“Siapa yang tidak
mendekat kepada Allah, padahal sudah dihadiahi berbagai kenikmatan, akan
diseret (agar mendekat) kepada-Nya dengan rantai cobaan.”
(Ibnu
Atha’illah Al-Iskandari)
Satu
kalimat yang merupakan aporisme dalam kitab Al-Hikam, salah satu kitab terbaik
yang pernah aku miliki. Pengobat terhadap kecanduan akan makhluk, sumber
khazanah spiritual bagi para pencari Tuhan. Dan itulah dia, sebuah karya yang
layak dituliskan dengan tinta emas, bait hikmah yang disampaikan oleh Ibnu
Atha’illah Al-Iskandari, seorang sufi legendaris dari Kairo, Mesir, yang hidup
pada abad ke-13 M.
Beliau
menyadarkan kita tentang kenikmatan yang selama ini kita dustakan, kenikmatan
akan hidup dan berkehidupan di sebuah lingkungan yang aman lagi nyaman,
kenikmatan beribadah tanpa gangguan layaknya zaman awal Islam dahulu,
kenikmatan akan sehat, kenikmatan usia, kenikmatan memiliki keluarga dan
orang-orang yang menyayangi kita hingga kenikmatan akan segala hal duniawi yang
sering kali menggelincirkan kita pada kemungkaran dan kesesatan.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?”
(Surah
Ar-Rahman)
Namun
sepertinya kenikmatan itu malah menggelincirkan kita lebih dalam hingga semakin
jauh dari hakikat diri-Nya. Aku pernah membaca sebuah status di laman sosial
media seseorang, ia mengumpamakan kenikmatan dan pendustaan kenikmatan ini
dengan seorang pekerja yang sedang bekerja di lantai paling bawah dari suatu
gedung, dengan seluruh alat yang memekakkan telinga. Kemudian atasan pekerja
tersebut memanggilnya dari lantai bagian atas gedung itu, ia berteriak
sekencang-kencangnya untuk memanggil pekerjanya, namun tak seorangpun yang
melihat ke atas. Akhirnya ia melemparkan uang pecahan seratus ribuan dengan
harapan bahwa pekerjanya akan serta merta melihat ke arah atas dan dapat
melihat dirinya. Namun atasan tersebut menjadi kesal karena pekerjanya hanya
mengambil uang itu sambil bergoyang-goyang kesenangan tanpa sedetikpun melihat
ke arah atas. Dengan hati kesal, atasan tersebut melemparkan secara kasar
sebuah pulpen hingga tepat mengenai kepala sang pekerja, pekerja itupun
langsung kesakitan dan dengan refleks melihat ke arah atas dan mendapati
atasannya itulah yang melemparinya.
Sudahkah
kita mampu mencerap makna dibalik kejadian ini? Karena itulah kita
sesungguhnya, saat diberi kelimpahan nikmat, kita hanya menikmatinya seorang
diri tanpa memikirkan tentang Zat yang memberikan seluruh kenikmatan itu.
Namun, saat kita mengalami keterpurukan, kita memohon pada-Nya dengan hati
gerimis penuh rasa takut dan harap. Masya Allah, tidakkah kita menyadarinya?
Apakah Dia benar-benar harus menarik kita dengan rantai cobaan terlebih dahulu
baru kita mendekatkan diri pada-Nya? Karena sungguh, jika seorang atasan mampu
membuat kesakitan bawahannya meski hanya dengan sebuah pulpen, maka kesakitan
seperti apa yang mampu Allah berikan pada kita? Innalillahi, semoga kita didekatkan
pada-Nya dengan cara terbaik kemudian dilanggengkan dalam kebaikan.
“Dan apabila mereka
digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus
ikhlas beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di
daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang
mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih.”
