“Siapa yang tidak
mendekat kepada Allah, padahal sudah dihadiahi berbagai kenikmatan, akan
diseret (agar mendekat) kepada-Nya dengan rantai cobaan.”
(Ibnu
Atha’illah Al-Iskandari)
Satu
kalimat yang merupakan aporisme dalam kitab Al-Hikam, salah satu kitab terbaik
yang pernah aku miliki. Pengobat terhadap kecanduan akan makhluk, sumber
khazanah spiritual bagi para pencari Tuhan. Dan itulah dia, sebuah karya yang
layak dituliskan dengan tinta emas, bait hikmah yang disampaikan oleh Ibnu
Atha’illah Al-Iskandari, seorang sufi legendaris dari Kairo, Mesir, yang hidup
pada abad ke-13 M.
Beliau
menyadarkan kita tentang kenikmatan yang selama ini kita dustakan, kenikmatan
akan hidup dan berkehidupan di sebuah lingkungan yang aman lagi nyaman,
kenikmatan beribadah tanpa gangguan layaknya zaman awal Islam dahulu,
kenikmatan akan sehat, kenikmatan usia, kenikmatan memiliki keluarga dan
orang-orang yang menyayangi kita hingga kenikmatan akan segala hal duniawi yang
sering kali menggelincirkan kita pada kemungkaran dan kesesatan.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?”
(Surah
Ar-Rahman)
Namun
sepertinya kenikmatan itu malah menggelincirkan kita lebih dalam hingga semakin
jauh dari hakikat diri-Nya. Aku pernah membaca sebuah status di laman sosial
media seseorang, ia mengumpamakan kenikmatan dan pendustaan kenikmatan ini
dengan seorang pekerja yang sedang bekerja di lantai paling bawah dari suatu
gedung, dengan seluruh alat yang memekakkan telinga. Kemudian atasan pekerja
tersebut memanggilnya dari lantai bagian atas gedung itu, ia berteriak
sekencang-kencangnya untuk memanggil pekerjanya, namun tak seorangpun yang
melihat ke atas. Akhirnya ia melemparkan uang pecahan seratus ribuan dengan
harapan bahwa pekerjanya akan serta merta melihat ke arah atas dan dapat
melihat dirinya. Namun atasan tersebut menjadi kesal karena pekerjanya hanya
mengambil uang itu sambil bergoyang-goyang kesenangan tanpa sedetikpun melihat
ke arah atas. Dengan hati kesal, atasan tersebut melemparkan secara kasar
sebuah pulpen hingga tepat mengenai kepala sang pekerja, pekerja itupun
langsung kesakitan dan dengan refleks melihat ke arah atas dan mendapati
atasannya itulah yang melemparinya.
Sudahkah
kita mampu mencerap makna dibalik kejadian ini? Karena itulah kita
sesungguhnya, saat diberi kelimpahan nikmat, kita hanya menikmatinya seorang
diri tanpa memikirkan tentang Zat yang memberikan seluruh kenikmatan itu.
Namun, saat kita mengalami keterpurukan, kita memohon pada-Nya dengan hati
gerimis penuh rasa takut dan harap. Masya Allah, tidakkah kita menyadarinya?
Apakah Dia benar-benar harus menarik kita dengan rantai cobaan terlebih dahulu
baru kita mendekatkan diri pada-Nya? Karena sungguh, jika seorang atasan mampu
membuat kesakitan bawahannya meski hanya dengan sebuah pulpen, maka kesakitan
seperti apa yang mampu Allah berikan pada kita? Innalillahi, semoga kita didekatkan
pada-Nya dengan cara terbaik kemudian dilanggengkan dalam kebaikan.
“Dan apabila mereka
digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus
ikhlas beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di
daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang
mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih.”
(Surah
Luqman ayat 32)
Namun,
jangan pernah kita berpikir bahwa rantai cobaan itu adalah bentuk penghinaan
Allah Ta’ala bagi kita makhluk-Nya, sedangkan segala kenikmatan merupakan
bentuk kemuliaan bagi diri kita. Sungguh tidak demikian, karena dalam suatu
hadis disebutkan,