Memperhatikan (al-lahz) dapat dimaknai melihat
secara sepintas lalu, memandang dengan cara mencuri-curi, sehingga yang
dipandang tidak merasa bahwa dia sedang dipandang. Mencuri-curi pandang ini
memiliki tiga sebab, pengagungan dan keagungan yang dipandang sehingga yang
memandang mencuri-curi pandangan ke arahnya serta tidak memandang dengan
pandangan yang tajam sebagai sikap pengagungan kepadanya. Hal ini seperti yang
dilakukan para sahabat terhadap Nabi SAW. Mereka tidak pernah memandang dengan
pandangan yang tajamterhadap beliau sebagai penghormatan dan pengagungan
terhadap beliau. Ada sebab lain yang membuat orang yang memandang tidak berani
memandang secara langsung kepada yang dipandang, yaitu takut
terhadap pengaruh yang dipandang. Hal ini disebabkan oleh cinta, rasa malu,
atau merasa lemah untuk memandang secara langsung. Inilah sebab umum
dalam masalah ini.
Begitulah keadaan umum orang yang memperhatikan
rububiyah Allah SWT dengan hatinya,
kesempurnaan Allah SWT kesempurnaan sifat-sifat-Nya, kemurahan, kebaikan, serta
karunia-Nya, maka hatinya akan mencuri pandang kepada Allah SWT dan ia
mempunyai ubudiyah (peribadatan)
secara khusus.
Memperhatikan terbagi menjadi tiga derajat,
antara lain memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula sehingga
meninggalkan sikap meminta-minta dengan menampakkan kerendahan diri sesuai
dengan hak rububiyah. Memperhatikan
bisa dengan mata dan bisa dengan hati, tapi yang dimaksudkan adalah yang kedua,
yaitu memperhatikan dengan hati. Jadi, yang dimaksud dengan memperhatikan
karunia yang sudah ditetapkan sejak semula ialah memperhatikan pemberian Allah
SWT yang sudah ditetapkan dalam takdir sebelum dikeluarkan ke dunia,
sebagaimana firman-Nya:
Sungguh, sejak dahulu bagi
orang-orang
yang telah ada (ketetapan) yang
baik dari Kami,
mereka itu akan dijauhkan (dari
neraka)
(QS Al-Anbiya, 21:101)
Dan sungguh, janji Kami telah
tetap
bagi hamba-hamba Kami yang
menjadi Rasul,
(yaitu) mereka itu pasti akan
mendapat pertolongan.
Dan sesungguhnya bala tentara
Kami itulah yang pasti menang.
(QS As-Saffat, 37: 171-173)
Masalah ini dapat dimaknai bahwa jika hamba
melihat ketetapan yang telah ditakdirkan Allah SWT sejak semula, yang berarti
ketetapan itu pasti akan sampai kepadanya, maka hatinya menjadi tenang, jiwanya menjadi tentram, dan dia tahu bahwa musibah yang menimpa dirinya bukan suatu kesalahan takdir dan
jika musibah tidak menimpanya maka memang bukan takdirnya. Jika dia meyakini
hal ini, dia akan merasakan manisnya iman kepada qadha dan qadar, lalu dia
tidak akan menuntut kepada Allah SWT. Sebab, apa yang sudah ditetapkan
di dalam qadar pasti akan sampai kepadanya.
(Ditulis ulang dari karya Ibnu’l
Qayyim al-Jauziyyah)
No comments:
Post a Comment