(Surah
Luqman ayat 32)
Namun,
jangan pernah kita berpikir bahwa rantai cobaan itu adalah bentuk penghinaan
Allah Ta’ala bagi kita makhluk-Nya, sedangkan segala kenikmatan merupakan
bentuk kemuliaan bagi diri kita. Sungguh tidak demikian, karena dalam suatu
hadis disebutkan,
Bukankah semakin tinggi sebuah pohon maka semakin dahsyat pula kekuatan angin yang akan menerpanya? Bukankah cobaan terbesar diberikan oleh Allah bagi para Nabi dan Rasul, wali Allah hingga mencapai diri kita sendiri dengan level cobaan yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan mereka? Itulah Dia, Allah, yang masih berbaik hati menarik kita mendekat pada-Nya meski dengan kesakitan. Maka syukuri itu semua secara keseluruhan, beruntunglah bagi orang-orang yang masih senantiasa diingatkan untuk mendekatkan diri pada-Nya, karena bisa jadi Allah membiarkan kita terlena dalam kenikmatan dunia beserta seluruh kemungkarannya, layaknya seorang Ibu yang telah berdiam diri dan membiarkan anaknya tanpa memedulikan ia sedikitpun, apakah hal itu sama dengan Ibu yang tetap mengingatkan anaknya untuk bertaubat? Sungguh, hukuman berupa caci maki demi kebaikan kita, jauh lebih baik dibandingkan hukuman pembiaran diri kita bersama keinginan akan dunia dan hasrat untuk senantiasa berbuat kemungkaran. Lagipula ini bukan tentang segala kepedihan dan kesakitan yang kita rasakan, ini tentang hikmah yang terdapat dibalik seluruh kejadian itu.
“Jika Allah mencintai
seorang hamba, maka diberinya ujian. Bila bersabar, hamba itu dijadikan
pilihan-Nya. Dan bila rida, hamba ini dijadikan kekasih-Nya.”
Bukankah semakin tinggi sebuah pohon maka semakin dahsyat pula kekuatan angin yang akan menerpanya? Bukankah cobaan terbesar diberikan oleh Allah bagi para Nabi dan Rasul, wali Allah hingga mencapai diri kita sendiri dengan level cobaan yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan mereka? Itulah Dia, Allah, yang masih berbaik hati menarik kita mendekat pada-Nya meski dengan kesakitan. Maka syukuri itu semua secara keseluruhan, beruntunglah bagi orang-orang yang masih senantiasa diingatkan untuk mendekatkan diri pada-Nya, karena bisa jadi Allah membiarkan kita terlena dalam kenikmatan dunia beserta seluruh kemungkarannya, layaknya seorang Ibu yang telah berdiam diri dan membiarkan anaknya tanpa memedulikan ia sedikitpun, apakah hal itu sama dengan Ibu yang tetap mengingatkan anaknya untuk bertaubat? Sungguh, hukuman berupa caci maki demi kebaikan kita, jauh lebih baik dibandingkan hukuman pembiaran diri kita bersama keinginan akan dunia dan hasrat untuk senantiasa berbuat kemungkaran. Lagipula ini bukan tentang segala kepedihan dan kesakitan yang kita rasakan, ini tentang hikmah yang terdapat dibalik seluruh kejadian itu.
“Dia memberimu
kelapangan agar kau tidak terus berada dalam kesempitan. Dia memberimu
kesempitan agar kau tidak terus berada dalam kelapangan. Dia mengeluarkanmu
dari dua kondisi itu agar kau tidak bergantung kepada selain-Nya. Yang
membuatmu kecewa ketika tidak diberi adalah karena engkau tidak memahami hikmah
Allah di dalamnya. Boleh jadi Allah memberimu manfaat pada saat malam
kesempitan,
yang tidak kau dapatkan
pada siang kelapangan. “Kalian tidak mengetahui mana yang lebih bermanfaat bagi
kalian.” (QS. An-Nisa’ ayat 11)”
(Ibnu
Atha’illah Al-Iskandari)
Sepertinya
semua orang akan diuji dengan sesuatu yang sangat dicintainya, dengan sesuatu
yang selalu ia bicarakan, dengan sesuatu yang menduduki peringkat paripurna
dalam hatinya. Nabi Ibrahim ‘alaihi salam sangat mencintai putranya Nabi Ismail
‘alaihi salam, kemudian ia diuji dengan perintah penyembelihan putranya itu,
begitu pula Nabi Yakub ‘alaihi salam yang harus berpisah bertahun-tahun dengan
putra kesayangannya Nabi Yusuf ‘alaihi salam. Kemudian ada Maryam, yang sangat
menjaga kehormatannya dan diuji dengan kelahiran Nabi Isa ‘alaihi salam dari
rahimnya. Atau baginda kita, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, yang
sangat menjunjung kejujuran hingga diberi gelar Al-Amin, malah diuji dengan
turunnya wahyu hingga ia disebut pendusta, penyihir bahkan orang gila.
