdian, karena kita memang belum disibukkan dengan
tanggungjawab sebagai seorang istri atau suami, seorang ayah atau ibu, inilah
saat secara totalitas mewujudkan kecintaan dengan cara yang totalitas pula.
Bahkan dalam sebuah hadis ditegaskan dengan lantang tentang pertanggungjawaban
kita mengenai masa muda kita ini :
“Tidak
akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari Rabbnya hingga dia
ditanya tentang lima perkara: tentang usianya, untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya, untuk apa ia gunakan, tentang
hartanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan, serta tentang
ilmunya, apa yang ia perbuat dengannya.”
(HR At-Tirmidzi)
Itulah kenyataannya, apa yang
akan kita jawab kepada Rabb kita saat ditanyakan, ‘Untuk
apa kau gunakan masa mudamu?’ Akankah kita menjawab, ‘Aku menggunakannya
untuk berjalan-jalan, berpacaran, menulis status dan tweet alay dan galau,
menghina negeriku, mengkhianati bangsaku, dan hal-hal tak berguna lainnya.’
Akankah kita menjawab seperti itu? Maka renungkanlah para pemuda-pemuda yang
memiliki potensi luar biasa, renungkanlah bersamaku. Mari
kita menjadi dia, sang pemain biola yang menembus hujan, menembus batas,
menembus pemikiran mayoritas, demi kecintaannya itu, secara totalitas tentunya.
Barakallah!
yiippii... another free book for me, umm?? :)) *neror*
ReplyDeleteforget and ignore this comment~
Delete