Belakangan
ini aku sering sekali mematut diri di depan kaca lalu berbicara dengan pantulan
wajah di cermin itu. Atau duduk di atas sajadah setelah shalat sambil
berinteraksi langsung dengan diri sendiri. Kadang aku memanggilnya Oktriana,
kadang aku memanggilnya lengkap dengan sebutan Derry Oktriana atau kadang aku
menyebutnya saudara perempuanku. Hal ini kadang terasa aneh, namun lama
kelamaan menjadi hal yang lumrah bagiku. Karena ada
satu makhluk yang menemani kita selama ini namun jarang sekali kita dengarkan,
jarang sekali kita meminta maaf kepadanya. Dan makhluk itu adalah diri kita
sendiri.
Aku
sangat percaya dengan ungkapan yang mengatakan bahwa memaafkan kesalahan orang
lain jauh lebih mudah ketimbang memaafkan kesalahan diri sendiri. Dan hal ini
terjadi padaku. Kadang aku berfikir aku terlalu menuntut banyak pada jasad dan
jiwa ini. Ia terus-terusan mengabdikan dirinya pada orang-orang yang seharusnya
ia laknat mentah-mentah. Padahal secara fitrah dan kodrati manusia hanya dengan
mengingat Allah-lah hati akan menjadi tenang. Lalu untuk apa menuhankan orang
lain? Untuk apa menuhankan makhluk yang sama-sama berawal
dari setetes air yang hina?
Aku
sering sekali mengatakan, “Derry Oktriana, maafkan aku, aku telah menzalimimu
dengan kesadaran penuh dalam waktu bertahun-tahun. Maafkan aku yang telah
memaksamu untuk memenuhi segala keegoisan dan hawa nafsuku akan dunia. Derry
Oktriana, kamu terlahir sebagai perempuan baik, dan harus
mati dalam keadaan terbaik, aku berjanji akan mengobatimu, aku akan
terus melindungimu meski seisi dunia akan menghujatmu. Maafkan aku atas
pertanggungjawaban yang harus kau hadapi nantinya. Tapi percayalah, kau harus
dengan rela memaafkanku dan kita bersama-sama membangun
cinta ini. Allah ada disana, bersama kita.”
Tapi
saudara perempuanku ini belum bisa sepenuhnya memaafkanku. Ada apa dengannya?
Aku telah berusaha melakukan banyak hal untuk mengobatinya. Berawal dari sebuah
revolusi dengan memutuskan hubungan yang telah aku bangun selama hampir tiga
tahun. Merelakan rambut yang awalnya hampir sepinggang
menjadi tak lebih dari 2 cm. Kadang aku selalu tertawa mengingat hari
itu, hari dimana untaian rambutku berserakan di lantai. Tak ada tangis di hari
itu, hanya tatapan nanar melihat sosok diri sendiri
yang mendadak tampan. Haha. Hari terbodoh sekaligus menyegarkan
indera-indera sarafku. Serasa terlahir kembali, atau aku lebih senang menyebutnya
dengan istilah ‘reborn’. Tak hanya
itu, aku merubah penampilanku. Mencoba mengenakan gamis dan khimar. Menghapus
seluruh lagu dari handphoneku dan menggantinya dengan album Maher Zain atau
rekaman ayat-ayat Al-Quran. Aku juga menghapus seluruh file di netbook maupun
jejaring sosial yang menurutku tidak bermanfaat lagi, baik itu foto, film,
video, dokumen, dll. Proses-proses revolusi ini juga diiringi dengan adegan
bakar-bakar, sedekahin barang-barang dan termasuk ngebuang-buang barang.
Satu
per satu beban mulai terangkat. Dan masa pemulihan dibantu dengan kembalinya
aku ke tengah-tengah keluargaku di Tanjungpinang. Mereka benar-benar penyejuk
mata. Damai dan mendamaikan. Banyak hal yang membantu seluruh proses ini, mulai
dari buku-buku yang pernah aku paparkan di tulisanku sebelumnya. Kehadiran
orang-orang yang senantiasa mendoakanku. Hingga satu tulisan yang sempat aku
tulis 13 Februari 2013 lalu, aku memberinya judul ‘The
Damn Things’. Setelah aku tulis dan kemudian aku hapus, aku merasa
sangat lega. Ada kewajiban pembelaan diri yang telah aku lakukan, aku telah
melakukan bagianku dan biarkan Allah yang menyelesaikan sisanya.
Pada
tanggal 24 Februari 2013, aku ingat sekali di malam itu, malam sebelum
keberangkatanku kembali ke Jakarta. Aku sedang mengeringkan rambutku dengan
sebuah handuk kecil sambil berlalu di depan ibuku. Dan sontak saja aku kaget,
ibuku mengatakan dengan lantang sambil menunjukkan jarinya tepat di hadapanku. “Derry, ingat ya! Sampai di Jakarta, jangan dipotong lagi
rambutnya!” *gubrak* Baru saja aku berencana akan memotongnya lagi
setibanya di Jakarta. Kalau mau mengutip omongan abang-abang ganteng di luar
sana, “Udah gondrong nih, pangkas ah.” Hihi.
Tapi ya sudahlah, surga kan dibawah telapak kaki ibu. Turutin aja dan stay
kalem. (^_^)
Kembali ke malam keberangkatanku, aku mendadak
insomnia rasanya. Kekuatan yang selama ini aku bangun
mulai runtuh perlahan atau lebih tepatnya runtuh seketika. Tak ingin
pergi lagi, benar-benar ingin tetap dan terus berada di rumah. Namun, Allah
mengisyaratkan hal lain. Aku harus kuat karna Allah yang menguatkanku. Saat
adzan shubuh menggema, aku telah bangun dan terdapat satu pesan singkat di
handphoneku. Kami memang tidak berkomunikasi, karena aku benar-benar berusaha
ingin menjaga berbagai interaksi yang memang tak selayaknya terjadi. Dia
mengatakan :
“Bawel,
ingat besok harus mulai dengan hari-hari yang baru. Yang lebih baik lagi. Tak
ada ngeluh-ngeluh lagi. Tak akan dapetin jalan keluar kalo masih sering
masalahin itu terus. Inilah waktunya untuk mulai dengan awal yang baik. Jaga
diri baik-baik ya.”
Ada
suntikan semangat dalam pesan ini. Cukup menjadi bekal perjalananku pulang.
Ditambah lagi dengan keluargaku yang mengatakan, “Bentar lagi pulang ke pinang
lagi kok, Juli kakak udah libur lagi kan?” Aku benar-benar menyayangi mereka
dan mereka harus tau itu semua.
Baiklah,
seperti biasa akan aku tutup tulisan kali ini dengan untaian doa. Semoga dapat
menjadi kekuatan yang mampu menghidupkan hati-hati yang sedang kering dan
tandus.
Ya Allah ya Rabb, sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui bahwa hati kami ingin sekali berkumpul untuk mencurahkan
segala asa yang di deritanya. Jadikan hati kami hidup
kembali dalam kasih sayang-Mu. Penuhilah ia dengan cahaya-Mu yang tak akan pernah redup. Teguhkan janji
setia kami untuk terus menikmati keindahan tawakal di
atas jalan lurusmu. Ya Allah yang Maha Indah, indahkan segala pilihan kami
untuk terus istiqomah dalam keimanan ini. Semoga
shalawat dan salam senantiasa tercurah bagi baginda kami Rasulullah SAW. Amin
amin ya Rabbal ‘alamin.
No comments:
Post a Comment