Jika
kita berkaca pada mereka, maka sungguh, perhatikanlah tentang apa-apa yang
sangat kita cintai. Tentang segala sesuatu yang mendominasi di kehidupan kita.
Kemudian aku berkaca pada diriku sendiri, aku pernah melampaui batas dalam
kecintaan pada makhluk, dan Dialah Allah yang menarikku dengan segala rantai
cobaan, tapi tetap saja, aku mensyukuri semua itu sekarang, bukankah ini
tentang hikmah di balik semua kejadian? Setelah Allah bermurah hati menarikku
mendekat pada-Nya, lalu aku memohon agar Dia mencukupkan diriku dengan-Nya
saja, maka rantai cobaan itupun kembali melilitku dan menarikku semakin dekat
kepada-Nya, menjadikanku benar-benar menggantungkan harapan satu-satunya hanya
pada-Nya. Bukankah kata kematian telah menyebar hampir di seluruh sendi tulisan
ini? Dan itulah ujian yang juga Allah berikan padaku, ketika musibah itu hadir
dan menimpa orang terdekat, itulah saat dimana aku harus mempraktekkan seluruh teori
selama ini dalam wujud nyata, laa tahzan innallaha ma’ana.
Aku
menjadi teringat pada sebuah buku yang pernah aku baca, sebuah buku dengan
genre tasawuf, di dalamnya dikatakan bahwa :
“Aku sanggup
mengabulkan permintaanmu,
tetapi ratapan
kesedihanmu lebih aku sukai.”
(Jalaluddin
Rumi)
Andai
saja hal itu yang dikatakan oleh Allah Ta’ala padaku, maka aku berjanji akan
meratap dalam kesedihan penuh harap pada-Nya. Ada benarnya perumpamaan yang
mengatakan bahwa apabila seorang pengamen dengan suara yang memekakkan telinga
bernyanyi di hadapan kita, mungkin kita akan langsung mengeluarkan uang recehan
agar ia segera berlalu. Namun, saat ada seorang pengamen dengan suara merdunya,
yang menyanyikan lagu-lagu yang sangat kita sukai, mungkin kita akan membiarkan
ia terus bernyanyi hingga memintanya untuk menambah nyanyiannya dengan beberapa
lagu lainnya, kemudian kita akan memberikan ia pecahan uang yang tentu jauh
lebih besar dibandingkan kepada pengamen sebelumnya. Itu pulalah Allah, mungkin
Dia menyukai permohonan penuh harap dalam tiap munajat kita, dalam tiap sujud
kita, maka bersabarlah, bersabarlah akan ganjaran terbaik dari-Nya di dunia
kemudian penyempurnaan karunia tersebut di akhirat kelak, insya Allah aamiin.
Belakangan
ini, atau lebih tepatnya dari awal penulisan seluruh tulisanku ini, aku
senantiasa menyebutkan tentang pembebasan diri dari para makhluk. Tujuan paling
utama hingga aku mampu meneriakkan secara lantang sebuah kalimat yang sama
dengan judulku ini, tentang kemerdekaan, ya kemerdekaan. Namun, kini aku seolah
terjebak untuk mendefinisikan arti kemerdekaan itu sendiri, karena mendadak
pertahanan ini terlalu rapuh saat kehadiran seorang makhluk menyeruak dalam
sebagian ekspektasi yang aku bangun. Aku katakan pada diriku, “Lihatlah, kau
belum cukup kuat untuk bertahan tapi kau malah keluar dari benteng
pertahananmu, nikmati kerapuhanmu itu atau kembalilah bertahan kemudian kokohkan
lagi pertahananmu itu!” atau di lain waktu aku mengatakan, “Jika kau masih
terlalu fragile, jangan coba-coba sedetikpun untuk keluar dari benteng
pertahananmu, bagaimana rasanya? Sakit? Maka pulihkan dirimu sendiri sekarang,
aku telah memperingatkanmu jauh sebelum ini!”
Baiklah,
seharusnya kita paham benar bahwa merdeka itu adalah saat Allah dan Rasul-Nya
menguasai hati kita, bukan saat kita dijajah oleh ekspektasi memuakkan apalagi
sesuatu yang kita sebut dengan cinta, padahal mungkin, ia tak lebih dari rasa
semuyang dipenuhi nafsu ingin memiliki belaka. Kita mengatakan kemerdekaan
cinta pada makhluk, padahal takkan ada seorangpun yang tidak menjadi hamba pada
sesuatu yang dicintainya. Merdeka itu saat kita berusaha mengesampingkan dunia
yang sesaat demi akhirat yang berkekalan. Merdeka itu saat kita dengan lantang
mengatakan tidak kepada hawa nafsu dan godaan setan, karena bagaimana mungkin
kita menyatakan bebas dan merdeka padahal kita terkurung dalam hawa nafsu diri
sendiri? Karena mungkin, kita mengira hal itu berupa secercah cahaya kilat
pertanda turunnya hujan, padahal bisa jadi ianya adalah kilatan api yang akan
membakar dan menghanguskan diri kita secara perlahan.
“Tidaklah kau mencintai
sesuatu melainkan kau menjadi hamba baginya dan Allah tidak ingin kau menjadi
hamba bagi selain-Nya.”
(Ibnu
Atha’illah Al-Iskandari)
Jika
harus membicarakan tentang ekspektasi lagi dalam tulisan ini, mungkin hari ini
aku masih bisa berekspektasi mengenai banyak hal tentang segala sesuatu,
studiku nantinya, pekerjaanku, pengabdianku, dan mungkin mengenai pasanganku
kelak, seorang pendamping hingga akhir hayat. Jika sedang membicarakan mengenai
pasangan hidup, aku akan mengatakan bahwa aku selalu kagum dengan dia, dia yang
mampu tampil berbeda, berbeda dari kebanyakan orang. Aku harap, ia yang akan
dengan setia mendampingiku meski itu berarti ia harus bersabar dengan segala
keterbatasan yang aku miliki.
Aku
harap, kita itu akan menjadi segelintir orang yang mampu berteriak secara
lantang untuk meyuarakan kebenaran, bersama-sama melakukan pemberontakan bahkan
pembangkangan pada ketimpangan umum. Tak peduli mereka mendengarkan atau tidak,
paling tidak kita pernah meneriakkan seluruh kalimat yang memekakkan gendang
telinga mereka semua. Hingga satu hari, saat kita telah tahu dan paham benar
bahwa teriakan kita dan seluruh pemikiran kita harus dibubuhi tanda titik.
Itulah saatnya kita mengasingkan diri, berdua, memilih menjauh dari hiruk pikuk
kaum mayoritas sambil terus bergerilya di dasar bumi.
Dan
itulah aku, meskipun aku mengatakan bahwa aku mendadak menjadi seseorang yang
individualis mengenai pasangan hidup nantinya, tetap saja aku masih memiliki
ekspektasi tentang hal itu, aku masih sangat ingin merasakan nyawa lain dalam
tubuhku nantinya, sembilan bulan bersama detak jantung lain di dalam sini,
dalam tubuhku. Aku benar-benar ingin mendengarkan dengungan surah Yusuf setiap harinya
dari mulut pasanganku kelak, tepat setelah shalat maghrib selama aku mengandung
calon anak kami. Aku bermimpi mampu menjadi ibu terbaik sepanjang masa bagi
mereka, mereka akan menjadi penerusku, hingga aku dapat mengatakan, “Selamat
panjang umur pada pemberontakan dan pembangkangan!” Karena diriku, tak akan
pernah mati, suaraku akan terus menggema, darahku akan terus mengalir dalam
aliran darah keturunanku. Masya Allah, apa yang lebih menenangkan selain
membayangkan aliran amal jariyah dari anak-anak kita kelak meski kita telah
terkubur di perut bumi? Semoga satu hari nanti, meski jasad kita terbujur kaku,
namun hati, jiwa, dan ruh kita tetap berada dalam kesatuan menembus langit.
Hanya saja, sepertinya aku tak akan melakukan
suatu usaha secara eksoteris lagi, tak akan ada lagi perempuan yang berusaha
untuk mendapatkan pasangan hidup nantinya, biarkan dia, sosok laki-laki yang
belum aku ketahui namanya, yang melakukan usaha secara eksoteris itu, aku hanya
ingin ditemukan. Ditemukan oleh dia yang sangat spesifik bagiku, bukankah aku
telah menyebutkan hampir seluruh persyaratan tentang sosok ini dalam
tulisan-tulisanku sebelumnya?Yang harus aku lakukan hanyalah satu hal,
memantaskan diriku agar menjadi layak untuk ditemukan oleh dirinya.
Namun,
meskipun begitu, dengan berbagai syarat dan ekspektasi tentang dia yang telah
aku tulis secara acak, hanya mendamparkanku pada satu titik, yaitu aku terlalu
banyak menuntut mengenai seluruh kriteria itu, seolah diriku ini sangat layak
untuk diperjuangkan dan ditemukan, padahal aku tak lebih dari seorang perempuan
jahiliyah yang sedang bersusah payah berhijrah dengan menggantungkan harapan
pada Rabbnya. Tapi aku tak peduli dengan itu semua! Aku juga tak bermasalah
jika akhirnya tak ada seorangpun yang berusaha mencariku apalagi berhasil
menemukanku. Karena ini semua tak lebih dari sebuah sikap seorang perempuan
merdeka, perempuan yang memilih tegas di masa kini agar ia terhindar dari
kesabaran panjang di masa yang akan datang, maka akan aku katakan pada diriku
sendiri, “Perhatikan seluruh keputusan dirimu Derry Oktriana,Is it worth it?”
Biarkan
kini aku menuliskan bagian akhir dari tulisan ini. Aku benar-benar ingin
menutupnya dengan selaksa cinta, cinta yang sedang aku persiapkan untuknya,
untuknya yang mungkin akan memenuhi hidup dan kehidupanku nantinya. Aku
teringat sebuah kalimat yang dikatakan oleh temanku, “Let the future surprising
you!”Aku berjanji akan membiarkan hal itu terjadi, just let it be.
Baiklah,
jika kita membicarakan cinta, maka cinta adalah tentang jiwa, dan jiwa adalah
tentang Sang Pencipta, semoga tabir segera tersingkap, hingga dua jiwa dapat
menyatu untuk menggenapi risalah-risalah cinta-Nya. Bukankah tak ada yang lebih
indah di dunia selain mencinta dengan cinta karena Zat Yang Mahacinta? Tak
perlu kata apalagi dusta, tak butuh sentuhan apalagi belaian, karena tanah
telah menjadi saksi doa dalam sujud rindu yang penuh air mata, kemudian
malaikat pemikul ‘Arsy mengaminkan doa kita berdua,maka sekali lagi aku
tanyakan, apa yang lebih indah selain bersatu dan disatukan oleh
kasih-sayang-Nya?
Untuk
engkau yang akan menemukanku, kita berdua memang tak akan pernah menjalin
hubungan dalam bentuk apapun sebelum bingkai halal berupa akad terucap, mungkin
kita berdua tak pernah bertemu muka sekalipun sebelumnya, tak pernah menghabiskan
waktu berdua apalagi saling mengucapkan kata cinta. Namun tenang saja, bukankah
kita akan bersatu semata-mata karena Allah? Yang mana yang haq dan batil juga
karena Allah, kecintaan dan kebencian pada sesuatu juga karena Allah, lantas
apalagi yang begitu sulit untuk disatukan? Mimpi kita akan sama dan akan selalu
sama selagi Rasul menjadi panutan dan Allah menjadi tujuan, bersabarlah sedikit
lagi, semoga Allah meneguhkan hati kita. Namun, jika ternyata orientasi kita
tentang dunia saja sudah berbeda, rasanya terlalu membuang-buang waktu untuk
memulai bersama kemudian berusaha untuk menyatukannya, bukankah jauh lebih baik
jika disatukan dengan dia yang sudah memiliki pondasi dan tujuan yang sama? Ya
meskipun selalu ada nilai relatif disana, andaikan ianya memang benar-benar
‘worth it’ untuk diperjuangkan, kenapa tidak? Ini hanyalah tentang perbedaan
rasa sakit dalam suatu perjalanan, dengan tingkat kesakitan yang berbeda-beda,
dan itu akan menjadi semakin relatif jika dikembalikan ke masing-masing
individu yang menempuh jalan tersebut berdua. Tanyakan saja pada diri kita
seperti biasa, “Is it worth it?”
Untuk
engkau yang akan menemukanku, aku mohon, jangan pernah mencintaiku dengan
alasan selain diri-Nya, karena aku takut jika saat ini kita menemukan alasan
mengapa kita mencinta. Mungkin satu hari nanti, kita juga akan menemukan alasan
mengapa kita berhenti mencinta, cintailah aku tanpa membutuhkan alasan hingga
kita tak memiliki alasan lagi untuk tidak saling mencinta, cukup cintai aku
karena kau memang mencintaiku, itu saja, atau seperti yang telah aku katakan,
kau memang harus mencintaiku karena Dia, sungguh, Dia lah Zat Mahakekal itu,
insya Allah cinta kita juga akan berkekalan hingga ke akhirat kelak.
Untuk
engkau yang akan menemukanku, sepertinya kita akan menua dalam guratan kusut
antara masa lalu dan masa depan kecuali engkau berkenan membantuku
menguraikannya di masa kini. Karena mungkin kamu akan sibuk menyiapkan masa
depan sedangkan aku sibuk memperbaiki masa lalu, tapi aku tak peduli, karena
kita bersatu di masa kini. Tahukah kau? Jika langit adalah masa depan dan bumi
adalah masa lalu, maka aku masih terkubur di bawahnya, kau harus memberikan aku
sepasang sayap untuk terbang dan melayang menembus angkasa, karena kini,
jangankan sepasang sayap dalam wujud nyata, bayangannya saja belum kunjung kau
berikan padaku.
Untuk
engkau yang akan menemukanku, mungkin kita akan bertemu di antara rak buku itu,
buku-buku lama yang telah dipenuhi debu atau di antara buku-buku yang tak
beredar lagi karena pencekalan. Aku mencintai tempat itu, hampir setiap saat
aku mendatanginya, di sudut jalan, kecil tak berpintu, satu hari kita akan
bertemu disana, mungkin. Tapi tahukah kau bahwa kini mulai terjadi garis samar
pembatas antara langit dan bumi? Gerbang ini semakin menyempit, kau terlalu
lama menemukanku, atau aku memang tak pernah memiliki niat untuk menunggumu,
menunggumu hadir untuk menjemputku. Mungkin satu hari nanti, meskipun kau
berhasil menemukanku, aku akan tersenyum dengan sunggingan sarkasme yang
menyeruak di tiap sudut wajahku seraya berkata, “Kau terlalu lama menemukanku,
aku bahkan telah lupa cara tuk berpasangan dengan makhluk bernyawa!”
Tapi
tenang saja, jika hari itu akhirnya tiba, hari dimana aku meletakkan seluruh
ekspektasi tepat di bawah kedua kakiku, menguburnya dalam-dalam dan
menghilangkan seluruh variabel persyaratanku.Mungkin aku akan memilih untuk
mematuhi nasihat para orang tua dahulu, “Menikahlah dengan dia yang
mencintaimu.” Lantas mengapa harus begitu? Karena sungguh, bukankah tak ada
yang tak mampu dilakukan oleh orang yang mencinta? Bukankah ia akan menjadi
hamba bagi yang ia cintai? Dan setelah ia menjadi hamba diriku, aku berjanji
akan menyulapnya menjadi hamba bagi satu-satunya Zat Penguasa alam semesta.
Namun, jika kemungkinan terburuk tetap diberikan padaku, maka tak ada pilihan
lain selain mengambil hikmah dibaliknya. Bukankah Asiyah, istri dari seseorang
yang sangat dilaknat dalam Al-Quran yaitu Fir’aun, tetap dibangunkan rumah di dekat
surga sana karena kataatan dan kesabarannya? Segala puji hanya bagi Allah
dengan segala ketentuan-Nya.
Untuk
engkau yang akan menemukanku. Sebelum aku mengakhiri seluruh tulisankuini untukmu,
akhirnya aku disadarkan melalui sebuah ayat Quran dimana Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika
para malaikat berkata, ‘Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu,
menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan diseluruh alam (pada
masa itu).’”
(Surah
Ali Imran ayat 42)
Aku
menjadi sadar dan paham benar bahwa seluruh tulisan yang aku tulis dari awal
hingga akhir dalam buku ini hanyalah potret diriku pribadi yang berusaha aku
singkapkan meski masih banyak hal-hal lain yang belum kunjung tersingkap. Aku bukanlah
Maryam yang memperoleh penjagaan langsung dari Tuhannya, aku juga bukan seorang
perempuan yang terlahir dari keluarga alim ulama, aku hanya seorang perempuan
di akhir zaman yang berusaha menghijrahkan dirinya dan menjadikan sisa usianya
sebagai bentuk penebusan dan pengabdian atas masa-masa yang dilaluinya dalam
kejahiliyahan. Maka aku mohon, tuntutlah diriku atas apa-apa saja yang mungkin
aku lakukan di masa depan, sebagai seorang istri dan ibu dari para calon
mujahid dan mujahidah agama ini nantinya. Jangan tuntut aku atas apa-apa saja
yang telah aku lalui dalam kelalaian dan penzaliman akan diri sendiri. Karena
sungguh, aku bukanlah Maryam, aku benar-benar bukan seorang Maryam! Dan semoga,
satu hari nanti aku dapat mengatakan kalimat ini padamu duhai sosok yang akan
menemukanku:
“Bila lelaki baik itu ada, kamulah orangnya.”
(Ullan
Pralihanta, penulis buku Androphobia)
Alhamdulillah,
segala puji hanya bagi Rabb yang menguasai langit, bumi, dan segala sesuatu
yang berada di antara keduanya. Biarkan aku menutup tulisan ini yang sekaligus
menjadi tulisan terakhir dalam kesatuan buku ini. Semoga satu hari nanti, atas
izin Allah ‘Azza wa Jalla, baik aku maupun seluruh pembaca khususnya para
perempuan, mampu sesegera mungkin dibiarkanoleh diri-Nya meyakini hal ini dalam
hati, melisankan ia dengan lidah, serta melakukannya dalam seluruh tindakan
kita. Jika Rabiah al-Adawiyah, seorang perempuan dengan teladan kezuhudan
terbaik di zamannyatelah menyatakan kemerdekaan diri dari para makhluk dengan
mengatakan, “Segala yang di atas tanah tak lebih hanyalah tanah!” maka biarkan
kita para perempuan di zaman ini mampu menyatakan kemerdekaan dengan
mengatakan, “Selamat tinggal tuhanku, aku perempuan merdeka!”
No comments:
Post a Comment